CHAPTER 314: BELAJAR DARI GURU BRUCE LEE

 wall-IP MAN 2 1680x1050

Dalam sekuel film IP Man 2 yang dirilis tahun 2010, dilukiskan sang tokoh Yip Man (Ip man) yang legendaris dengan keahlian bela dirinya, Wing Chun, harus berpindah ke Hong Kong. Dalam narasi film yang setting-nya diplot pada tahun 1950an tersebut, Hong Kong digambarkan masih dalam masa kolonialisme Inggris.

Di kota tersebut, Ip Man yang sebelumnya sempat digambarkan sebagai sosok masyarakat kelas menengah atas di Foshan, pada episode kali ini harus menghadapi periode masa sulit di Hong Kong. Di tengah kesulitan ini, Ip Man pun harus menghadapi tidak hanya orang – orang dengan kemampuan beladiri yang hebat, namun para politikus kotor dan oportunis.

ip-man-2-donnie-yen-sammo-hung-and-fan-siu-wong-sept-2009

Sebagai ahli bela diri yang berpendirian lurus, Ip Man tetap kukuh. Kota yang riuh itu tidak lantas mengubah prinsip hidupnya untuk turut menjadi oportunis atau bunglon untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya. Ia digambarkan sebagai figur panutan yang harus tetap tabah dan bertahan di tengah masa sulit di Hong Kong, demi kehormatan dirinya, serta kebahagiaan sang anak dan istrinya yang tengah hamil anak kedua.

Menurut saya, untuk sebuah film yang dapat menginspirasikan semangat hidup, sang sutradara Wilson Yip cukup berhasil memaksimalkan kemampuan akting Donnie Yen sebagai pemeran Yip Man. Donnie Yen yang dikenal sebagai satu di antara aktor laga terbaik di Asia, nampak dapat mengilhami sang legenda Ip Man dengan baik melalui implementasi karakter panutan yang berwatak dingin dalam menghadapi setiap masalah.

Kisah 3 Karakter

people-icon-2

Saya jadi ingat kisah Ip Man tersebut, setelah pada satu hari di suatu waktu, saya bertemu dengan tiga orang dengan perwatakan berbeda satu sama lain. Ya, di periode menjadi ronin, saya kerap menjawab pertanyaan beberapa kerabat, jika pekerjaan saya adalah “lonte” atau “jaga lilin”. Dan singkat cerita, kisah kali ini merupakan bagian dari periode ronin itu.

Orang pertama yang saya temui adalah pedagang motor bekas di wilayah pinggiran kota Depok. Saat saya masuk ke gerai motor bekas tersebut, seraut muka seperti ayam jago yang mau bertarung menyambutku. Meski sudah kujelaskan dan beberapa proses komunikasi timbal balik di antara kami terjadi, orang itu setidaknya dua hingga tiga kali bertanya, “Bapak siapa?”

wisdom-icon1

Dalam hati saya berpikir, ini pedagang kok berkomunikasi dengan cara seperti orang mau berkelahi?! Namun nalar saya mencoba melambungkan imaji lebih jauh, jika pendidikan dan lingkungan sangat mempengaruhi karakter seseorang. Karakter orang ini mengingatkan saya pada sebuah moment di sebuah mega mall di wilayah Cibinong. Kala itu, saya dan istri juga sempat menemui seorang pelayan toko sepatu yang bersikap kurang lebih sama; pasif, tidak ramah dan tidak melayani. Padahal kami dalam posisi ingin membelikan sepatu baru buat Oka.

Di perwatakan masyarakat pinggiran, premis “konsumen adalah raja” menjelma bak layang – layang yang putus dari benangnya dan terbang di angkasa nan jauh.

Singkat cerita, setelah dari perjalanan ke showroom motor bekas itu, saya mampir ke sebuah gerai speedshoop khusus motor trail di wilayah Cinere. Dua orang menyambut saya di situ, seorang wanita sebagai pemilik dan seorang pengunjung pria yang mengaku bernama Parmin. Saya agak sangsi dengan pria tersebut menyebut namanya dengan jujur. Terlebih kemudian, sang pria bilang hobinya itu hobi mahal jadi tidak layak menyebut angka atau dana yang dihabiskan.

“Gak enak, mas. Nanti orang – orang pada takut main,” kata Parmin.

Dalam hati saya berujar, “Syet, ini orang sombong dan nganggap enteng banget sih. Orang – orang juga tahu, kalo otomotif itu hobi yang mahal tanpa patut disombongkan seperti itu, pak.”

Lalu saya coba menelaah lebih jauh dengan imaji saya untuk memaafkan keadaan. Menurut interpretasi saya ini adalah gambaran kelas menengah yang coba mendeskripsikan posisinya, jika ia bukan kelas rakyat rata – rata. Ia adalah gambaran sosok orang berpunya.

Namanya proses perjalanan untuk merekam, maka saya pun melanjutkan perjalanan. Hingga saya tiba di sebuah gerai mobil sedan mewah bekas di wilayah Lebak Bulus, Jakarta Selatan.  Di sana saya berdialog dengan seorang bapak berumur sekitar 55 tahun – 60an tahun awal. Ia nampak ramah, meski di areal parkir berjajar sedan – sedan langka buatan Eropa. Saya jadi berpikir, orang yang secara finansial benar – benar kaya, malah kerap lebih ramah dalam merespon lawan bicaranya.

Untitled

Saya pun memetik nilai pelajaran pada hari itu. Sebagai mahluk ciptaan, pada dasarnya semua manusia berada pada posisi setara, meski kemudian ada perbedaan kelas ekonomi. Sayang di negeri ini, pembangunan karakter memang justru banyak dipengaruhi oleh hal – hal yang kurang kondusif, penuh amarah, mudah gusar, tidak perduli, dan gagal berempati.

Kisah 3 karakter inilah yang tiba – tiba mengingatkan saya pada kisah Ip Man di atas. Dari karakter sang ahli beladiri Wing Chun itu, saya melihat ada baiknya kita tetap ramah dan jujur pada diri sendiri, agar warna yang kita biaskan bisa tetap positif dan menginspirasi orang – orang. Setidaknya orang lain akan merespon kita dengan baik pula, kecuali tentu jika orang itu sudah menunjukkan sikap jahatnya pada kita. Ya, seperti Ip Man yang tidak lain adalah guru dari sang master kung fu legendaris, Bruce Lee.

Selamat malam, semoga bermanfaat...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!