CHAPTER 255: JEJAK 2016 YANG TIDAK INGIN AKU LAKUKAN LAGI

 Ini dia foto selfie saya waktu daftar Gocar di gedung Smesco, 21 Mei 2016. Pakai topi, kaos dan sandal. Sementara yang lain serius kayak melamar kerja kantoran.  

Ini dia foto selfie saya waktu daftar Gocar di gedung Smesco, 21 Mei 2016. Pakai topi, kaos dan sandal. Sementara yang lain serius kayak melamar kerja kantoran.[/caption]

Huff, tidak terasa sudah 21 hari lewat di tahun 2017, inilah catatan perdana saya di tahun yang baru ini.

Hmm, kali ini saya ingin berbagi cerita tentang pengalaman setengah tahun menjadi sopir mobil ojek online, mulai Mei hingga November 2016. 

Itu berarti sudah nyaris dua bulan, saya tidak pernah lagi narik. Saya jenuh dan tidak lagi menemukan keasyikan. Meski demikian, saya tidak menyesal dan malu, ini adalah pengalaman hidup.

Saya percaya di setiap jalan yang kita pilih dan tempuh senantiasa menunggu kejutan-kejutan menyenangkan yang menanti. Dukanya tentu tetap ada.

Memori saya menerawang kembali, kenapa awalnya saya menjalankan profesi satu ini. Sekitar Mei 2016 atau masuk bulan ke-3 rumah saya direnovasi. Hmm, saat itu biaya renovasi membengkak, simpanan kuncian mulai tergerus, hingga pinjaman ke bank cukup besar, lalu di Facebook saya melihat ada iklan peluang kerja menjadi mitra Gocar.

Proses pendaftarannya mudah. Hanya selang sehari setelah proses pendaftaran yang cukup makan waktu dua jam di Gedung Smesco Jakarta, saya sudah bisa mengaktifkan aplikasi dan mulai menjalani hari sebagai sopir mobil ojek online.

Saya ceritakan dulu tentang sukanya yah. Awalnya, pekerjaan ini lumayan pendapatannya. Bonus hariannya pun menggiurkan, setidaknya hingga seminggu setelah momen Lebaran Idul Fitri 2016. Sehari buruk-buruknya bisa dapat bersih minimal Rp 250 ribu, bahkan pasca Idul Fitri di hari kedua hingga selama sepekan ke depan minimal saya bisa dapat penghasilkan minimal Rp 500 ribu bersih di tangan, rata-rata Rp 600 ribu – Rp 700 ribu, bahkan pernah tembus nyaris Rp 900 ribu bersih per hari.

Menurut saya, hasil itu lumayan banget. Hasilnya sempat jadi DP buat skutik Honda Vario buat bunda.

Soal rute penumpang, wow, saya pernah antar penumpang dari Taman Mini ke Bitung, pernah dari Tanjung Priuk ke Cikarang, pernah ngantar dari mal dekat kebun raya Bogor ke kampung Ciapus yang asli berada di kaki gunung menuju kawasan wisata Curug Nangka pas sudah lewat jam 10 malam.

Intinya saya banyak buanget melintasi rute di Jakarta dan kota-kota penyanggahnya. Belum lagi ngetem di SPBU, di bandara, dan banyak tempat lain yang saya mulai lupa di mana saja.

Pengalaman lain? Yang ini kesan yang tidak kalah seru. Saya bisa bilang ada sekitar 85 - 95% penumpang yang tidak memberikan kesan jelek selama mereka menjadi penumpang. Sekitar 40% di antaranya ada yang ringan memberi tips dalam jumlah lumayan.

Uniknya yang memberi tips umumnya justru penumpang kelas menengah ke bawah, kalau yang kaya biasanya langsung ngeloyor keluar mobil begitu tiba di tujuan. Beberapa di antaranya mengucapkan terima kasih pun tidak, persis perlakuannya pada seorang sopir pribadi.

Itu sih tidak menjadi soal buat saya, yang jadi persoalan ada sekitar 5 – 15% di antaranya adalah tipikal karakter penumpang yang tidak sesuai dengan saya, bahkan ada yang terasa menjengkelkan serta beberapa lagi masuk kategori "sangat".

Apa saja tuh bentuk menjengkelkannya? Saya coba pilah dengan penjelasan lebih lanjut yah…

Penumpang menjengkelkan kelas wahid adalah yang merasa berada di mobil pribadi, belum mengerti konsep tentang “ride sharing”. Gejalanya masuk ke dalam mobil over kapasitas, biarkan sepatu anaknya nempel di dashboard mobil yang bisa bikin baret, biarkan anaknya pindah dari kursi baris pertama ke belakang, yang lebih kebangetan adalah kalau orang dewasa naik lompatin kursi baris kedua ke baris ketiga.

Ada lagi yang biarkan anaknya gak copot sandal atau sepatu untuk jejak di bantalan duduk. Ada yang mau muntah atau anaknya sudah pernah muntah. Ada juga yang suka bikin saya nunggu cukup lama hingga mereka masuk ke dalam mobil.

Ada lagi tipikal penumpang yang suka ngajak ngobrol tapi topiknya ngejengkelin, seperti mandang enteng profesi sopir online. Dalam hati, “ Masih mending gw punya mobil pribadi, nah, lu nebeng bayar murah saja belagu.”

Tipikal ngejengkelin lain adalah tukang cancel (alias suka batalin). Emang gak mikir kalau menuju tujuan itu pakai bensin, dan komponen mekanikal lain di mobil jadi aus?!

Tipikal ngejengkelin berikutnya adalah harus dijemput atau diantar lewat ke jalan yang kecil dan sempit. Wuih, ini lumayan sering terjadi.

Di bulan September – November 2016, sudah ada kejenuhan menjalani profesi ini, tapi namanya “BU” yah faktor perasaan gak enak harus dikesampingkan. Meski demikian, saya biasanya cuma narik di akhir pekan. Lumayan masih dapat minimal bersih Rp 250 ribu, padahal cuma narik setengah hari dari pagi sampai siang.

Tantangan lain jadi pengemudi Gocar adalah sistemnya yang terlalu sering berubah, jadi kesannya banyakan coba-coba. Buat driver, setiap perubahan sistem tentu perlu proses adaptasi. Selama jadi sopir Gocar selama setengah tahun itu, setidaknya saya mencatat ada kali 15 kali perubahan sistem.

Di bulan September 2016, saya juga adalah sebulan coba jadi sopir Uber, tapi wuih, pendapatannya lebih parah, jauh di bawah pendapatan di Gocar. Saya langsung kapok dan hapus aplikasi.

Berdasarkan pemantauan di Kaskus di kanal “Dunia Profesi & Kerja”, tingkat keluhan pengemudi Gocar memang relatif jauh lebih minim dibanding pengemudi Uber dan Grab Car. Mungkin karena aplikasi ini adalah karya anak bangsa, jadi mungkin lebih tahu persoalan dan kebutuhan di lapangan.

Di bulan Desember 2016, saya akhirnya memutuskan berhenti dan harapannya seterusnya menjadi sopir mobil ojek online. Di periode itu, saya juga setidaknya dua kali mendapat telepon dari Grab Car. Terakhir, hari Sabtu 14 Januari 2017 ada operator cewek yang nelpon dan menawarkan saya untuk menjadi mitra Grab Car. Saya menolaknya.

Selama setengah tahun jadi sopir mobil ojek online, saya berkesimpulan pekerjaan ini memang cocoknya sebagai sambilan, jangan dijadikan mata pencaharian utama mengingat sistemnya yang terlalu mudah dan cepat berubah.

Jadi sopir mobil ojek online pun harus di saat suasana hati dan pikiran lagi enak dan lapang, supaya gak cepat gusar kalau ketemu situasi gak enak (jalanan macet, penumpang yang ngejengkelin, melintasi jalan sempit terkadang super sempit, orang gak bertanggungjawab yang suka cancel order).

Ya, awalnya saya sempat mikir jangan-jangan ini salah satu pekerjaan yang terenak di dunia, tapi ternyata waktu pulalah yang membantu menjawabnya.

I’m done, hoping for good, fellas…

Bogor, 21 Januari 2017

NB: Kalau sempat dan ada waktu senggang, silakan mampir ke akun YouTube saya di "Derry Journey". Terima kasih...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!