CHAPTER 264: SEPENGGAL CERITA DARI COMMUTER LINE

 Naik Commuter Line itu bisa jadi gambaran seni perjuangan hidup dari kelas menengah Jakarta dan kota - kota penyanggahnya.  

Naik Commuter Line itu bisa jadi gambaran seni perjuangan hidup dari kelas menengah Jakarta dan kota - kota penyanggahnya.[/caption]

Hari Senin 17 November 2014 pukul 21.00 WIB, presiden Jokowi mengumumkan mulai 18 November pukul 00.00 WIB harga BBM bersubsidi naik. Premium naik dari Rp 6.500 jadi Rp 8.500, sementara Solar naik dari Rp 5.500 jadi Rp 7.500. Kedua jenis BBM tersebut naik Rp 2.000.

Spontan media sosial ramai. Ada tiga kubu muncul mengingkatkan pada situasi pilpres beberapa waktu lalu. Pendukung Jokowi, walaupun mengaku berat, tetap mendukung. Asal pengalihan dana subsidi disalurkan dengan tepat guna. Pro Prabowo seperti biasa langsung protes keras. Kubu ketiga adalah yang jengah dengan pertikaian, memilih tidak perduli dan  kembali melanjutkan rutinitas hidup masing - masing.

Masyarakat dari pinggiran Jakarta pun mulai naik kelas soal ketertiban mengantri pembelian tiket.  
Masyarakat dari pinggiran Jakarta pun mulai naik kelas soal ketertiban mengantri pembelian tiket.[/caption]

Selasa pagi 18 November 2014 atau hari pertama kenaikan BBM, aku harus kembali berjibaku untuk mendapat spot tempat berdiri di salah satu gerbong kereta Commuter Line (CL). Waktu masih menunjukkan kurang dari jam tujuh. Namun hari itu berbeda, penumpang lebih padat dari biasanya. Alhasil posisi berdiri semakin sempit areanya. Aku sempat berpikir, mungkin para banyak pemilik kendaraan bermotor banyak beralih menggunakan CL.

Sejak Ingasius Jonan jadi Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) beberapa waktu lalu, banyak perubahan revolusioner terjadi di sistem transportasi CL. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya, orang Indonesia bisa tertib mengantri tiket, serta menggunakan sistem kartu dan pintu elektronik.

Saat ini, toilet di stasiun Commuter Line telah diperbanyak, lebih bersih, dan yang terpenting, gratis.  
Saat ini, toilet di stasiun Commuter Line telah diperbanyak, lebih bersih, dan yang terpenting, gratis.[/caption]

Situasi stasiun pun jauh lebih rapi dan manusiawi. Kamar mandi lebih bersih dan lebih banyak, padahal kini digratiskan. Kini tidak ada lagi kereta api ekonomi tanpa AC yang melayani. Semuanya kereta berpendingin udara, dan tiketnya juga murah. Meski di jam pergi dan pulang kerja banyak jendela dibuka, karena suasana panas berhasil mengalahkan dingin di gerbong.

Kembali ke situasi di hari pertama kenaikan BBM di era Jokowi. Kereta CL dari arah Bogor menuju Jakarta semakin padat. Hal yang harus dibiasakan pun lebih banyak. Mulai kaki terinjak, kepala ditoyor tas atau siku penumpang lain, bahkan pernah sekali dua kali ada yang tidak tahan akhirnya buang angin.

Lantai toilet lebih bersih dan tidak terkesan kumal lagi, meskipun kini digratiskan.  
Lantai toilet lebih bersih dan tidak terkesan kumal lagi, meskipun kini digratiskan.[/caption]

Tantangan lain, kalau masinis buka tutup rem dan gas agak mendadak, penumpang harus siap terhuyung - huyung ke depan atau belakang. Kalau sudah begitu, yang tidak berpegangan tangan hanya menyandarkan keseimbangan pada tubuh penumpang lainnya. Untuk sekarang sudah hampir tidak ada penumpang yang bau badannya.

Keluar dari gerbong CL juga merupakan seni tersendiri. Ada penumpang yang biasanya sudah mempersiapkan diri dua stasiun sebelumnya stasiun tempatnya turun. Ini kategori penumpang yang sopan. Ada juga yang baru mendadak mempersiapkan diri mau, ketika baru mau turun. Ini kategori penumpang pengganggu. Bayangkan demi dia turun, tumpukan penumpang yang lain harus cari cara putar badan dan bergeser ke dalam.

[caption id="attachment_1927" align="alignright" width="300"]Kelas menengah Indonesia ternyata bisa tertib, asal prosedur dan penjelasannya sederhana untuk dimengerti.  
Kelas menengah Indonesia ternyata bisa tertib, asal prosedur dan penjelasannya sederhana untuk dimengerti.[/caption]

Naik CL itu juga bisa jadi tempat kita melihat banyak karakter orang. Ada yang pura - pura tidur, supaya tempat duduknya tidak harus diserahkan kepada penumpang lain yang lebih berhak. Ada juga yang bisa tidur sambil berdiri, ada yang suka menyibukkan diri dengan gadgetnya. Entah nonton film, atau tengah menggunakan fasilitas jejaring sosial. Ada yang suka mengumpat. Ada yang berdoa supaya tetap kuat sampai ke stasiun tujuan.

Berada di dalam CL di jam waktu pergi dan pulang kerja itu juga menjadi penyaksi, tentang seni perjuangan hidup masyarakat kelas menengah yang meningkat. Penumpang CL itu harus kuat, jika ingin menang sampai ke stasiun tujuan. Banyak cara untuk bertahan di atas CL dalam kondisi senang. Aku sendiri menggunakan cara dengan membiasakan diri untuk tidak berpikir, cukup rasakan dan nikmati ritmenya. Sesekali aku istigfar untuk menguatkan diri. Ini lebih menghibur.

Suasana stasiun Citayam di waktu pagi. Kesan kumuh yang dulu ada, kini nyaris tidak bersisa.  
Suasana stasiun Citayam di waktu pagi. Kesan kumuh yang dulu ada, kini nyaris tidak bersisa.[/caption]

Naik CL itu rasanya merupakan transportasi publik paling praktis, cepat dan murah di Jakarta dan kota - kota penyanggahnya. Bayangkan dari stasiun Citayam ke stasiun Cawang kira - kira hanya butuh waktu 35 menit, dan cukup bayar Rp 8.000. Sesampainya di stasiun tujuan, tiket dapat ditukarkan di loket, maka uang deposit kartu sebesar Rp 5.000 akan dikembalikan petugas. Artinya cukup bayar Rp 3.000 dari Citayam ke Cawang.

Buatku, berada di dalam CL juga dapat menjadi inspirasi buat bahan tulisan, hingga suara speaker dari ruang masinis mengingatkan, jika kereta CL sudah akan masuk stasiun Cawang. Penumpang yang akan turun diminta persiapkan diri di pintu keluar. Lamunanku pun buyar. Saatnya untuk berjibaku mengejar bus kota menuju tempat kerja.

Sesampainya di atas jembatan Cawang, bus kota yang melewati tempat kerjaku sudah menunggu. Aku pun naik, sambil menatap pemandangan menakjubkan. Di tengah pertikaian bentuk dukungan dan protes di media sosial soal pengumuman kenaikan BBM semalam, jalanan ternyata makin padat dengan mobil dan motor.

Jadi yang pada ribut buat apa yah? Toh, pemilik mobil dan motor ternyata makin ramai membelah jalan Gatot Subroto pagi itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!