CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

Seingatku, aku belum pernah melewati fase kehidupan setraumatis di bulan Maret dan April 2024. Saking, traumanya, aku sangat ingin segera pergi secepatnya dan berharap bergegas mengenang momen ini sebagai penggalan hidup di masa lalu. 

Sepekan terakhir di akhir April hingga awal Mei 2024, beberapa kali aku menangis tersedu-sedu seorang diri, sembari berbicara pada Tuhan, "Mohon, Tuhanku, keluarkan aku segera dari sini. Aku ingin nanti ketika melintasi jalur KRL antara stasiun Pasar Minggu Baru dan Pasar Minggu itu, aku akan berujar, aku pernah selalu memulai perjalanan kesia-siaan itu dari situ. Sebuah kerja keras dan waktu yang terbuang untuk hal yang hampa, nyaris tidak ada yang bisa dibawa pulang dalam tiga pekan terakhir berada di sana."

Diiyakan oleh biniku, bahkan ketika dia hampir meninggal waktu melahirkan Wyatt, atau ketika aku tidak memiliki kerjaan di momen pandemi corona, aku tidak menangis dan tetap tegar menjalani hidup. 

Tapi, tidak demikian dengan badai dahsyat di bulan Maret - April 2024 itu. Aku seperti benar-benar menjalani peran atau alur kehidupan layaknya film "Kuldesak" yang berarti "jalan buntu". 

Berangkat selepas Subuh, dan tiba di rumah selepas jam 10 malam, cuma bisa bawa pulang di kisaran 50 ribu rupiah. Tentu, sangat tidak sebanding dengan waktu dan energi yang telah aku keluarkan. 

Sebelumnya, di bulan Maret 2024, lebih fatal lagi. Aku bisa bekerja minimal 18 jam hingga 21 jam per hari, hanya untuk pendapatan Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Sebenarnya, di fase ini aku masih cukup senang, karena ada uang yang bisa dibawa pulang, namun di pekan ke-4 petaka menyiksa tubuh melewati batas kewajaran berimbas pada fase yang sangat memukul. 

Aku pertama kalinya kena ambeien stadium 4, dan sempat pendarahan sehari. Di saat, tabungan pun tak ada, aku harus terpuruk dengan sakit itu. Beberapa referensi medis menyebut, aku harus dioperasi dengan biaya di atas Rp 10 juta. 

Ya, jelas tidak ada dana itu. Maka, aku berobat mandiri a la kadarnya. Minum ambeven, mengoleskan salep dengan perban, dan berendam air panas dengan garam setiap habis buang air besar. Sepekan pasif, aku belum sembuh benar, tapi aku paksakan lagi menjalani peran sebagai driver di perusahaan taksi terbesar tersebut. 

Kali ini, aku tidak sengoyo sebelumnya. Waktu kerja aku batasi 13-14 jam sehari, dan ternyata cukup menjanjikan di dua pekan pertama. Aku seperti merasakan sudah menemukan ritme kerja yang pas, namun ternyata tidak lama. Di awal pekan ketiga April 2024, pendapatan terus merosot tajam.

Puncaknya, di awal Mei proses absenku di pool ditolak. Alasannya, karena sudah tiga hari berturut aku kurang setor dan harus melunasi beban hutang Rp 89 ribu untuk dapat kembali orientasi. 

Sejujurnya, aku sudah sangat eneg. Trauma untuk kembali ke dunia kerja yang sia-sia ini, aku sangat tidak ingin kembali. Aku ingin segera secepatnya mengubur fase kehidupan ini sebagai kenangan dan pelajaran hidup yang sangat pahit. 

Ya, aku percaya tidak ada kejadian yang kita alami kebetulan, pasti ada pelajaran dan hikmah di dalamnya untuk dipetik. Di sini, aku belajar untuk lebih ekstra sabar, di antaranya karena rata-rata aku persentasikan 4 dari 10 penumpang itu angkuhnya sudah sangat cukup untuk merusak suasana hari itu. Profesi ini bagi mereka seperti sebuah kasta hina dina, dan tidak layak diperlakukan setara sebagai sesama manusia. 

Menurutku, perilaku yang sangat tidak pantas dan elok. Tahukah kalian, jika kami hanya mendapat 40 persen dari biaya yang kalian bayar?!, dan angka itu sudah termasuk biaya bensin kendaraan, biaya makan dan minum pengemudi, dan potensial pemasukan yang bisa kami dapat kalau beruntung untuk dibawa pulang. Tahukah kalian, jika minimal harus mendapat Rp 700 ribu setoran setiap hari, jika ingin membawa pulang hasil di kisaran Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu?!

Belum lagi, monster-monster dishub yang seperti vampir yang siap mengoyak isi dompet kami lebih dalam karena pelanggaran kecil parkir di jalan umum. 

Aku menyerah sangat untuk hal ini, terlebih untuk waktu yang terbuang karena kesia-siaan waktu, energi, dan pikiran minimal 10 jam setiap hari. Itu belum termasuk sekitar dua jam pergi pulang dari rumah ke pool setiap hari. 

Ya, aku menyerah di Sabtu pagi, 4 Mei 2024. Aku menangis di stasiun Kalibata, sekitar 2-3 menit, sedih dan bingung mendalam. Aku sungguh tidak tahu harus kemana lagi, aku nyaris putus asa.

Tiba-tiba, terbersit sebuah intuisi untuk kembali mengabarkan seorang pamanku, yang juga teman kecil dan kini telah kaya raya. Kuharap sangat ini dapat menolongku keluar dari momen fase kehidupan yang super traumatis ini. 

Di Minggu 5 Mei 2024, aku cukup lega dari keterhimpitan dalam tujuh bulan terakhir. Anak-anakku bisa kembali sekolah, karena beban tunggakan biaya dibantu oleh pamanku itu. Aku sampai tidak bisa tidur semalam, dan sangat berterima kasih pada Allah SWT yang telah membantuku keluar dari beban himpitan kebutuhan ekonomi dalam beban tanggungan dalam beberapa bulan terakhir ini. 

Terima kasih telah menjadi bintang-bintang yang berpijar laksana perwakilan uluran Tangan Tuhan di momen kehidupanku yang sangat terpuruk dan super mengenaskan kali ini. Terima kasih Pung Adi, mas Johnny yang kembali menjadi malaikat tak bersayapku, dan kang Qwink sahabatku di zaman kuliah.

Terima kasih Ya Allah. Semoga aku bisa meninggalkan fase momen traumatis ini, dan membingkainya dalam sekadar kenangan dan pelajaran hidup yang telah lalu. 

Semoga, Amin.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!