CHAPTER 92: MENELUSURI JALAN TAKDIR
Waktu terus berdetak dan malam pun terus meninggi, percaya atau tidak sudah nyaris 24 jam kondisi keuangan di rumah hanya ada delapan ribu perak alias rupiah. Ada lebihnya pun tidak sampai seribu, termasuk logam dua ratusan rupiah yang kalau dikasih ke Pak Ogah di perempatan dijamin akan dilemparkan kembali dengan tidak sopan. Rasa optimisme akan adanya denting bel penyelamat di saat-saat akhir seperti biasa dalam 14 tahun ini pun nampaknya kali ini tidak akan datang. Selesai sudah, nampaknya, tinggal menunggu kedatangan sahabat yang telah lama dinanti, sang malaikat pencabut nyawa. Tenang, tenanglah, Der. Tak usah gentar, ini adalah proses alami. Jujur sih, pasti ada rasa gentar juga, namanya juga manusia biasa tapi sebisa mungkin jangan berlebihan dan hadapi sealami mungkin. Tapi tidak usah grasak-grusuk, tarik napas yang dalam dan lepaskan. Rasanya memang sakit pasti, tapi bukankah sakit itu adalah bagian dari pertanggungjawaban hidup itu sendiri?! Menjelang Isya, sebuah pesan dat