CHAPTER 92: MENELUSURI JALAN TAKDIR



Waktu terus berdetak dan malam pun terus meninggi, percaya atau tidak sudah nyaris 24 jam kondisi keuangan di rumah hanya ada delapan ribu perak alias rupiah. Ada lebihnya pun tidak sampai seribu, termasuk logam dua ratusan rupiah yang kalau dikasih ke Pak Ogah di perempatan dijamin akan dilemparkan kembali dengan tidak sopan. 

Rasa optimisme akan adanya denting bel penyelamat di saat-saat akhir seperti biasa dalam 14 tahun ini pun nampaknya kali ini tidak akan datang. Selesai sudah, nampaknya, tinggal menunggu kedatangan sahabat yang telah lama dinanti, sang malaikat pencabut nyawa. 

Tenang, tenanglah, Der. Tak usah gentar, ini adalah proses alami. Jujur sih, pasti ada rasa gentar juga, namanya juga manusia biasa tapi sebisa mungkin jangan berlebihan dan hadapi sealami mungkin. Tapi tidak usah grasak-grusuk, tarik napas yang dalam dan lepaskan. Rasanya memang sakit pasti, tapi bukankah sakit itu adalah bagian dari pertanggungjawaban hidup itu sendiri?!

Menjelang Isya, sebuah pesan datang dan bisa dipakai untuk memperpanjang napas. Rupanya Tuhan belum bergeming untuk memanggilku, kami. 

"Ya, jangan pernah surut keyakinan, jika Tuhan pasti selalu ada dalam hidupmu, Der." Kuyakinkan hal itu selalu, setiap waktu, sebisanya. 

Maka perjalanan hidup pun kembali berlanjut, setidaknya setahun terakhir ini atau bisa jadi sudah agak lebih lama, rasa berdebar-debar memikirkan biaya hidup terjadi berulang. 

Ibarat dunia samurai, pedangku sudah semakin tumpul untuk melawan peradaban. Yang ada adalah melakukan mekanisme pertahanan sebaik mungkin, memperpanjang napas untuk melanjutkan hidup. 

*******

Semalam aku telpon-telponan lama dengan dua mantan kakak kelas di Tamalanrea. Sebenarnya mestinya kami seangkatan, tapi aku memang masuk dua tahun di bawah mereka. 

Ya, kuliah pun bukan sebuah rencana bulat kala itu. Bahkan bisa dikatakan sebuah insiden, dan juga sekadar bergerak saja supaya tidak statis dan stagnan. Rupanya takdir memang tengah berpihak kala itu, di tengah kekalutan, kegamangan, dan kabut yang semakin pekat, sebuah panggilan hadir. Aku berhasil mendapatkan satu kursi di Tamalanrea, justru di tahun yang semestinya menjadi kesempatan terakhir. 

Andai kata saja kala itu, momen itu tidak datang, aku mungkin akan terus menjadi individu yang tersesat sebagai preman kelas keroco yang menghabiskan waktu di pinggir kanal yang suram. 

Pembicaraan via telepon dengan dua mantan kakak kelas hingga nyaris jam 12 semalam, sedianya akan menjadi sebuah kunci baru untuk mengubah status ekonomi keluargaku yang terpuruk dalam setahun terakhir. 

Sebuah lanskap usaha yang baru, tapi semoga aku tetap bisa kembali beradaptasi cepat, lalu kemudian bisa melakukan langkah-langkah akselerasi sebaik mungkin. 

Jika benar bisa terealisasi dan jadi jalan rezeki baru, sudah beberapa kali pula katakan pada diriku sendiri, "Jangan sia-siakan kesempatan kali ini, Der. Bekerja keraslah, kuatkan tekad. Carilah rezeki yang halal untuk menghidupi bini dan anak-anak selayak-layaknya. Mudah-mudahan masih ada pula yang bisa dibagi pada ibuku dan sepasang mertuaku."

Kucoba lihat mata hatiku dan isi pikiranku, "Rasanya cukup jernih dan tenang. Semoga saja jadi."

Ada harapan untuk kembali bertarung, berjibaku, berkarya di sisa umur di bumi manusia, itu lebih penting. 

Kubayangkan di sela-sela waktu kerja yang mungkin saja akan teramat sibuk, masih ada waktu untuk berlari minimal 30 menit per hari, atau setidaknya 3 - 4 kali seminggu, atau sepedaan nanti di sekitaran Subang selama minimal 2 x 90 menit per minggu, untuk menjaga kondisi kebugaran fisik dan pikiran. 

Semalam diskusi dengan bini, tadi pagi juga sebelum berangkat sepedaan, kalau memang memungkinkan biar aku sendirilah yang berangkat ke sana. Biar dia, si bini, jaga anak-anak di rumah, dan melanjutkan ikhtiar di Dapur Bu Yon. 

Ya, laki-laki dewasa memang seyogyanya harus selalu bertarung, bukan semata untuk menghidupi keluarganya, namun lebih jauh dan lebih tinggi lagi, itulah yang menjadi pertanda sejati jika dirinya memang laki-laki dewasa. 

Kini aku membayangkan, dalam beberapa waktu tidak lama lagi, aku bisa bangun subuh lalu berdiri menunggu hadirnya matahari pagi dan berkata, "Mohon ramahlah padaku, bantu buat aku betah di sini, selama tahunan, untuk sebuah perjuangan seorang individu dari kasta semenjana."

Semoga...

Bogor, 28 November 2020

16:50 WIB

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!