CHAPTER 87: CATATAN TIGA HARI



Inilah adalah catatan dua hari di tanggal 19, 20, dan  21 November 2020. 

*****

Kamis 19 November 2020:Sedemikian Kejamnya Dunia Ini?

Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi, ketika si little wolverine nama sepedaku diajak lemesin lutut ke rute datar ke arah Cilodong - Kota Kembang - Jembatan Gantung Pondok Rajeg, sebelum kembali pulang. 

Durasinya sekitar 1,5 jam jika non-stop, atau kalau pakai istirahat bisa makan waktu dua jam. 

Di sebuah kawasan Masjid yang arsitekturnya keren di wilayah Cilodong, saya sempat jeda sejenak minum dan foto-foto jika saya sudah pernah ke sini bersepeda. 

Selesai foto-foto sejenak saya sudah bergegas pergi, tiba-tiba ada seorang ibu bercadar dengan seorang anak gadis yang juga bercadar, menghampiri. Rupanya keduanya yang tengah berboncengan naik motor melintasi Masjid itu juga ingin berfoto. 

"Boleh tolong fotokan gak, Pak?" kata ibu tadi.

Saya sebenarnya ingin menolak awalnya, karena pertimbangannya agak riskan menerima barang orang di tengah himbauan jaga jarak dan menjaga agar bagian tangan tetap higienis di tengah situasi grafik pegebluk yang meninggi, tapi pada akhirnya saya mengiyakan untuk memenuhi permintaannya. 

Meski sebenarnya saya heran, kenapa manusia bercadar mau difoto?! 

Kalau itu untuk dirinya sendiri sebagai kenang-kenangan, mestinya tanpa difoto pun, dia pasti tahu kalau pernah lewat di kawasan Masjid yang arsitekturnya keren itu. Kalau buat disebar ke kenalan-kenalannya apalagi kalau buat diunggah di sosmed, bagaimana bisa orang tahu kalau itu dia, karena rupanya kan tidak kelihatan. 

Meski urusan becadar itu urusan keyakinan, tapi kadang saya bertanya-tanya juga, "Sedemikian kejamnya kah bumi ini sehingga dirimu harus menutupi wajahmu dari pandangan di bumi?!"

Selepas momen membingungkan itu, kembali kugenjot pedal sepedaku menuju arah Kota Kembang. Setibanya di sana, sempat kulihat seorang anak muda yang mengendarai Honda BeAT dengan gaya a la pembalap kawakan di trek lurus di sirkuit. Tubuhnya dibungkukkan setara handel-bar supaya bisa mereduksi beban hambatan angin. 

Aku sempat tertawa, aku jadi ingat kata-kata Casey Stoner dulu pada Valentino Rossi, "Ambisimu melebihi kemampuanmu."

*******

Jumat 20 November 2020: Tragedi Ayam Kampung Tua

Dapur Bu Yon lumayan menggeliat pesanan dalam beberapa hari ini. Beragam pesanan masuk, termasuk berburu ayam kampung untuk memenuhi pesanan Ayam Bakar Taliwang dan Ayam Goreng Kremezzzzzzz. 

Buat ke sana, ke tempat penjual ayam kampung itu, lumayan ribet aksesnya, karena banyak angkot yang suka ngetem di depan stasiun dan dijagain oleh preman-preman jalanan yang lumayan jumlahnya. Ya, di negeri ini potret preman-preman kelas coro di jalanan memang banyak, dan dari gesturnya siap berbuat onar bahkan untuk urusan yang sebenarnya sepela sekalipun. Ampun, Bang Jago. 

Apesnya, saya dan bini kembali dapat momen apes. Ada dua ayam kampung yang ternyata tua dan tentunya tidak direkomendasikan dijual ke konsumen. 

Tragedi ini kami dapat dari pemasok ayam kampung yang ke-6 selama Dapur Bu Yon berjalan sejak 22 Juni 2020 lalu. Padahal pas ayamnya diambil tadi kelihatannya masih muda dan kulitnya tidak hitam. 

Eh, pas dimasak sama bini ternyata tua, jadi dagingnya keras dan dengan berat terpaksa tidak bisa diantar ke pemesannya besok pagi.

Kata bini sih, ini ayam belum tua-tua amat, "Baru kayaknya tuanya, tapi mending gak usah dijual, daripada mengecewakan pelanggan."

Apes, tapi yah inilah salah satu konsekuensi usaha yang harus dihadapi. Rugi modal dan rugi waktu, tapi terpenting jangan mengecewakan pelanggan. Apalagi ini pelanggan repeat order.

#semangat

*******

Sabtu, 21 November 2020: Melawan Dengan Halus

Masih soal tragedi ayam tua. Bini akhirnya bilang, "Tolong bilangin deh ke abangnya ini tua."

Dimasukkannya ayam kampung yang sudah diungkep itu ke kantong plastik putih. Saya pun berangkat ke penjualnya dengan kebingungan. Dalam perjalanan saya berpikir bagaimana negosiasinya?! Kalau disampaikan dengan komplen marah-marah atau pakai emosi, pasti abangnya melawan balik dan bisa jadi lebih galak.

Sepanjang jalan menuju sana, kepalaku berpikir. Lantas aku berpikir, pasrah saja dengan teknik nego halus yang persuasif.

Alhamdulillah, abangnya gak pake lama langsung suruh anak buahnya ganti, lebih gede lagi. Alhamdulillah, ternyata memang gak semua persoalan memang bisa diselesaikan dengan tensi tinggi. 

Mungkin termasuk respon si Zonk gak perlu dengan cara super bego seperti dirinya. Ya orang kayak Zonk kaya raya dan punya kedudukan yang tinggi di negeri ini, tapi mata hati dasar kita jika integritas dan kredibilitasnya tidak lebih tinggi ketimbang seonggok, sori, tokai.

Seorang kawan baik bertanya, kenapa ada seorang seperti kawannya sangat membela kerumunan genk ketombe.

Saya bilang, Lex Luthor yang jelas2 jenius memilih jalan jadi penjahat besar, apalagi kalau yang level intelektualitasnya tidak lebih gede dibanding upil Lex Luthor 😅.

Hari Sabtu pun akhirnya ditemani abang Rasy dan Keanu, saya mengantar pesanan ke dua tempat. Abang Rasy menemani pas antar pesanan pagi di kawasan Depok Timur, sementara Keanu temani saat sorenya ke kawasan tepian Jakarta Selatan. 

Di dekat kawasan Kota Kembang Depok, seorang bapak yang membonceng anak laki-lakinya nampak bersitegang dengan seorang pengemudi ojol. Nyaris pukul-pukulan, andai tidak dilerai sama pengemudi ojol lain dan beberapa orang di sekitar situ. 

"Ayah, kalau gak penting-penting amat kayak gitu mending gak usah berkelahi dan tinggal pergi sajalah yah, ayah?" tanya Keanu. 

"Iya, nak . Tinggal pergi sajalah, bukan hal yang penting untuk diributkan," kataku, sambil ingat beberapa hari lalu ada kejadian viral moge harga 600 jutaan ditabrak sama mobil LCGC harga 100 jutaan. 

Ujung-ujungnya, keduanya malah jadi ribet sendiri karena ikutin emosi sesaat di jalan raya. 

Itu saja dulu.

Bogor, 26 November 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!