CHAPTER 263: ARTIKEL DIBUANG SAYANG - SURAT UNTUK JOKOWI

 wpid-1216223jokowi-time3340x340

Hari ini, Senin 20 Oktober 2014, Indonesia sedianya masuk ke dalam sebuah babak bersejarah, pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Sedianya pula, hari ini akan ada pesta rakyat yang akan dihelat oleh para relawan pendukung Jokowi - JK di Monas. Aku sendiri, meski masuk ke dalam jajaran 70 juta rakyat pemilih, lebih memilih untuk bekerja untuk anak istri di hari ini.

Bukan berarti hari ini tidak istimewa buatku. Sedari kemarin, memoriku otakku mengingatkan pada "artikel dibuang sayang". Ya, artikel ini sengaja aku buat khusus pada sebuah perlombaan "Surat Untuk Jokowi". Tidak menang memang, namun sekali lagi, ini adalah artikel katarsis, sebuah upaya melepaskan rasa kekaguman, sekaligus pesan.

Bogor, 23 Juni 2014

 

Kepada YTH,

Bapak Joko Widodo

di –

Tempat

 

Salam Hormat,

 

Perkenalkan, nama saya Rahmat Derryawan, akrab disapa Derry. Saya adalah alumni program studi S-1 Ilmu Komunikasi dari Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar, dengan tahun kelulusan 2001.

Melalui surat kepada pak Jokowi ini, saya ingin menceritakan sebuah alur dan kemudian menjadi dasar argumen, mengapa saya merasa terpanggil untuk mendukung pak Jokowi memimpin Indonesia, negeriku tercinta.

Sekedar info tambahan, tahun ini usia saya akan menginjak 39 tahun bulan November nanti. Sepanjang usia itu, saya baru sekali ikut pemilu presiden. Sebuah keputusan yang kerap saya sesali, hingga literasi yang saya dapatkan saat ini menggugah saya untuk mengubah keputusan itu.

 

Demo Solo dan Kritik pada Sistem Pendidikan di Indonesia

Sekitar tahun 2000, saya pernah melakukan aksi solo demo, dengan menutup akses masuk pintu Rektorat Unhas yang terletak di Km 10 Tamalanrea, Makassar. Akibat aksi itu, selama empat hari, pak Rektor terpaksa harus masuk lewat pintu samping untuk naik ke ruangan kerjanya.

Kala melakukan aksi demo solo itu, tuntutan saya hanya satu, yaitu protes pada sistem pendidikan di Indonesia yang tidak mencerahkan. Dari pengalaman saya di bangku kuliah, ruangan kelas hanya sebatas proses mengejar kewajiban SKS dari staf pengajar ke para mahasiswanya.

Saya merasakan siklus yang sama terus berputar, karena sistem pendidikan di Indonesia tidak lebih dari upaya untuk memenuhi standar kebenaran yang dibawa oleh sang guru atau dosen yang mengajar di depan kelas.

Buat yang siswa tidak sesuai dengan standar mereka, maka bakat para siswa tersebut hanya akan tetap terpendam di alam bawah sadar. Maka jika demikian, sistem pendidikan telah melakukan kesalahan terfatal, yaitu gagal untuk menggali kemampuan terpendam yang ada pada setiap siswanya untuk menjadikan mereka manusia yang berdikari.

Di tengah kebuntuan itu, buat siswa yang kreatif dan tidak ingin menyerah, mereka dipaksa untuk mencari jalan alternatif, agar dapat menemukan ruang untuk membentuk kemampuan diri. Alhasil di jaman saya kuliah, lembaga kemahasiswaan di Ilmu Komunikasi Unhas yang bernama Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) menjadi semacam padepokan bagi saya untuk menemukan dan menempa kemampuan diri.

 

Sistem Pendidikan di Indonesia: Prioritas sebagai Media Pencerahan Anak Bangsa atau Sekedar Ruang Bisnis?

Masih segar di ingatan saya, akibat kesalahan pihak percetakan yang dipercayakan oleh pihak Kemendikbud pada tahun 2013, jadwal Ujian Nasional tingkat SMU harus mundur di 11 propinsi.

Tidak ada bentuk pertanggungjawaban dari pihak Kemendikbud saat itu, termasuk dari bapak Menterinya. Kasus ini menguap begitu saja, meski tentu mengendapkan beberapa tanda tanya di masyarakat, termasuk dugaan penyalahgunaan anggaran, mengingat pihak percetakan yang dipercaya tersebut bukanlah pihak peserta tender dengan pengajuan harga terendah.

Di negeri ini, kita sudah terbiasa dididik atau tepatnya ditekan, bahkan dipaksakan untuk menerima berbagai kebijakan pemerintah yang merugikan. Implikasinya ada dua potret buruk yang terus dipertahankan sebagai budaya berbangsa.

Pertama, masalah mental sang pembuat kebijakan di negeri ini yang sewenang – wenang dalam menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya. Kedua, masalah mental rakyat yang sudah biasa tertekan, sehingga gampang untuk melupakan beragam hal buruk dari sikap dan kebijakan pemerintahnya.

Pada implementasi UN tingkat SMU tahun 2013 yang lemah itu, hanya bapak Khairil Anwar Natodiputro selaku Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) di Kemendikbud yang berani bertanggungjawab dan mengundurkan diri.

Dan ya, seperti saya kemukakan di atas, sistem pendidikan kembali menjadi pedang pancung yang membunuh potensi dan bakat siswa yang tidak sesuai dengan standar kacamata kuda yang ditetapkan.

Pada UN tingkat SMU tahun 2013, faktor kelulusan siswa 60 persen ditentukan oleh hasil ujian nasional, dan hanya 40 persen dari nilai rapor. Baru pada tahun 2014, kebijakan itu direvisi menjadi 70 persen dari nilai rapor, dan 30 persen dari hasil ujian nasional.

Saya melihat setidaknya ada tiga titik lemah dari sistem pendidikan kacamata kuda yang ditetapkan oleh pihak Kemendikbud. Pertama, perubahan sistem penilaian antara tahun 2013 dan 2014 menunjukkan dengan jelas, jika pihak Kemendikbud tidak memiliki visi jangka panjang dan langkah sistematis dalam menentukan nasib pelajar di Indonesia.

Hanya seperti tukang tambal ban, jika ada kebocoran baru diperbaiki.

Kedua, sistem penilaian UN tingkat SMU pada tahun 2013, seolah melupakan upaya dan kerja keras siswa selama tiga tahun belajar di sekolahnya masing – masing, karena 60 persen indikasi kelulusan mereka hanya dinilai dari beberapa hari pelaksanaan Ujian Nasional.

Padahal bukan rahasia lagi, meski mungkin ada Garis – Garis Besar Haluan Pendidikan di Indonesia, tapi perhatian pada kualitas pendidikan sangat kontras di berbagai wilayah, antara satu daerah dan daerah lainnya. Khususnya di daerah tertinggal.

Ketiga, dari SD hingga menyelesaikan studi S1 di Unhas, saya melihat sistem pendidikan di Indonesia lebih menyerupai proses input dan output di sebuah pabrik. Sekolah tidak pernah, atau tidak berupaya menjadikan anak – anak Indonesia dapat menjadi dirinya sendiri.

Faktor penentu kemampuan diri setiap siswa hanya dinilai berdasarkan satu pintu, dan jika tidak mampu melewati pintu itu, maka dianggap tidak dapat melewati sistem pendidikan formal yang ditetapkan.

Argumen saya ini merupakan potret umum di negeri ini. Meski tentu dapat diperdebatkan jika mengacu pada sekolah – sekolah negeri yang elit, atau sekolah swasta yang berbiaya mahal.

Untuk itu, saya sepakat dengan pandangan dari Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brasil, jika sistem pendidikan tidak lebih dari sebuah bentuk kapitalisme yang licik.

Merujuk kembali pada pengalaman saya di ruangan kuliah di universitas negeri yang kabarnya terbaik di Indonesia bagian timur, saya mendapati tidak ada satu pun mata kuliah yang mengajarkan saya bagaimana saya menggali potensi diri saya, guna menghadapi dunia di masa depan. Bahkan dalam level yang lebih rendah, tidak ada satu pun staf pengajar yang membekali saya, bagaimana menghimpun amunisi yang cukup untuk menghadapi dunia di luar sana, dalam bentuk apa pun yang berarti positif...

Revolusi mental

Rasa apatis ini tetap saya pegang, dan saya percayai sebagai sebuah paradigma, jika pendidikan formal bukanlah satu – satunya jalan penentu kesuksesan dan kemandirian dalam kehidupan di Indonesia.

Dan hal ini pula yang saya percayai dalam mendidik tiga anak saya, hingga sesosok figur di pemerintahan menyerukan paradigma revolusi mental dalam kampanyenya. Figur itu mengemukakan, jika kekuatan utama pada pembangunan negeri ini adalah pada sumber daya manusianya.

Saya terhenyak. Memoar perlawanan saya selama ini terhenti sejenak dan ingin menyimak.

Saya jadi ingin mengenal sosok ini lebih jauh. Saya lalu ingat, sosok itulah yang kerap diberitakan melakukan blusukan di berbagai media publik di negeri ini.

Dari dia, saya baru tahu kalau ada istilah blusukan di negeri ini. Kata ini seketika menjadi populer di masyarakat. Meski tidak mengerti artinya secara pasti, saya mengira – ngira artinya adalah terjun langsung ke masyarakat dan berinteraksi. Mendengar keluhan dan menerima masukan, untuk kemudian menjadi dasar menetapkan kebijakan yang pro rakyat.

Menarik, saya jadi ingat akan kenangan betapa kuatnya sikap mendengarkan guna mengumpulkan kekuatan untuk membangun.

Detak tentang orang sewarna dengan kapasitas yang tentu lebih besar menggugah memori saya ke tahun 2000, dimana saya harus menjalani kewajiban Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kota Pare – Pare, Sulawesi Selatan.

Seingat saya, KKN di wilayah kotamadya Pare – Pare adalah yang pertama dan terakhir kali dilaksanakan oleh pihak Unhas. Saya sendiri ditempatkan di sebuah kelurahan bernama Lapadde di Kecamatan Ujung yang terletak di Kilometer 5 jalan poros Pare – Pare ke kabupaten Sidrap.

Di lokasi tersebut, secara aklamasi teman – teman menjebak saya sebagai Kordinator Kelurahan. Saya hanya menjawab, “Baiklah, tapi resikonya tanggung sendiri yah!”

Pada pekan pertama KKN, saya memilih tidak melakukan aktivitas apapun. Saya hanya mendengarkan musik dari album Counting Crows, band kesukaan saya di jaman kuliah.

Pak Lurah di tempat kami berada hanya bisa geleng – geleng kepala dan menatap tidak mengerti. Ia juga lulusan Unhas soalnya, namanya Drs. Aswadi Talib.

Suatu ketika pak Lurah bertanya, “Nanti kalau ada tim penilai dari kampus, saya mesti bilang apa yah? Khan adik – adik ndak bekerja apa – apa.”

Saya menjawab, “Sebenarnya saya mau ajak teman – teman kerja, pak, asal janganlah sekedar mengecat atau membuat tanda marka jalan seperti yang biasa saya lihat. Kalau itu, tukang pasti lebih ahli daripada kami.”

Kening Pak lurah berkenyit, dia bertanya lebih lanjut, “Jadi apa yang kalian mau kerjakan kira – kira selama dua bulan KKN?”

Kembali saya menimpali, “Kalau boleh dan diijinkan, saya ingin mendengar apa persoalan krusial yang ada di kelurahan ini? Barangkali kami bisa bantu.”

Alhasil keesokan harinya, saya dan teman – teman diajak ke kantor kelurahan Lapadde. Di sana, kami mendengar beberapa penjelasan mengenai persoalan di kelurahan Lapadde kala itu.

Dari penjelasan tersebut, saya dan teman – teman menyimpulkan ada tiga persoalan yang menarik minat kami, yaitu memperbaiki akses jalan ke sebuah potensi kawasan wisata, membangkitkan lahan tidur di jalan utama propinsi Pare – Pare – Sidrap agar dapat mengurangi laju TKI, atau menghidupkan upaya pembangunan pasar rakyat yang sudah selama enam tahun diperjuangkan namun mengendap.

Setelah menimbang – nimbang dan berdiskusi, saya dan teman – teman akhirnya memutuskan memilih persoalan ketiga untuk diperjuangkan. Maka mulailah kami menyusun langkah – langkah, mulai dari menggali konsep yang sudah ada, menemukan celah kebuntuan selama ini, menghubungi pihak – pihak terkait, hingga mencanangkan format kegiatan yang akan dilakukan.

Dalam proses pengerjaan, saya dan teman – teman juga berdiskusi dengan beberapa pihak terkait, mulai dari Pemda, Dinas Pasar, Dispenda, hingga kepada perwakilan dari Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) di kota Pare – Pare.

Selama proses mendengar dan mengumpulkan bahan kegiatan, kami belajar untuk menemukan dasar jawaban, yaitu kelurahan Lapadde saat itu telah memenuhi dua syarat pembangunan pasar rakyat, yaitu berpenduduk enam ribu jiwa dan jarak dari pasar rakyat Lakessi sudah lebih dari lima kilometer.

Akumulasi persiapan itu memakan waktu cukup panjang. Baru di pekan ketujuh atau seminggu sebelum kami harus kembali ke Makassar, saya dan teman – teman menggelar kegiatan “Temu Wicara” antara masyarakat Lapadde dengan para pihak terkait di atas. Pelaksanaan kegiatan sendiri dilaksanakan di kantor kecamatan Ujung, Pare – Pare.

Rasa senang saya dan teman – teman kemudian meninggi, ketika dua menjelang kepulangan kami, perwakilan Pemda Pare – Pare dan pihak terkait meninjau lokasi pendirian pasar rakyat yang berada di belakang kantor kelurahan Lapadde.

Selama proses tersebut, saya juga sempat diwawancarai dua kali oleh media Harian Pare – Pare Pos, seolah kami adalah pahlawan yang berhasil memperjuangkan kebutuhan rakyat Lapadde. Bukti potongan wawancara dari media itu kemudian hari dikirim oleh pak Lurah, dan masih saya simpan dalam sebuah album hingga hari ini.

Kemudian hari, saya memang mendengar kabar, jika program pasar rakyat ini tidak terealisasi. Saya jadi teringat masukan seorang pegawai di Dispenda saat itu, “Kalau bisa tinggal terus ki, dek di sini. Kawal ki ini proyek, supaya betul – betul terealisasi.”

Permintaan yang tidak sanggup saya penuhi saat itu, karena saya harus kembali ke kampus dan menyelesaikan masa studi di Unhas.

Memori akan pentingnya mendengarkan untuk menentukan langkah ke depan itulah yang kembali muncul di benak saya dari aksi blusukan pak Jokowi.

Rasa ingin tahu saya pada sosok pak Jokowi akhirnya cukup memuaskan saya, setelah membaca sebuah buku berjudul “Jokowi Memimpin Kota Menyentuh Jakarta” yang ditulis Alberthiene Endah.

Di kemudian hari, rasa percaya saya pada pak Jokowi makin tinggi, setelah menonton sebuah video presentasi pak Jokowi di acara Indonesia Young Changemaker Summit (IYCS) di Bandung lewat You Tube.

Bagi saya, sosok dan kinerja pak Jokowi telah membangkitkan rasa optimisme kembali dalam kehidupan berbangsa, sekaligus menjadi menjadi warna baru di negeri ini yang menginspirasi saya dan istri, tentang sosok anak tumbuh di bantaran sungai kumuh, namun tidak pernah meredupkan semangat juangnya untuk melihat dunia sebagai harapan.

Anak yang tumbuh di pinggiran sungai kumuh itu tetap senantiasa mendengar dan menggugah potensi – potensi yang terpendam di wilayah gelap negeri ini. Ia menjelma laksana mercuar.

Figur itu bersedia menyisingkan baju dan membungkukkan badan untuk berbuat. Saya melihat di video presentasinya, bagaimana dia menciptakan media fasilitas pendidikan rakyat kecil untuk memperbaiki taraf kehidupan.

Teruslah mendengar dan blusukan, pak Jokowi. Ya, saya bangga Indonesia bisa menemukan pemimpin dari rakyat langsung, sehingga dia tidak perlu beradaptasi ataupun berempati. Seperti satu di antara slogan yang dikampanyekan selama proses pemilihan Presiden di Indonesia saat ini, “Jokowi adalah kita.”

Mozaik perjalanan pak Jokowi juga kembali “memaksa” hati kecil saya untuk kembali berjalan ke TPS pada tanggal 9 Juli 2014, insya Allah.

Saya berharap, jika pak Jokowi nanti terpilih sebagai Presiden Indonesia. Tetaplah untuk sederhana, dengarkanlah senandung dan detak potensi kelebihan rakyat, sekecil apapun itu. Siramilah potensi itu, agar Bhinneka Tunggal Ika yang identik keberanekaragaman itu tidak lagi sebagai simbol imajiner yang tidak pernah terimplementasi.

Jangan kecewakan, rakyat. Buatlah kami anak bangsa untuk senantisa membanggakan masa kepemimpinan pak Jokowi di bumi pertiwi.

Saya pribadi sudah menyiapkan jawaban, jika anak – anak saya bertanya, “Kenapa ayah memilih Jokowi?”

Selain memberikan poin – poin penjelasan di atas, saya juga tidak sungkan untuk berkelakar, “Mungkin karena kali ini ayah lebih ganteng dan lebih kekar dibanding pak Presiden, nak!”

Peace, pak Jokowi. Tetaplah sehat, sukses selalu dan makin bahagia, Aaamiiin. Salam 2 Jari.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!