CHAPTER 227: SEKALI LAGI BICARA TENTANG NILAI KEMANUSIAAN

 "Anger and intolerance are the enemies of correct understanding." (Mahatma Gandhi)

quote-anger-and-intolerance-are-the-enemies-of-correct-understanding-mahatma-gandhi-10-58-43

IMHO, kata-kata singkat Gandhi di atas sudah cukup untuk melukiskan kondisi kekinian tentang semakin banyaknya orang yang mulai meninggalkan esensi dari pemahaman yang benar, karena disertai rasa amarah dan ketidaktoleransian dalam penentuan sikap dan pengambilan kebijakan.

Eleginya, karena cukup satu kata saja diambil misalnya, entah itu “kemarahan” atau “ketidaktoleransian” sudah cukup memberangus jejak orang baik yang telah berhenti.

Aung San Suu Kyi, peraih Nobel Perdamaian pada tahun 1991, misalnya. Perempuan kelahiran Myanmar 19 Juni 1945 ini seolah telah mulai melupakan satu satu nilai utama dari wujud demokrasi yaitu toleransi kemanusiaan. Kabar terakhir sudah ada sekitar 10.000 pengungsi Muslim Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh (sumber DETIK.COM). Itu belum termasuk yang melarikan diri ke negara-negara lain termasuk di Indonesia.

Contoh lain dari ketidaktoleransi dan juga mengandung unsur kemarahan adalah (mungkin) pada kasus Mario Teguh dan anaknya Kiswinar. Pada akhirnya hasil tes DNA yang disingkap pihak kepolisian, Kiswinar adalah anak biologis dari salah satu motivator paling kondang di negeri ini. Dari kasus ini kita bisa belajar dari salah satu petuah bijak yang mudah Anda temui di internet, “Just because you’re angry, doesn’t mean you have right to be cruel.”

Rasanya banyak orang yang sepakat, jika tidak mengakui anak darah daging Anda itu adalah salah satu bentuk kemarahan terkejam dalam sudut pandang nilai kehidupan kemanusiaan.

Ya, sepatutnya kita memang tidak pernah berhenti percaya untuk menunjung tinggi nilai kemanusiaan. Dalam salah satu wasiat Nabi Muhammad SAW yang saya percaya, Beliau juga mewasiatkan “habluminnas” yang kira-kira berarti “menjaga hubungan baik yang sejajar sesama umat manusia”, selain pesan ”habluminallah” yang kira-kira berarti “menjaga hubungan baik dengan Tuhan Yang Maha Esa”.

Gandhi pun pernah menuturkan kalimat bijaknya yang lain, “You must not lose faith in humanity. Humanity is an ocean; if a few drops of the ocean ada dirty, the ocean does not become dirty.” 

Beberapa ataupun banyak orang yang mungkin percaya jika agama adalah sebab kemerosotan penghargaan atas nilai kemanusiaan. Namun saya tidak berpendapat demikian, karena menurut saya, Agama adalah bentuk cinta kasih, sebuah cara Tuhan untuk membantu kita melihat kehidupan dengan bijak dan indah.

Saya memang tidaklah agamis. Bahkan jika mengacu pada perspektif beberapa orang di sosial media, saya mungkin sudah masuk golongan “kafir”. Tapi itu tidak menjadi soal buat saya, karena urusan iman dan rasa ketertundukan saya pada Tuhan, saya pertanggungjawabkan secara vertikal.

Saya bilang hal di atas sebagai landasan acuan perspektif saya berikut ini, jika sikap baik pada Tuhan dan ajaranNya berbanding lurus dengan sikap menghargai nilai kemanusiaan secara berkelanjutan.

Caranya? IMHO neeh yah, jangan jadi fanatik pada apapun. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “fanatik” berarti “teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya).”

Kenapa? Karena sikap “fanatik” rentan dengan timbulnya munculnya sikap emosional, marah dan ketidaktoleransian.

IMHO lagi neeh, mencintai Tuhan sekalipun bisa dilakukan dengan sederhana dan penuh cinta. Make peace not war, guys

Bogor, 1 Desember 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!