CHAPTER 299: KUPAS ISI PESAN FILM NGENEST THE MOVIE (2015)

 

Beberapa hari lalu biniku nonton streaming "Cek Toko Sebelah". Dia lantas berujar," Bagus banget filmnya. Pantesan ayah suruh nonton di bioskop waktu itu. Filmnya ada lucunya, ada sedihnya. Aku suka filmnya, ada lagi gak yah film lain Ernest? Aku mau nonton lagi."

Singkat cerita akhirnya, kami akhirnya nonton streaming film "Ngenest the Movie". Sebuah film dengan narasi yang menurutku bertema slapstick comedy, dan membuat benakku menerawang panjang ke belakang tentang masalah etnis yang memang belum pernah tuntas hingga kini di negeri ini...

Ernest yang memang sangat dikenal dengan materi stand up comedy bertemakan etnis "Cina", kembali menjual narasi yang sama di film "Ngenest The Movie" dengan tagline "Kadang Hidup Perlu Ditertawakan".

Film ini bercerita tentang perjalanan anak laki-laki bernama Ernest Prakarsa yang tidak merasa nyaman terlahir sebagai "Cina". Dari awal film memang sudah terdengar narasi suara, "Kita tidak pernah bisa tahu dari suku mana kita dilahirkan..."

Sejak kecil Ernest acapkali di-bully sama teman-temannya, karena masalah etnisnya. Satu-satunya teman yang dia miliki sampai dewasa hanyalah Patrick. Buat Ernest, lahir besar dan tumbuh sebagai "Cina" bak kutukan, hingga ia menemukan solusi yaitu menikahi pribumi (suku Melayu) agar anak-anaknya kelak tidak terlahir sebagai "Cina" juga.

Sayangnya rencana ini tidak berlangsung mulus, setelah menikah dengan Meira ada kekhawatiran lain yang timbul, "Bagaimana jika nanti anaknya tetap seperti dirinya dan kembali dibully oleh teman-temannya?!"

Alhasil setelah dua tahun pernikahan, Ernest masih selalu menunda punya anak dengan terus memakai kondom saat berhubungan dengan istrinya. Meski pada akhirnya karena rasa sayang pada istrinya, Ernest akhirnya memutuskan memberanikan punya anak.

Jelang momen persalinan, dilema di benak Ernest masih belum selesai. Ia masih khawatir jika nanti anaknya punya mata sipit seperti dirinya. Di akhir cerita, Ernest lebih memilih tidak memikirkannya. Ia lebih memilih menjalani apapun rupa anaknya, seperti di tagline film ini, "Kadang hidup perlu ditertawakan"...

DISKURSUS TENTANG ETNIS YANG TIDAK KUNJUNG SELESAI

Saya tiba-tiba ingat masa remaja di Makassar, saat baru-baru mulai aktif merokok. Di saat itu, ada semacam moto yang berkembang di kota Makassar, "Kalau habis makan terus tidak merokok itu sama saja ditampar Cina dan tidak melawan!"

Meski kadang-kadang jawaban penangkis pun muncul, "Bagaimana kalau Cinanya itu Bruce Lee atau Jet Li?"

Jawabannya adalah, "Lari ko!"

Dari dialog itu terkandung pesan betapa di kalangan orang Makassar umumnya saat itu, jika bangsa Cina adalah pendatang. Itulah selalu ada perasaan berbeda jika melintasi jalan Somba Opu atau jalan Sulawesi yang banyak dihuni "Cina", seperti melintasi areal suku asing. Rasanya stereotipe ini banyak bersemayam di benak masyarakat umum saat itu...

Hingga suatu ketika sebuah peristiwa yang memicu amarah seisi kota Makassar, seorang pria Cina yang dianggap kurang waras dituduh melecehkan anak perempuan dari seorang pemuka agama. Meletuslah endapan rasa itu, semua "Cina" dianggap salah dan kerusuhan berbau etnis pun merebak di Makassar kala itu.

DI-BULLY

Sepanjang hidup pun saya pernah merasakan di-bully. Saat mengikuti Mamaku pindah ke Jakarta, saya pernah di-bully sama anak-anak Irian dan Betawi karena mereka tahu saya anak Makassar.

Sebuah situasi yang membuatku tercengang. Itulah selepas masa SMP yang tidak mengenakkan di Jakarta, saya lebih memilih kembali ke Makassar. Di kampung halamanku sendiri, saya punya hobi baru yaitu "berkelahi'. Sejak jadi korban bully di Jakarta, timbul semboyan baru di benakku muda kala itu, "Kalaupun harus mati, biarlah di kampung halaman sendiri."

Jadilah saya pernah merasakan berkelahi dikeroyok anak-anak asrama Tentara di jalan Baji Gau kala itu...

MENGENANG PERTEMANAN DENGAN PARA "CINA"

Saat di SMP, saya hanya punya satu teman. Dia preman anak Petamburan, tapi saat saya berkunjung ke rumahnya nampak jika bapak dan ibunya adalah "Cina". Mata mereka sipit, meski tinggal di gang kecil yang sempit dan memeluk agama Islam.

Di SMA, saya punya satu teman juga anak jalan Laiya dekat Pasar Sentral. Dia preman juga, tapi kali ini "jajahanku". Dia Muslim juga, tapi saya memanggilnya "Irwan Cina". Ibunya cantik, sampai kadang-kadang terucap kata-kata, "Bagaimana kalau saya jadi bapak mudamu, bro?"

Irwan lantas ngamuk-ngamuk...

*****

Saat pertama kali menjadi jurnalis otomotif tahun 2001, saya punya satu narasumber juragan modifikasi audio mobil. Namanya Ahin di kawasan Duta Mas dekat jalan Pangeran Tubangus Angke.

Meski baru jadi jurnalis dan setiap saya datang meliput, Ahin pasti mentraktir makan di rumah makan mewah. Terkadang dia membelikanku bir hitam botolan, mungkin karena dia pikir saya anak Makassar.

"Gue ini Cina Lampung, Der. Pas kerusuhan dulu tahun 1998, toko gue pernah dijarah sama orang-orang yang badannya gede dan rambutnya pendek-pendek kayak aparat. Bini dan anak-anak gue umpetin di kamar mandi di lantai dua. Gue minta beredam, supaya gak kelihatan," katanya suatu ketika.

"Setelah kejadian itu, gw pergi ke China seperti kata orang-orang bangsa lo. Orang Cina mesti ke Cina, tapi gue gak betah. Biar kata gue Cina, tapi jiwa gue Indonesia. Di sini gue betahnya, boss. Bagaimana tuh?"

Saya menjawabnya, "Gak usah dipedulikan, boss. Lu tinggal saja dimana lo nyaman. Toh, resiko hidup bisa ada di mana saja."

Selama bertahun-tahun, saya seperti menjadi jurnalis otomotif "kesayangan" Ahin. Tapi itu sudah lama banget juga, sudah lebih dari 10 tahun terakhir kami tidak ketemu. Saya juga rasanya sudah lupa rupanya. Terakhir saya dengar usaha audio mobilnya lagi gak bagus dan dia sudah pisah dengan bininya.

DISKURSUS TENTANG ETNIS YANG TIDAK KUNJUNG SELESAI (2)

Soal perdebatan dan pertentangan tentang etnis di negeri ini menurut saya memang belum kunjung selesai hingga saat ini. Masih siap meletup dan meletus di suatu waktu yang tidak terduga. Tidak hanya pada etnis Cina, tapi pada semua etnis...

Masih ingat pertempuran suku Dayak versus Madura atau suku Flores yang bersiteru dengan suku Ambon beberapa tahun silam. Hingga saat ini pun pandangan stereotipe pun masih berkembang di antaranya suku pelit pasti Padang, suku pedagang Padang dan Bugis, atau suku preman itu ada suku Betawi, Makassar dan Ambon.

Orang Sunda masih sering terdengar mengatakan "orang Jawa" seperti pada biniku yang orang Sunda Ciamis. Demikian pula sebaliknya orang Jawa (Tengah dan Timur) masih menyebut orang Jawa Barat sebagai "orang Sunda".

Di tanah asalku sendiri ada tiga suku yaitu Bugis, Makassar dan Toraja. Dulu empat malah sebelum Mandar memisahkan diri membentuk provinsi baru Sulawesi Barat.

Ke depan entahlah apakah masalah perbedaan etnis dan suku akan lebih baik, statis atau lebih kisruh khususnya di tangan anak-anak generasi "Z" atau milenia baru...

Persoalan masalah suku dan etnis yang belum tuntas ini pulalah yang membuatku 16 tahun silam bersikeras mengkaji isi film "The Patriot" dan "Braveheart" untuk bahan skripsiku, dengan menyorot pada dua poin utama yaitu soal "nasionalisme" dan "patriotisme".

Buatku tema cerita kedua film itu bisa jadi pelajaran penting buat Indonesia, yaitu bagaimana state-state di Amerika Serikat dan klan-klan di Skotlandia menyatakan persatuan kebangsaan. Sebuah hal yang belum pernah saya baca atau dapatkan di negeri tentang adanya sebuah konsensus kebangsaan dimana semua suku dan etnis di negeri ini menyatakan satu deklarasi kebangsaan, bangsa Indonesia...

Itu saja...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!