CHAPTER 269: KEBENARAN REKAYASA DIGITAL #ARTIKELSECANGKIRKOPI

 

jbkderry.com - Beberapa hari lalu di YouTube Trending, jbkderry.com melihat ada sebuah vlog berdurasi 3 menitan. Isinya cuma potongan screenshot foto, media massa, dan instagram, lalu diberi narasi dalam format rekaman suara tentang gosip kemarahan seorang ibu kaya raya raya yang anak dan menantunya adalah salah satu pasangan selebriti paling terkenal di negeri ini.

Penontonnya di atas 1 juta viewers, gokilz.

Hal ini pulalah yang mengilhami artikel kelas secangkir kopi untuk Minggu pagi 13 Oktober 2019, tentang dunia atau ruang media digital yang semakin menampakkan kekuatannya dalam merekayasa kebenaran dan kejujuran versinya.

Rekayasa kebenaran atau mungkin lebih trend dengan istilah post-truth di era digital pada faktanya jadi jauh lebih menyeramkan ketimbang era media cetak. Jika dulu, salah satu bentuk kebohongan terbesar para pelaku bisnis media cetak adalah para bosnya yang suka ngaku jumlah eksemplar medianya ada puluhan ribu hingga ratusan ribu eksemplar, padahal faktanya jauh di bawah itu.

Sebuah strategi klasik saat itu demi pencitraan untuk menarik simpati para calon pengiklan.

Nah, di era media digital, rekayasa kebenarannya tidak lagi mengejar angka puluhan ribu ataupun ratusan ribu. Dengan salah satu amunisi terbesar media digital yang bernama 'SEO' (search engine optimatization), sebuah konten biasa seperti di awal paragraf bisa menjangkau hingga jutaan orang (baca: nama akun) hanya kurang dari sepekan. 

Amunisi super kuat lainnya dari media digital apalagi kalau bukan 'AI' (artificial intelligence) dan 'Big Data'. Dengan cengkeraman tentakel-tentakelnya yang super kuat itu, sebuah konten digital tidak lagi harus berisi kualitas yang baik dan positif, serta objektif.

Sebuah konten cantelan atau asal buat bisa menjadi sebuah kebenaran rekayasa yang diterima oleh banyak pihak. Dengan SEO, AI, dan Big Data, sebuah konten cantelan atau asal buat bisa memiliki sejumlah tentakel yang sangat banyak dan bisa menjangkau semua lapisan dimanapun sepanjang terkoneksi dengan apa yang namanya 'internet'.

Gak percaya? Coba tanya perasaan Will Smith kalau tahu jika jumlah follower Instagram-nya yang 38,7 juta followers "hanya" beda 3,6 juta ketimbang Ayu Ting-Ting yang punya jumlah followers Instagram sebanyak 35,1 juta akun.

Coba tanya juga bagaimana perasaan Will Smith kalau tahu jumlah subscribers YouTube-nya yang 6,8 jutaan orang jauh di bawah Atta Halilintar yang tembus 19,3 jutaan nama akun saat artikel kelas secangkir kopi ini dibuat.

Will Smith mungkin patut protes kemudian, apalagi jika ia mengetahui ternyata jumlah penonton film pertama Ayu Ting-Ting, Dim Sum Martabak (2018), "hanya" ditonton sekitar kurang dari 400 ribu penonton.

Ataupun film '13: The Haunted' dan 'Belok Kanan Barcelona' dua film yang dibintangi Atta Halilintar gagal masuk dalam 15 film terlaris di Indonesia pada tahun 2018.

Wajar bila kemudian Will Smith protes, karena jika mengacu pada data-data pengikut di media sosial yang semakin penuh rekayasa, masak suami dari Jada Pinkett Smith ini rela jika kemudian Gemini Man (2019) juga hanya ditonton ratusan ribu orang, padahal sudah mengeluarkan dana produksi hingga USD 158 juta.

Era digital pun telah banyak mengubah wajah dan format suguhan media massa yang semakin tipis bedanya dengan media sosial.

Sederhananya, era digital dengan jumlah tentakelnya yang sangat banyak dapat menguasai gerak media massa dan media sosial, lalu dengan mudahnya menyebarkan potensi disrupsi secara massif dan semakin liar.

Melihat fakta-fakta ini, mungkin atau ada baiknya kita meminjam salah satu sifat Joker untuk mentertawai hidup, “I used to think my life was a tragedy. But now I realize, it’s a comedy.”

Ya, ada benarnya jika melihat perkembangan dunia yang semakin menggila di luar sana, ada baiknya kita ketawa saja. Seperti kalimat retorik Arthur Fleck pada petugas sosial yang menangani kesehatannya, "Is it just me, or is it getting crazier out there?"

Dan sebagai penutup artikel kelas secangkir kopi di pagi ini, jbkderry.com percaya satu hal, "Jika di dalam setiap tubuh manusia bersemayam karakter Joker, tinggal memutuskan untuk berani memunculkannya atau menahan diri untuk tidak ikut-ikutan menjadikan dunia jadi lebih gila saat ini."

"Yeah, I believe there is soul of Joker inside every of us, whether we like to release or not."

Oh iya, kalau menurut kalian Joker versi siapa yang paling difavoritkan? Kalau jbkderry.com memberikan nilai 9 - 9,5 untuk Joker versi Joaquin Phoenix, namun lebih suka versi mendiang Heath Ledger dengan nilai 10.

Selamat berakhir pekan, Indonesia. Semoga menyenangkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!