CHAPTER 9: PUNCAK (AWAL) KENAKALAN
Hati-hatilah dengan referensimu, karena itu bisa menjadi
panduan sekaligus haluan yang dapat menyesatkan!
-
“Siapa tokoh idola kalian saat masa remaja?”
Jika pertanyaan itu diajukan pada Zolenk di saat kelas 3
SMA, jawabannya seuabrek, “Silvester Stallone waktu di Over the Top, Bruce
Wills di Die Hard, Jean-Claude Van Damme, Steven Siegel, Tiger Wong dan
Sembilan Benua dari komik cergam Tony Wong, Chinmi dengan Kungfu Peremuk
Tulang, tapi yang paling digilainya adalah Christian Slater yang dianggapnya
sebagai potret “bad boy” sejati .”
Referensi brutal yang menjadikannya (semakin) brutal. Sepanjang kelas
tiga, rekor berkelahi Zolenk semakin banyak, hampir setiap minggu. Rekor bolos
sekolahnya pun makin parah.
Suka nodong anak-anak SMA dan SMP yang lewat di depannya,
buat beli rokok, main judi kiu-kiu dan alkohol.
Adik Zolenk yang cewek pun protes, “Saya malu punya kakak
yang suka todong-todong duit anak sekolah. Masak teman kelasku ngaku ditodong
uang jajannya.”
Tapi protes itu diabaikan. Zolenk semakin menjadi dan lupa
diri.
Di saat malam datang dan makin meninggi, bukannya pulang,
dia bergabung dengan dua preman senior di bilangan jalan Cendrawasih. Selepas
pukul 12 malam dan jelang dini hari mereka pun rajin “bekerja” mulai dari
nyolong ayam hingga memberhentikan bus-bus luar kota hanya sekadar minta uang
untuk beli minuman dan rokok.
Beruntung selama masa “dinas”, tidak ada satupun bus yang menambah
kecepatan dan menabrak tiga pria sontoloyo sampah masyarakat itu. Cukup lama
padahal “profesi “ itu lakukan oleh Zolenk.
Tidak hanya merokok, main judi kartu kiu-kiu dan alkohol,
Zolenk pun mulai intens mengkonsumsi cannabis
sativa dan pil BK yang katanya buat obat anjing gila.
Setiap hari, Papanya Zolenk yang tidak merokok menyediakan
satu bungkus Marlboro merah dan satu bungkus Dji Sam Soe buat putranya yang
makin badjingan itu.
Zolenk yang dasarnya sudah hitam jelek hidup lagi makin
terlihat kumal dan kusut. Istirahatnya makin kurang, makanya semakin rajin
tidur di kelas. Rasanya tidak ada satupun pelajaran sekolah yang masuk di
kepalanya. Jangankan pelajaran, saking parahnya Zolenk pun malah sangat sedikit
menghapal nama teman kelasnya.
Dia lebih banyak berada di kantin di pojok belakang bangunan kelas 3 Sos. Kalau sudah bosan dipanjatnya tembok belakang sekolah yang
tingginya sekitar 3 meter plus itu, dengan kayu seadanya dan sesampainya di
atas loncat keluar jalanan kecil di antara jalan Baji Gau dan Baji Ampe.
Selanjutnya mabuk-mabukan sebentar di jalan Baji Gau II, sebelum bergegas ke
kompleks perumahan neneknya. Bukan untuk pulang, tapi untuk ke rumah lain untuk
main judi meski hasilnya selalu kalah dengan sukses.
Meski pola hidup makin parah, Zolenk tetap rajin menyambangi
sinema 21 di jalan Ratulangi. Rasanya hanya dengan nonton film-film favoritnya
yang bertema action atau komedi, Zolenk sudah cukup bergembira meski di tahun
terakhir di masa SMA itu tidak ada lagi wanita berstatus “pacar” yang menemani.
Sepulang nonton dan malam mulai menjelang biasanya Zolenk
suka sesekali memutari lapangan Karebosi, menatap para waria berusia tua
menjalankan tugasnya di bawah temaram lampu Merkuri di awal tahun 1990an.
“Hei, cowok. Bonceng kita dong,” beberapa kali sapaan
bencong Karebosi ditujukan ke Zolenk yang melaju pelan di atas Suzuki RGR
dengan knalpot kolong yang berisik dan menggema. Ya, di kelas tiga SMA, motor
Zolenk pun berubah dari Suzuki Crystal ke Suzuki RGR 150cc yang sangat keren di
masa itu.
Zolenk hanya menatap dingin para bencong itu, dan
diulanginya beberapa kali memutari lapangan Karebosi, sampai tatapan gusar dan
mendekati murka dari beberapa bencong tua ditujukan kepadanya baru dia berlalu
pergi.
Sesekali pula dia mampir ke jalan Serigala tempat anak-anak
SMA 8 kelas 3 berkumpul dimana dia numpang minum bareng, sebelum pulang ke
rumah neneknya dalam keadaan mabuk.
Neneknya pun berulang kali ngomel dengan bahasa Bugis yang
kasar ke cucunya yang semakin gak karuan itu. Inti pesan marah neneknya, “Kau
tidak akan melihat masa depan yang baik dengan perilaku badjingan seperti itu.”
Suatu hari, seorang teman kelas Zolenk yang merupakan putra
dari seorang kolonel AD merasa punya masalah dengan anak kelas satu yang
katanya merupakan geng anak-anak orang kaya dan pejabat di Sulawesi Selatan.
Tanpa pikir panjang Zolenk pun menghampiri anak kelas satu
itu, sekadar memperingati supaya tidak mengulangi kesalahan yang sama pada
temannya yang sudah kelas tiga. Tidak dinyana, anak kelas satu ini adalah putra
dari Ketua DPRD Sul-Sel saat itu. Rupanya dia tidak terima, dan mengadu kepada
pamannya yang tinggal di asrama tentara yang ada di pertigaan jalan Baji Gau
dan Bongayya.
Alhasil selepas jam pulang sekolah, Zolenk berkelahi dengan
gagah berani sekaligus hancur lebur melawan banyak anak muda dari kompleks
perumahan militer itu. Sementara temannya yang anak kolonel AD itu hanya
menatap bisu Zolenk yang tengah berjibaku berkelahi seorang diri.
Beruntung di sela waktu ribut itu, Zolenk punya kesempatan
berlari ke arah jalan Cendrawasih dengan kondisi mata kanan legam berwarna
biru, hidung yang terus keluarkan darah, begitu pula dengan ujung bibirnya yang
pecah.
“Kau kuat sekali, Zolenk. Padahal sudah dipukul banyak
orang termasuk pakai bambu, kayu dan batu tapi masih hidup,” kata teman
kelasnya yang bernama Hamzah, beberapa hari kemudian setelah momen perkelahian
itu.
“Kuat apa? Kata dokter di RS Stella Maris ada tulang hidung
kananku yang retak makin parah, karena dulu waktu SD juga pernah jatuh dari
lantai dua,” kata Zolenk.
Ya, selepas perkelahian melawan banyak orang itu, Zolenk
makin brutal. Hingga tepat di usianya yang ke-19 tahun mesti dirayakan di dalam
jeruji kantor polisi Sekta V Makassar di jalan Lanto Daeng Pasewang, karena
telah memukuli anak orang hingga koma.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar