CHAPTER 21: THE KING MAKER
Selama lima tahun berada di Tamalanrea KM. 10, Zolenk sukses
menaikkan empat kawan baiknya ke singgasana nomor satu. Kalau pun tidak diakui
secara aklamasi, setidaknya berperan penting.
Yang pertama tentu untuk sahabat terbaiknya sepanjang masa,
Igor.
“Saya mau naik jadi ketua Korps kira-kira bisa, tidak?” kata
Igor.
“Bisa, asal kau betul-betul mau,” jawab Zolenk.
“Tapi kayaknya anak-anak akan lebih pilih Qwink atau Husni.
Yang cewek-cewek pasti pilih Qwink, yang alim-alim pasti pilih Husni,” kata
Igor meragu.
“Tenang saja, kau pasti naik, Gor,” kata Zolenk meyakinkan.
-
Ini kali pertama Zolenk mau masuk ke ruangan seminar atau
aula pemilihan, sebelumnya dia tidak peduli sama sekali.
Dia duduk di kursi paling belakang sebelah kanan, paling dekat
pintu keluar, tepat di sampingnya duduk Igor yang berusaha nampak tenang.
“Tenang, kau pasti naik,” kata Zolenk sambil menepuk paha
sahabatnya untuk meyakinkan dan lebih meningkatkan rasa kepercayaan dirinya.
Entah kenapa dia merasa yakin Igor akan naik, meski namanya secara kans kalah
populer dibanding Qwink dan Husni.
Dan ternyata prediksi Zolenk benar, Igor naik.
“Kayaknya kau anak bangku belakang yang bisa menyetel ritme forum
dan menggerakkan palu sidang dari belakang,” kata Mahading suatu ketika pada
Zolenk. Mahading adalah anak angkatan 92, seorang aktivis karismatik yang dikagumi
Zolenk di jurusannya.
-
Sebelum masuk ke narasi perjuangan suksesi nomor dua, tiga
dan empat, ada baiknya ikuti dulu kisah di balik dapur perjuangan Zolenk untuk
itu.
Suksesi ketua Korps tahun 1999 adalah yang terseru sekaligus
mencekam berujung pada kekecewaan dan kemarahan yang mendalam, karena pada akhirnya
angkatan 97 terlewati jatahnya hingga timbullah semboyan “Jangko Sentuh” yang
merupakan akronim dari “Jaringan Komunikasi Sembilan Tujuh”.
Sebelum kejadian tragis itu, sudah beberapa kali Zolenk
bertanya pada tiga sahabat baiknya di angkatan itu yaitu Didi, Rusdi dan Ansir
untuk dapat didorong jadi ketua Korps, namun ketiganya kompak mengatakan
kata-kata yang biasanya Zolenk dengar keluar dari para cewek cantik gebetannya,
“Tidak mau!”
Angkatan 97 justru memilih sosok Bahar, sosok yang menurut
Zolenk tidak punya portfolio ber-Kosmik yang baik.
“Tidak akan naik kalau begitu,” kata Zolenk. Sayangnya tidak
ada yang percaya pada pernyataan Zolenk. Ya, ia memang secara profil kalah
segala-galanya ketimbang teman-teman angkatannya. Yang tercerdas dan kutu buku
ada kang Wawan, yang terganteng ada Qwink yang mewarisi kegantengan khas tanah
pasundan, yang tereligius ada Husni, yang terkarismatik dan laki banget ada
Igor yang zaman itu kerap disebut
mirip-mirip Tengku Firmansyah, yang gesit dan paling dialogis ada
Iccang, yang paling bersih dan polos ada Uchenk, yang agak-agak mirip Sengkuni
(agak-agak lho dan dikit doang) ada Ilo (marahnya dikit saja yah bung Ilo
hahahaha), yang langsung terkenal sebagai jurnalis tivi dari awal ada Iwan,
yang jago nembak di Perbakin ada Mail dan Syafril, yang jago main bola ada
Nawir, yang agak feminin ada Anto, dan yang paling jelek ada Rudi.
Zolenk dimana? Dia adalah seperti jiwa yang tersesat, antara
ada dan tiada di angkatan itu. Suatu ketika Qwink pernah bilang di parkiran
depan Rektorat, “Angkatan kita tidak butuh kau kok.”
“Hahahaha, fine,
saya juga tidak butuh angkatan ini,” kata Zolenk. Namun ini hanyalah dinamika
sesaat, karena kemudian hari Qwink menjadi teman kos terlama Zolenk di jalan
Bung.
Kembali ke persoalan suksesi mencekam di tahun 1999, ada
tujuh teman angkatannya yang sepakat tidak akan memilih Bahar, walaupun di
kemudian hari kayaknya ada yang melenceng. Igor setahu Zolenk akhirnya mangkir
mendukung Bahar karena tidak ingin mengecewakan pilihan sahabat-sahabatnya di
angkatan 97.
Saat voting, Bahar akhirnya kalah HANYA terpaut dua suara. Budi
anak Tidore itu yang dari awal di-back up
Zolenk berhasil naik sekaligus melangkahi jatah kursi untuk kakak angkatannya
itu.
-
Sejak saat itu dalam waktu yang panjang dan lama, bahkan
seingat Zolenk tidak pernah kembali seperti semula, gema semboyan “Jangko
Sentuh” mencipta gap yang semakin besar khususnya pada teman-teman angkatan
Zolenk. Termasuk pada Zolenk sendiri.
Ya, itu menjadi salah satu catatan suksesi terkelam, namun
di sisi lain juga menjadi salah satu yang terseru dan menegangkan.
-
Pasca peristiwa itu, memang ada sebagian sahabat 97 yang
mulai melunak seiring jalannya waktu. Zolenk pun menyayangkan sebenarnya,
karena dia punya beberapa sahabat yang sangat dekat di angkatan itu seperti
Didi, Rusdi dan Sari. Kalau Ansir sangat dekat sama Igor, gaya berpakaian dan
sepatunya pun mirip di antara keduanya.
Di Munas IMIKI di tahun itu juga di tahun 1999, Ome
menyatakan kesediaannya untuk naik jadi Sekjen, maka sebagai Ketua Panitia,
Zolenk berjanji akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu menaikkannya
menjadi Sekjen sekaligus sebagai upaya mengobati luka teman-teman baiknya di
angkatan 97.
Ya, singkat cerita Ome naik dengan mulus dan menjadi Sekjen
IMIKI kala itu.
Tidak hanya itu, beberapa kali diajaknya Ome bicara selepas
itu, termasuk memperjuangkan mendapat akses ketemu langsung dan berbicara
dengan Setiawan Djodi.
-
“Pengumuman, pengumuman, Setiawan Djodi mau datang ke kampus
untuk bicara soal Revolusi Biru-nya. Silakan manfaatkan,” kata salah satu
senior legendaris Bang Asdar Moeis, yang setahu Zolenk menetap di Jakarta dan
memang dikenal dekat dengan Setiawan Djodi.
Zolenk sudah bertekad dia akan menciptakan momen kontroversi
buat menarik perhatian di hari “H”. Maka dia pun berusaha mengingat-ingat
sekaligus mencari tahu apa yang kira-kira bisa menarik perhatian pengusaha yang
dikenal dekat dengan keluarga Cendana itu.
“Awrait, saya
sudah siapkan sekian pertanyaan kontroversial, termasuk untuk meragukan konsep
Revolusi Biru,” kata Zolenk dalam hati.
Ya, ia tahu harus bisa memanfaatkan momentum emas ini,
pasalnya di hari “H” ruangan di Baruga AP Pettarani pasti akan penuh oleh orang-orang.
-
“Saya ingin bertanya, Bang Djodi,” kata Zolenk di kesempatan
pertama sesi tanya jawab. Diajukannya tiga pertanyaannya saat itu, dan ya,
sukses menarik perhatian Djodi.
-
“Hey, kau, Djodi mau ketemu,” kata Bang Asdar Moeis selepas
acara.
“Siap, bang,” jawab Zolenk. Dia pun bergegas menemui Djodi
di belakang Baruga, gak jauh dari mobilnya di parkir.
“Halo, Bang Djodi. Katanya mau ketemu saya?” tanya Zolenk
sambil mengulurkan tangannya.
Djodi menyambut uluran tangannya dan berkata singkat, “Nanti
sore ada waktu temui saya di MGH?”
“Bisa, Bang, tapi boleh saya bawa teman?” kata Zolenk.
“Boleh, tapi jangan banyak-banyak. Bukan untuk demo saya, kan?!”
timpal Djodi setengah berseloroh.
“Enggak kok, cuma dua orang saja,” pungkas Zolenk
Sore harinya pun Zolenk mengajak Igor dan Ome ketemu Djodi
dan Bang Asdar Moeis di sebuah ruangan di bagian depan gedung MGH.
“Ok, kau mau bicara apa? Soalnya waktu saya gak banyak,”
kata Djodi.
“Begini, Bang Djodi. Saya berharap Bang Djodi dengan
yayasannya bisa membantu meringankan tugas teman saya ini yang baru saja
terpilih sebagai Sekjen IMIKI, khususnya dari segi kesuksesan program-programnya
dan pembiayaan, biar kami ini lebih teredukasi kelak di bidang ilmu komunikasi,”
kata Zolenk.
“Wah, ternyata itu doang. Gampang itu. Asdar, kamu bisa
bantu permudah aksesnya?” kata Djodi ke Bang Asdar.
“Bisa, Mas,” kata Bang Asdar.
“Ada lagi?” tanya Djodi ke arah Zolenk.
“Ada, Bang Djodi. Boleh minta foto bareng gak? Saya
penggemar Kantata Takwa soalnya,” kata Zolenk. Djodi pun tersenyum dan langsung
mengajaknya berfoto.
-
Selepas pertemuan itu, bersama Igor dan Ome, Zolenk
nongkrong di pinggiran Pantai Losari sambil menikmati ombak laut, desiran angin
dan suasana pinggir pantai yang senantiasa indah dan romantis itu.
“Bagaimana, Ome? Kira-kira kau bisa manfaatkan akses perbantuan
ini?” tanya Zolenk.
“Bisa, Bang. Terima kasih yah,” jawab Ome.
“Oke, saya mau berangkat KKN dulu habis ini biar cepat
selesai,” pungkas Zolenk.
-
Suksesi keempat adalah yang paling dramatis yaitu
mengantarkan Enre menjadi Ketua Senat FISIP, karena kali ini dia akan berjuang
seorang diri.
“Saya mau naik jadi Ketua Senat,” kata Enre berapi-api
mendeklarasikan diri. Zolenk sebenarnya kurang setuju, karena secara mental
Enre dinilainya belum cukup matang dan dewasa, cenderung lebih karena keinginan
untuk tampil di depan.
“Tapi sudahlah, mari berbuat sekali lagi,” kata Zolenk
berikar dalam hati.
“Bud, tolong kirim saya ke DEMA Fakultas sebagai perwakilan
Kosmik,” kata Zolenk ke Budi.
“Lho, katanya mau buru-buru selesai?” tanya Budi heran.
“Sudahlah, jangan banyak tanya, kirim saja. Lagian saya agak
dipersulit untuk selesai, jadi masih ada waktu,” pungkas Zolenk.
-
Selama di DEMA Fakultas, Zolenk secara apik, cantik dan
piawai membuat aturan main yang akan memanjakan Enre untuk naik.
“Sebenarnya Adam Malik, rivalnya menurutku lebih siap, tapi
ini lebih kepada upaya mengobati luka angkatan 97,” ikrar Zolenk. Dan sejak
saat itu dia telah melakukan salah satu bentuk kezaliman a la politikus kotor
negeri ini yaitu REKAYASA.
Bukan besar kepala, tapi suara forum di DEMA pun sangat
mengikuti ritme yang Zolenk buat. Dan akhirnya dengan mudah, Enre bisa naik
jadi Ketua Senat.
Zolenk sendiri tidak tahu, apakah sampai hari ini Enre
menyadari jika naiknya dirinya karena permainan Zolenk yang bisa dikatakan “cukup
kotor”.
Setelah Enre naik dan dilantik jadi Ketua Senat, persoalan
belum selesai. “Anak Teknik akan menyerang,” demikian peringatan muncul saat
itu di sekitaran FIS.
“Hmm, harus
bertindak lagi nih,” kata Zolenk.
“Ali, bisakah kau menemaniku masuk ke Teknik?” kata Zolenk
ke Ali selaku Ketua DEMA-FISIP saat itu.
“Acceh, cari mati itu namanya, bro,” jawab Ali spontan
sambil langsung terperangah.
“Lha, kau kan ketua DEMA. Setidaknya kita coba dialogislah.
Nanti saya coba ajak pihak Satpam Rektorat untuk temani,” kata Zolenk lagi. Ali
pun dengan berat hati mengikuti.
Mereka pun berjalan ke ruangan satpam Rektorat. “Pagi, pak
Bambang,” sapa Zolenk pada ketua satpam kampus itu.
“Pagi, Zolenk. Apa seng
maumu?” tanya Pak Bambang berkenyit.
“Boleh temani saya dan Ali masuk Teknik, kami ingin bicara
di sana supaya tidak jadi perang. Boleh, kan?” kata Zolenk lagi.
“Kau ini ada-ada saja. Sudah banyak saya lihat yang nyalinya
putus suka berkelahi, tapi baru kali ini ada orang mau masuk ke Fakultas (Teknik)
yang massanya sudah marah dan siap perang,” kata Pak Bambang lagi.
“Tolonglah, Pak Bambang, please.
Setidaknya tolong temani saya dulu supaya bisa cegah perang,” kata Zolenk lagi
setengah mengiba. Akhirnya Pak Bambang luluh, dan mereka bertiga pun berjalan
masuk ke Teknik.
Mereka disambut oleh massa yang sudah siap perang. “Pukul
saja, bakar saja,” beberapa suara provokatif menggema.
Zolenk, Ali dan Pak Bambang dimasukkan ke dalam aula, dimana
kalau ada apa-apa semisal dialog ini gagal, maka tidak bisa ditebak bagaimana nasib
kedua anak muda itu.
“Siap, izinkan saya bicara, kawan-kawan,” kata Zolenk
membuka suara mencoba dengan setenang mungkin.
“Sudah, tidak usah banyak bicara, teman kami dipukul apa
pertanggungjawabannya? Kami harus balas,” Seseorang langsung memotong
pembicaraan.
“Oke, saya cuma bicara singkat. Silakan catat nama lengkap
saya dan dari jurusan mana, saya akan bantu cari siapa yang pukul, kalau saya
gagal silakan cari saya saja sebagai gantinya,” kata Zolenk.
“Awrait, fine, kalau itu tawaran solusinya. Kami
pegang,” jawab salah satu perwakilan anak Teknik.
“Siap, kalian bisa cari saya di Fisip dan kita cari sama-sama
siapa pelakunya. Apakah kita clear?”
tanya Zolenk.
“Awrait, sementara
ini clear. Kami akan ke FIS nanti dan
tolong bantu kami cari pelakunya,” kata anak Teknik lagi.
“Siap, kalau begitu saya izin pamit, kawan-kawan. Terima
kasih atas pengertiannya," pungkas Zolenk.
Zolenk yang pakai sepatu model injak langsung bisa bergegas,
sementara Ali yang memakai sepatu model tali terdengar terpatah-patah sekitar
tiga langkah di belakangnya.
“Tung-gu-sa-ya,” kata Ali dengan suara bergetar. Ya, kentara
sekali kalau kawan Ketua DEMA itu gentar saat itu.
“Oh, sori, kawan. Pak Bambang, tunggu Ali dulu yah,” kata
Zolenk.
“Siap,” kata Pak Bambang.
Mereka pun berpisah di pelataran Rektorat. Zolenk dan Ali bergegas
kembali ke Fakultas.
“Ali, saya ke belakang dulu yah. Suruh Enre cepat ajak
anak-anak rayakan perayaan terpilihnya di BTP, cepat yah dan jangan pakai lama.
Pastikan Fakultas dalam keadaan kosong yah,” kata Zolenk ke Ali.
“Lha, bukannya sudah aman?” kata Ali agak heran.
“Sudahlah, tidak usah banyak bicara lagi, kawan. Laksanakan
saja,” pungkas Zolenk. Dia pun bergegas menghampiri salah satu seniornya yang
bertubuh besar laksana Bima.
“Bang Akbar, nanti kalau Teknik menyerang biarkan saja dia
lawan gedung kosong, jangan ada yang melawan. Biar nanti saya minta ganti ke
pihak rektorat, karena massa Teknik menyerang dan kita tidak ingin perang,”
kata Zolenk ke seniornya itu yang kerap memakai kemeja flanel warna hijau itu.
“Ok, jadi tidak usah melawan?” kata Akbar.
“Iya, Bang. Biarkan saja mereka lawan gedung kosong.
Anak-anak sudah diarahkan semua ke BTP untuk rayakan kemenangan Enre,” pungkas
Zolenk.
Setelah itu Zolenk bergegas menyusul ke BTP, ke tempat warung
makan ayam bakar dimana Enre dan anak-anak FISIP merayakan kemenangan sang
ketua senat baru.
Setibanya di sana, Zolenk sudah teramat lelah, dia memilih
berbaring cukup lama meredakan rasa lelah dan tegang, sebelum akhirnya
ikut-ikutan makan.
-
“Bagaimana, Bang? Teknik menyerang, kan?” tanya Zolenk ke
Akbar.
“Iya, cukup banyaklah, tapi karena mereka lihat Fakultas
kosong, mereka cuma sebentar lempari gedung dan ada sedikit kaca yang pecah.
Saya bilang, “Lempari saja, tidak ada orangnya,”,” kata Akbar.
“Hahahaha, tepat seperti dugaanku,” gumam Zolenk. Ya, dia
lama hidup di jalan dan cukup pahamlah psikologis massa. Dia tahu upaya masuk
ke Teknik hari itu cuma menunda serangan, bukan menghentikan.
Terpenting Enre selamat di hari pertamanya menjadi Ketua
Senat.
Apakah Zolenk puas bisa mengantarkan kedua kawan 97nya itu
ke puncak kursi nomor satu di singgasananya masing-masing?
“Jujur terselip rasa kecewa pada keduanya, tapi itu kembali
ke soal visi dan gerak masing-masing, mereka tentu tahu apa yang terbaik untuk
mereka. Terpenting semoga teman-teman angkatan 97 bisa terobati lukanya. Ya,
ini memang bukan Kosmik, tapi posisi nomor satu di IMIKI dan di Senat FISIP
tidak terlalu jelek, kan?!”
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar