CHAPTER 10: RAJA JUDI KECIL DAN DERETAN BOTOL BIR
Jadi anak bengal itu senantiasa dirindukan tapi sekaligus
dijauhi ibarat wabah kolera, bahkan bisa jadi eltor kalau berdasarkan KBBI. Jadi
anak nakal itu harus terbiasa menerabas jalan yang berbeda, jalan sunyi tanpa
riuh. Buat anak nakal, penggemar sejati adalah dirinya sendiri.
Tapi anak nakal setidaknya lebih jujur, itulah kenapa Paman
Gepetto tidak memelihara anak nakal tapi anak pembohong.
Anak nakal pun terlihat jauh lebih urakan, tidak nampak
intelek layaknya Zolenk seperti sore itu.
“Hmm, kemana lagi yah?” katanya bingung di depan secangkir
kopi di pelataran parkir di depan RS Stella Maris. Tepat di seberang jalan
nampaknya “sahabat sejati” yang legendaris, Pantai Losari.
Tidak ada senja di sore itu melainkan mendung disertai hujan
kecil. “Pasti habis balap-balap kau seng,”
kata Slash, nama beken penjual kopi langganannya.
“Tidak, tadi cuma melintas di Tentara Pelajar paggarumbang (baca: bikin ribut) sedikit
sama itu,” kata Zolenk menunjuk RGR kesayangannya. Mungkin motor sport 2-tak
keren itu yang paling tragis nasibnya seantero kota Makassar, karena sepanjang
kepemilikan cuma dipakai balap liar mulai dari kota Makassar, Malino, hingga
lintas beberapa kota di Sulawesi Selatan mulai Gowa, Jeneponto, Bantaeng,
Bulukumba, Sinjai, Bone, Sengkang, Sidrap, Pare-Pare, Barru, Pangkep, Maros dan
kembali ke Makassar.
Di antara nama kota itu, dia paling hanya mampir lama di
Sengkang yang merupakan kampung halaman Papanya, plus Pare-Pare untuk berburu
pakaian cakar alias “cap karung”.
Lalu mampir ngopi sejenak di tepi
Pantai kota Pare-Pare sebelum kembali melesat ke Makassar.
Selepas SMA, Zolenk tidak lantas kuliah. Dia sempat
menggangur merintis jalan sebagai preman picisan di bagian selatan kota
Makassar. Memukul atau dipukul sudah tidak ada lagi bedanya, itu konsekuensi
hidup di jalan. Tapi dia mulai semakin piawai dalam berjudi kiu-kiu, semakin
jago dan semakin jago. Untuk sekian lama dan bertahun-tahun dia tidak lagi
pernah kalah di meja judi, setelah sekitar di dua tahun awal senantiasa kalah.
Hasil menang judi, kerap dia belikan pakaian di Toko
Sejahtera yang merupakan salah satu toko pakaian paling mentereng di pertigaan
jalan Jenderal Ahmad Yani dan jalan Nusakambangan, di seberang bagian utara
Lapangan Karebosi.
Dia pun mulai stylish dengan
jins Levis 505 dan bahkan 501, sepatunya Kickers, plus kemeja yang umumnya
didominasi warna coklat secoklat warna kulitnya. Selepas berbelanja, tujuan
berikutnya adalah menyantap sop konro Karebosi yang legendaris. Dari situ,
biasanya dia menyempatkan meluangkan hobi nontonnya di Makassar Theater atau
kalau lagi ingin hemat yah ke Artis Theater. Kalau lagi ingin genit menonton
film Inneke Koesherawati dan Febby Lawrence yah ke Paramount atau Jaya Theater.
Selepas keluar dari Theater, Zolenk pun kembali dengan
rutinitas biasanya di ujung selatan kota Makassar. Minum-minum dan merokok
sebentar sambil ngobrol-ngobrol dengan
teman-teman seusia. Barulah setelah malam makin meninggi, Zolenk berpisah
dengan teman-teman nongkrong seusianya itu.
Teman-temannya menjalankan rutinitas lain bercumbu dengan
gadis-gadis belia yang haus belaian, sementara Zolenk bergabung dengan
daeng-daeng yang usianya lebih tua.
“Bagi!”, dan mulailah aktivitas putaran kartu domino itu
dimulai. Kadang sampai pagi, kadang sampai siang, kadang sampai pagi keesokan
harinya. Tidak ada rasa lelah saat main kiu-kiu, seluruh energi dan fokus
tercurah ke bagian tengah permainan dimana jumlah uang semakin lama semakin
banyak. Kadang main cukup sambil bersila, kadang pakai kursi dan meja. Pokoknya
suka-suka para pesertalah.
Bisa dibilang Zolenk yang paling muda, tapi telah melewati
periode kekalahan yang cukup panjang hingga tahunan. Dan kini tiba saatnya dia
telah naik level, menjadi pemain kiu-kiu kelas ulung. Sekali main minimal dia
kantongi 700ribuan rupiah, hingga jutaan jika permainan hingga tiga hari dua
malam.
Rasa lelah setelah berjudi pun terpuaskan dengan hobi
belanja pakaian, makan sop konro, nonton film ataupun minum-minum bir Bintang
dalam jumlah botol yang cukup banyak, minimal lima hingga belasan.
Terkadang dia minum bir di sebuah kios di jalan Ratulangi di
seberang RS Labuang Baji, tapi terkadang juga di lantai dua di kompleks
pertokoan di dekat Pasar Sentral. Sambil minum, dia kerap ditemani sama
pramusaji cewek yang seksi. Terkadang pramusaji itu tanpa diminta duduk di
pangkuan Zolenk, bahkan tanpa sungkan kadang mengecup tanpa permisi. Mungkin
sebagai penghormatan kepada pelanggan.
Sesekali ada juga yang minta ikut pulang atau dibawa kemana
saja, apalagi ketika tahu si Zolenk bawa motor yang cukup keren di zamannya.
Seperti suatu ketika saat selepas minum di lantai kompleks ruko lantai dua di
dekat Pasar Sentral, si pramusaji malah ikutan turun ingin ikut Zolenk. “Bawama’
saja ke hotel Istana, murah ji di
sana,” katanya.
Zolenk hanya diam tidak menjawab. Sampai di parkiran motor
dan setelah memasang resleting jaket softball
serta helm, Zolenk bersuara, “Jangan deh, saya tidak bawa helm lagi, nanti
ditangkap polisi lagi.”
Si pramusaji tetap bersikeras, “Sudah tidak polisi kalau
malam begini.”
“Saya naik yah,” katanya bersiap menginjak pijakan kaki
pembonceng.
“Ups, tunggu dulu. Saya siap-siap dulu,” kata Zolenk
menghidupkan kunci kontak dan elektrik starter RGR dengan knalpot kolongnya
yang super berisik dan membahana.
Tidak lama setelah itu, setelah gigi satu masuk, RGR itu
sudah melesat jauh pergi meninggalkan lokasi kompleks ruko itu, sambil di
belakangnya terdengar sayup-sayup suara, “Woiiiiii, dasar laki-laki
anjiiiingg...!”
Zolenk pun tersenyum-senyum sendiri meski isi kepalanya
sudah cukup oleng karena pengaruh alkohol. Dia tahu itu adalah kali terakhir
dia akan pergi minum di tempat tersebut, daripada nanti bisa kena pukul sama para
bodyguard tempat itu yang badannya
rata-rata segede badak di Ujung Kulon.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar