CHAPTER 3: RASA BERSALAH PADA LATIFA DAN NANING


Kapan kalian mulai suka dengan lawan jenis dan berpacaran? Kalo aku sudah sejak SMP kelas 2, namanya Latifa cucu Kong Ajuk yang ngurus masjid gede di Karet Tengsin. Masjid itu masih ada sampai sekarang, tapi Latifa entah sudah pindah ke mana.

Ya, rumah Latifa sudah digusur dan kira-kira sekarang sudah menjadi bagian lahan pembangunan apartemen yang berdiri mentereng menjulang langit, tepat di belakang SMP 181.

Caraku menyampaikan rasa pada Latifa pun klasik, melalui secarik kertas yang isinya sederhana, “Latifa, dirimu itu cantik banget deh. Mau gak jadi pacarku?”

Eh, ternyata Latifa yang cantik, putih, dan lebih tinggi daripada aku itu bersedia. Dari secarik kertas, dia menulis surat balasan yang intinya “Mau”.

Yihaa, itu adalah dua pekan yang menyenangkan. Dengan gaya a la officer Tom Hanson kw 31, aku pun senantiasa riang gembira datang ke rumah Latifa selepas pulang sekolah.

Saat aku datang ke rumahnya, Latifa lagi setrika baju lumayan banyak untuk ukuran anak SMP kelas dua. “Di suruh emak gw nih. Tunggu yah,” katanya.

Aku pun menunggu di luar rumah, hingga tak lama kemudian dia keluar sudah berdandan cantik sekali. “Ternyata gw keren juga yah bisa dapat cewek secakep Latifa,” kataku dalam hati, sambil merasa kalau gaya ganteng tapi slengean a la officer Tom Hanson berhasil kujiwai dengan baik.

“Kemana kita?” katanya.

Untuk mengajak Latifa jalan, aku pun harus menyisihkan uang jajan yang sudah terbatas. Yah, dari kecil aku sudah gengsi kalo cowok dibayarin cewek. Alhasil meski di sekolah kelaparan dan keausan, tapi pulang sekolah bisa jalan sama Latifa yang cantik dan selalu riang.

Kadang kita hanya muter-muter di sekitaran Karet Tengsin. Kadang makan bakso di Benhil, atau naik bus puyuh ke Blok M jajan di sana terus pulang. Salah satu bentuk kegembiraan kecil lainnya adalah naik getek (semacam kapal kayu usang yang ditarik dengan kawat gede yang membentang) di kawasan Benhil.

Hingga pada satu titik, aku pun mulai bingung dan bosan. “Latifa, kita putus deh yah,” kataku.

“Kok gitu, kan, kita baru dua minggu jalan?!” tanyanya protes.

Tapi keputusanku sudah bulat, hubungan ini tidak bisa dilanjutkan. Maka putuslah aku dengan Latifa. Sesekali dia masih menatap tajam cenderung benci kalau ketemu di sekolah, tapi itulah konsekuensi yang aku harus hadapi. Lagian bingung juga saat itu, pacaran itu apa dan mesti ngapain. Kami hanya sebatas pegangan tangan dan berlarian gembira karena merasa telah punya pasangan alias pacar, tapi setelah itu aku kehabisan ide untuk mencari tahapan kesenangan yang lain.

Naik ke kelas tiga SMP, aku melihat anak kelas satu yang cantik sekali. Namanya Naning, anak Pamulang.

Dengan jurus Dewa Buaya tahap awal, kuselipkan secarik kertas ke kelas Naning yang ada di lantai tiga. Isinya sama, “Naning, dirimu cantik sekali. Mau gak jadi pacarku?”

Dan sekali lagi, gayung bersambut. Naning juga menulis surat yang isinya dia mau. Yihaa, maka rasa kegembiraan punya pacar muncul kembali. Naning meski baru kelas satu, tapi badannya lumayan bongsor, cantik dan putih. Rambutnya lumayan panjang. Pokoknya gak kalahlah sama model sampul di majalah remaja.

Seketika aku merasa gaya a la officer Tom Hanson berhasil aku perankan dengan baik.

“Kita mau ketemu dimana nanti?” tanya Naning, selepas pulang sekolah.

“Di Lipstik Blok M bagaimana? Sambil main roller skate,” kataku.

Dia pun mengangguk mengiyakan.

Beberapa minggu, rutinitas itu kami jalani di tempat yang sama, dan waktu yang kurang lebih sama. Monoton, paling ditutup makan bakso di sekitar situ, sebelum kami berpisah. Aku kembali naik bus puyuh, Naning naik bus ke arah rumahnya di Pamulang. Baru kepikiran sekarang, kenapa waktu itu gak aku antar saja dia pulang yah...

Sampai suatu ketika, ada segerombolan anak dari sekitar kantor Kecamatan Tanah Abang datang menghampiriku di Lipstik Blok M. “Eh elu, jangan deketin Naning yah. Dia pacarnya Blabla, abangnya preman di Tanah Abang. Mau lu dimampusin,” kata seorang di antaranya.

Sempat sih aku dengar selentingan tentang kabar itu, tapi namanya juga suka yah dijalani saja. Sejak peringatan itu datang, aku pun menjauh dari Naning. Sesekali pas upacara dia nampak melirik ke arahku, matanya seolah bicara, “Kok lu menjauh sih?”

“Hmm, iya, Ning. Maafkan aku yang terlalu pengecut untuk berantem soal perempuan waktu itu.”

Waktu pun berlalu, seiring lonceng waktu untuk menetap di Jakarta saat itu telah selesai. Aku harus kembali ke Makassar meneruskan hidup di sana, kampung halamanku.

Saat aku akan kembali ke Makassar, beberapa teman baikku bertanya, “Kok lu mau pindah ke Makassar, emang di sana sudah ada lampu? Entar lu balik kampungan lagi di sana.”

“Kampret, Makassar itu kota terbesar keempat di Indonesia. Dia yang paling modern di Indonesia Timur.”

Selepas perpisahan dengan teman-teman baik di Gang Mas, aku pun mulai menaiki tangga Kapal Pelni. Berjibaku dengan orang-orang lainnya yang lebih dewasa untuk mendapat tempat di antara dek atau selasar kapal. Selepas sewa kasur di petugas, menaruh barang dan menitipkannya pada orang-orang yang dipercaya, aku pun naik ke atas.

Lama aku berdiri dan duduk di atas sambil menatap laut lepas yang berwarna biru tua dan untuk sekian lama telah menjadi salah satu sahabat terbaik tempatku bercerita. Saat petang mulai menjelang, kubisikkan sederet kata pada lautan biru, “Tolong sampaikan maafku pada Latifa dan Naning. Kalian berdua cantik sekali, dan senang bisa berbagi kegembiraan kecil selama aku di Jakarta. Tapi itu bukan kota buatku, mungkin kelak, mungkin...”

(Bersambung)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!