CHAPTER 5: KETEMU DENGAN TEMAN-TEMAN SEKOLAH YANG OTAKNYA KAYAK ALIEN
Kembali ke Makassar adalah seperti kesempatan untuk
menyelesaikan kepingan puzzle yang
terhenti selama dua setengah tahun pindah ke Jakarta mengikuti Mama.
Kembali ke Makassar juga mungkin seperti menguak rasa duka
jika tidak ada lagi Mama nun jauh di sana bersama pasangan barunya, ataupun Papa
yang meski di sini bersama pasangan barunya pula.
Tapi rundung dalam duka tentu percuma, hidup toh harus
berlanjut.
Teman-teman kecilku di kompleks Sosial pun sudah mulai
beranjak dewasa, dan lara pun mulai terkikis perlahan dengan sambutan hangat
mereka. Ini adalah chapter baru kehidupanku sebagai remaja tahap awal.
“Woi, Zolenk sudah pulang. Yuk, kita rayakan,” kata
teman-temanku.
Dan di hari itu pun, untuk pertama kali dalam hidup, aku
kenal alkohol. Teman-temanku menyambut dengan gaya khas anak Makassar, “minum”.
Begitu banyak botol minuman yang dibuka, saking banyaknya ditaruh diember, baru
kemudian ditaruh di teko, baru digilir satu persatu untuk menyambut kepulanganku.
Hari itu pun aku mabuk dengan sukses.
Di sini pulalah, “pelajaran” masa kecil masuk ke dalam tahap
berikutnya, konsisten sebagai perokok remaja di tahun 1991.
“Kau ingat dulu ndak,
waktu kita belajar merokok Djarum dan Mini?” tanya sahabat masa kecilku.
“Iya, kita cokko-cokko
(maksudnya: sembunyi-sembunyi) beli di toko Ting, terus merokok di belakang
rumahku toh,” kataku.
Waktu pun berjalan hari, minggu, dan bulan, aku tenggelam
dalam identitas baru sebagai remaja berandal di kota Makassar.
Bagaimana dengan kelanjutan Sekolah? Tawaran Papaku sangat
sulit kuterima saat itu, “Kau kalau mau masuk sekolah yah harus di SMA 2,”
katanya.
Sebuah tawaran yang sulit kuterima. Meski bandel, sejak kecil
aku hitungannya gak bodoh-bodoh amat. Waktu SD bahkan aku kerap masuk 10
besar dan pernah pula ranking 4 waktu di kelas IV. Dan SDnya pun bukan SD
sembarangan, namanya Mangkura 1 di jalan Botolempangan, Makassar.
Dan selulus SD, NEMku pun tidak terlalu buruk yaitu 39 koma
(dari skala 50), nyaris memenuhi standar minimal di SMP 6 (terbaik saat itu) yang
juga standar NEM masuk 39 koma, walau pada akhirnya tetap tidak bisa masuk di
sana karena tidak dianggap memenuhi persyaratan minimal karena angka di
belakang komanya gak sampai.
Alhasil aku terpaksa masuk di SMP 2 yang ada di jalan
Amangappa, pilihan kedua di rayonku waktu itu. Satu semester aku sekolah di
sana, sebelum pindah ke Jakarta ikut Mama. Nah,
di sinilah letak persoalannya, aku adalah korban sistem pendidikan di
Indonesia yang jomplang dan tambal sulam.
Sederhananya begini, meski di Jakarta, aku cuma masuk ke SMP
181 yang menurutku secara kualitas gak sebaik
SMP 2 Makassar apalagi SMP 6 Makassar. Alhasil meski lulus dari SMP 181 Jakarta
dan masuk dalam 10 besar, bahkan waktu kelas 3 sempat ikut trial untuk ikut
kompetisi Bahasa Inggris mewakili sekolah. Sayang di kualifikasi terakhir, aku
cuma ada di posisi kedua dan gagal mewakili sekolah.
Kembali ke soal perdebatan sekolah di Makassar dengan
Papaku. Karena tahu dan sadar kualitas kemampuanku ada di bawah teman-teman
sekolah kalau masuk di SMA 2 saja, maka aku nego untuk masuk di SMA 8 Makassar
saja. Bahkan kalau perlu sekolah yang lebih jelek pun gak papa yang penting
sekadar sekolah.
Ya, keinginan sekolah sejak SMP sebenarnya ada dan tiada.
Aku memang gak ingin ketinggalan kalau di kelas tapi juga sebenarnya gak
terlalu cinta sama yang namanya sekolah. Mungkin aku hanya suka berkompetisi
dan gak ingin serta gak suka kalau kalah, mungkin...
Di bulan September 1991 akhirnya almarhum Papaku bilang, “Kau
sudah bisa masuk sekolah.”
Dalam hal pemilihan sekolah berkualitas harus aku akui, salut
dan respek pada Papaku. Dia jago banget lobinya, sehingga aku bisa masuk di
sekolah menengah atas terbaik di kota Makassar. Saingannya paling cuma SMA 1
Makassar.
“Di kelas berapa, Pa?” tanyaku.
“Kelas 1-1,” jawabanya singkat.
“What?!” seketika
perasaanku langsung enggak enak, dan ternyata benar adanya.
Kelas 1-1 ini adalah kelas yang terbaik dari yang terbaik,
para juara ada di sini. Sampai saat ini, saya mikir kelas 1-1 di SMA 2 saat itu
adalah representasi lulusan para murid SMP terbaik se-Sulawesi Selatan.
Bayangkan saja, teman SDku yang namanya Ira yang selalu
ranking 1 sebelum kedatangan Citra dari Surabaya di Kelas IV dan merebut
tahtanya hingga lulus, “hanya” bisa masuk kelas 1-3 di SMA 2 saat itu. Padahal
apa kurangnya Ira yang kecil tapi cantik, putih dan kumis tipis di atas
bibirnya itu (hush!), selalu ranking
di saat SD dan lanjut di SMP 6 hanya bisa masuk di kelas 1-3.
Di sinilah penderitaan baru dimulai. Yah, bayangkan saja,
pemain dengan level PSM Makassar harus ikut di kelas para pemain Real Madrid
atau Manchester United, pastilah jomplang. Saya kalah segala-galanya di kelas
ini; kalah persiapan sejak awal di masa SMP dan juga ketinggalan dua bulan masa
periode sekolah. Mereka sudah mulai masuk sejak Juli 1991, sementara saya
gabung dua bulan kemudian di bulan September 1991.
Cara berpikir mereka dan kemampuan menyelesaikan masalah
ajaib-ajaib, bisa menyelesaikan dengan cepat dan seketika. Seluruh pelajaran
eksakta; Fisika, Kimia dan Matematika dilahap tuntas. Bahkan satu-satunya teman
SDku di kelas ini Citra yang selalu ranking 1 saat datang dari Surabaya harus berjiwa
besar jika masih ada beberapa teman yang lebih baik darinya.
Ada Rosa, Hasbi, dan Hasanuddin Bindo yang acap kali menjadi
aral perintang Citra untuk merebut posisi terbaik di kelas ini. Dahsyatlah
otak-otak anak-anak di kelas ini.
Saking tingginya standar kualitas anak-anak di kelas 1-1
ini, jika ulangan Fisika, Kimia dan Matematika dapat rata-rata “3” saja sudah
bisa lanjut ke A2 alias Biologi di kelas dua. Dan jika dapat rata-rata “4” atau
“5” saja sudah cukup untuk mengantarmu masuk A1 alias Fisika. Bayangkanlah
kesulitan yang aku hadapi...
Beruntung saat itu, aku punya empat teman lain yang juga
masuk “lewat jendela” alias gak masuk melalui standar NEM terbaik, tapi masuk
lewat jalur belakang. Setidaknya aku tidak jadi sendirian, meski pada akhirnya
dua di antaranya harus tinggal kelas, dan satunya lagi nyaris juga gak naik
tapi akhirnya bisa masuk ke jurusan A4 alias Budaya yang baru dibentuk setahun
kemudian.
Satu temanku lain Askari bisa masuk A2, sementara aku
mungkin sempat membuat wali kelasku Bu Murni ragu. Pasalnya di raport-ku ada
lembaran nilai yang sudah terisi dan dilem. Jika mengacu pada hasil itu,
mestinya aku masuk A2, tapi kemudian diubah dan jadilah aku masuk A3 alias Sos.
Itupun aku sempat menghadap ke Bu Murni suatu ketika setelah
kenaikan kelas, “Bu, bolehkan saya bicara sesuatu?”
“Apa seng (kata
imbuhan khas di Makassar tanpa arti) kau mau bilang, anak nakal?” kata Bu
Murni.
“Bu, boleh tidak saya dipindahkan ke A4 saja?” tanyaku.
Bu Murni yang tadi mengabaikan aku, bahkan terlihat malas
melihat muka, akhirnya menatap wajahku. “Sini kau mendekat dan mana raportmu?”
Aku pun maju dan menyerahkan raport, dan tidak dinyana
sebuah kejadian tidak terduga terjadi. Mungkin beliau memang sudah eneg denganku sejak lama, sambil
mengambil raportku dan menggulungnya, Bu Murni membanting raport itu tepat
mengenai dadaku, “Kau pikir sekolah ini sekolahmu, hah, anak nakal. Keluar kau
sana.”
Terkaget dengan sikap Bu Murni, aku segera mengambil
raportku yang terjatuh di lantai dan segera kabur dari kelas mengetik yang
menjadi ruangan kekuasannya.
Dari jauh masih terdengar Bu Murni mengomel, “Dasar anak
nakal, sekolah saja bajunya paling lusuh dan tidak pernah dimasukkan juga.”
Hehehehe, aku jadi
ingat jika selama sekolah aku masih lebih suka baju putih gombrang semasa SMP
di Jakarta, dan karena sudah lama warnanya pun lusuh dan cenderung kecoklatan.
Sementara seragam baru tergeletak dengan rapih di lemari di rumah nenekku.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar