CHAPTER 2: DUA MENTOR FESYENKU DI TAHAP AWAL


Dalam perjalanan mencari jati diri dan kebahagiaan, tentu masih ada kegembiraan-kegembiraan kecil yang hadir di sepanjang jalan.

Aku pun dulu menemukannya, beberapa. Masih dari zaman putih abu-abu alias esempe, kali ini aku ingin bercerita tentang dua guru fesyenku di tahap awal. Keduanya aku kenal di masa kelas satu dan dua yang berarti di kisaran akhir tahun 80an hingga awal 90an.


Penampilan Itu Penting

"Yang lagi tren itu sekarang kaos berkerah Country Fiesta dan Hammer harganya 20an sampe 30an ribu, tapi kalau duit lu lagi cekak lu beli saja kaos Griffon harganya dua belas ribu lima ratusan di Blok M," kata Didik, teman mainku yang saat itu sudah anak SMA. 

Dari sosok Didik inilah, aku pertama kali belajar jika penampilan penting. "Nah, lu kalo mau lebih gaya lagi belilah sepatu kayak gw nih, mereknya Indian. Harganya empat puluh lima ribu di Pasar Baru."

Nah, kalo celana bagaimana, Di?” tanyaku.

“Buat gak terlalu beratin orang tua, lu bisa beli Tira atau Lea. Kalau punya duit banyakan dikit beli Wrangler, tapi kalau lu cekak tapi baiknya jangan lu beli yah Lee,” balasnya.

Sejak saat itu, aku mulai akrab sama Didi yang secara tidak langsung jadi mentorku soal fesyen. 

Beberapa waktu lalu aku sempat kembali bertemu Didi, kali ini penampilannya lusuh. Dari situ aku jadi ingin mengemukakan jika style without brain and capability is nothing.

Selain Didi, tidak lama setelah itu aku punya teman baru namanya Agung. Dia baru balik dari Amerika Serikat ngikutin bokapnya kerja di sana. Agung ini tinggi putih dan jalannya kayak permainan jungkat-jungkit, sangat tertata apik. Ia pun suka mengibaskan rambutnya kalo jalan, mungkin di era sekarang dia pas dikategorikan metro seksual.

Lalu suatu ketika Agung pun menceritakan padaku sosok role modelnya yang ternyata, Tommy Page. Wuih, ternyata memang mirip dia sama idolanya, manislah untuk ukuran cowok. Alhasil karena kegantengannya, ada satu cewek cakep yang termasuk kembang sekelurahan Karet Tengsin naksir berat sama Agung, namun dengan mengibas rambutnya yang jatuh mirip gaya stock on you, cinta Hani ditolaknya.

Aku sih sama sekali gak ngikutin gaya Agung, dia terlalu manis buatku, tapi sekali lagi aku belajar jika penampilan itu penting.

Maka di saat remaja di saat aku mulai hobi foto waktu itu masih pakai kamera poket dengan rol film yang isi 16, 24 atau 36 yang aku beli di Fuji Film di Bendungan Hilir, aku sudah tentukan gayaku, yaitu officer Tom Hanson meski masih untuk konsumsi pribadi alias buat narsis internal.

(Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!