CHAPTER 13: ERA BALAP LIAR DI MAKASSAR TAHUN 1990AN
Di awal tahun 1990an di kota Makassar, geng-geng motor mulai
marak bermunculan. Ajang balap road race mulai intens digelar dan disukai,
setidaknya itu yang diingat Zolenk.
Salah satu balap road race paling ikonik saat itu ada di
jalan Riburane depan Hoya.
Di antara jagoan balap, satu di antaranya ada nama Ivan
Teknek, dewa balap liar yang juga berprestasi di ajang balap resmi road race.
Ivan tinggal di dekat Aspol di belakang Mall Ratu Indah yang saat itu belum
ada. Nama geng motor Ivan Teknek pun sangat legendaris di Makassar pada
zamannya, namanya “Jembek” yang kabarnya akronim dari “Jiwa Muda Anak Muda
Beken”.
Karakter Ivan Teknek mengingatkan pada sosok Bimbim,
setidaknya di benak Zolenk. Selain dingin saat membuka tuas gas, Ivan juga
cenderum pendiam dan kharismatik. Sederhananya, dia punya jiwa pemimpin
layaknya Bimbim di Slank.
Gaya bawa motor anak Jembek pun sangat ikonik di Makassar
saat itu, dengan posisi badan agak dibungkukkan dan miring ke kanan, serta
posisi duduknya agak ada di ujung sadel. Gaya yang sanggup buat cewek-cewek
cakep, apalagi sokngalak pasti jatuh hati.
Zolenk pun di awal 1991 sudah mulai punya geng-gengan yang
dibentuk Appang, anak SMA 11 yang asli Bulukumba. Secara wajah Appang tidak
rupawan, ia hanya mungkin sedikit lebih ganteng dibanding Andika mantan vokalis
Kangen Band, tapi urusan gaya Appang memang leader.
Buktinya kerah bajunya selalu membentang ke atas layaknya identitas preman,
anak geng.
“Nama geng kita, Poticok, singkatan dari Potongan Tipe Cowok
Cuek,” katanya mendeklarasikan di depan teman-teman, sembali menempelkan stiker
ke motor teman-temannya tanpa persetujuan lebih dulu termasuk ke Crystal punya
Zolenk.
“Tapi, Pang. Saya khan bukan anak SMA 11,” kata Zolenk.
“Sudahlah, kau kan suka nongkrong di sini, jadi dianggap
saja anak Poticok,” balas Appang sambil menunjukkan ekspresi wajah jika dia tidak ingin dibantah lagi.
Zolenk sadar besok-besok dia bakal diejek sama teman-teman
baiknya di Smada. Buat Zolenk, kata “Poticok” itu lebih bermakna sebagai “Potongan
Tipe Cowok Jelek”.
Benar saja, keesokan harinya dia pun olok-olok terus sama
teman-temannya. “Syuit, syuit, Poticok nih yeh,” kata Acho Kacoa yang memang
terkenal paling sadis kalau mengejek.
Setelah beberapa hari dibully sama teman-teman baiknya,
dicopotlah stiker itu dari motornya. Zolenk pun jarang lagi main ke SMA 11, gak enak juga sama Appang kalau ketahuan
copot sticker.
Ia pun punya teman baru namanya Ferdi yang tinggal di dekat
Pacuan Kuda, Parangtambung. Di tangan Ferdi yang juga seorang mekanik
abal-abal, motor Zolenk dioprek yang katanya bakal lebih kencang (katanya),
tapi hasilnya pun biasa saja.
Ferdi juga dikenal sebagai pembalap liar di kota Makassar
saat itu, beberapa kali juga ikut road race tapi selalu kalah. Ya, ia hanya
kencang tanpa strategi, alhasil sering jatuh sebelum mencapai babak final.
Paling banter dia tembus semifinal.
Selama bergaul sama Ferdi, Zolenk pun berkenalan sama preman
tua namanya Baso Poke. Suatu ketika Baso Poke bilang, “Woi, Zolenk, kalau ada
temanmu butuh ayam dalam jumlah banyak kabari yah. Saya bisnis ayam sekarang.”
Maka dikenalkanlah Baso Poke pada temannya yang namanya
Anton, anak Papua. Singkat cerita, berbisnilah Baso Poke dengan Anton. Hingga
suatu ketika, Anton protes, “Itu, kenapa kalau Baso Poke antar ayam pesanan
awal-awal saja semuanya, sekarang paruh-paruh sudah kayak termin proyek. Mana
jenis ayamnya beda-beda lagi, jangan-jangan di-lukka’ (dicuri).”
Entah bagaimana ending perjalanan dari bisnis keduanya,
Zolenk sudah tidak mengikuti, meski samar-samar di daerah parangtambung, Baso
Poke memang suka ambil ayam di pekarangan orang-orang. Entah bener apa enggak,
toh, yang pasti Baso Poke memang preman senior.
-
Selepas era Crystal 110cc dan masuk RGR 150cc, pergaulan
Zolenk pun berubah. Dia mulai main sama anak-anak Jembek, termasuk Ivan Teknek.
Beberapa kali dia jalan bareng Ivan Teknek termasuk kalau balap liar, dia
merasa skill balapnya gak jauh.
“Iyo, kenapa kau tidak coba balap resmi saja juga?!” kata
Ivan Teknek.
“Belum punya cukup nyali,” jawab Zolenk.
Urusan kencang, RGR Zolenk memang tiada banding. “Mau kau
kasih apa lagi motormu, Ini tiga dari empat dudukan blocknya sudah goyang karena
terlalu sering dipaksa. Mending kau jual ini motor daripada tambah rusak,” kata
Pak Ranggong, mekanik langganan paman Zolenk, yang juga dipakai jasanya oleh
Zolenk.
Ya, RGRnya itu sangat kencang. Jalanan sepanjang jalur penuh
tikungan menantang di kawasan Bili-Bili menuju Malino sudah acap kali menjadi
saksi bisu betapa kencang motor sport 2-tak 150cc lansiran Suzuki itu.
Pernah pula motor ini dibawa keliling Sulawesi Selatan
bersama Cokel, dan di suatu waktu jarum indikator kecepatan sempat tembus 160
km/jam. Kecepatan RGRnya pun cukup dikenal sama anak-anak motor Makassar saat
itu.
Salah satunya adalah putra Sop Haji Inam, makanan khas
Banjar yang legendaris di seberang Stadion Mattoanging, pun kesengsem pada
performa RGRnya. “Boleh deh, saya beli,” katanya singkat sambil menyerahkan
sejumlah uang pada Zolenk yang masih bingung karena tidak ada tawar menawar
langsung jadi.
Maka berpindah tanganlah kepemilikan RGR itu ke tangan
pemuda gondong yang potongannya gak kayak anak motor, lebih kayak anak band.
Gaya rambutnya soalnya mirip Slash yang keriting menutupi kedua matanya.
Ya, meski kisah dengan RGR dan era 2-tak sudah selesai,
cinta Zolenk pada sepeda motor tidak pernah terkhianati. Sekian tahun kemudian,
Honda Tiger 2000 yang dibelinya pas di hari ulang tahunnya yang ke-29 sudah
mengantarkannya keliling Pulau Jawa seorang diri.
Pun demikian, cinta itu akan kembali dalam waktu dekat.
Sebuah mimpi yang tertunda selama setahun terakhir, Yamaha Aerox 155 VVA. Ya,
jika Nicolas Cage bisa mendengar bisikan Eleanor, Zolenk pun senantiasa
mendengar bisikan dari setiap motor kesayangan yang pernah mengantarkannya
kemana-mana.
“Gas, gas, dan remlah selambat mungkin sebelum masuk
tikungan,” bisikan itu kembali berdesis, sambil berharap akan mengantarkannya
hingga ke alam Nusa Tenggara kelak dalam waktu dekat.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar