CHAPTER 12: TOURING PERDANA DI USIA 15 TAHUN+
Sejak mengenal motor kelas satu SMA, Zolenk sudah jatuh
cinta. Bersama Suzuki Crystal, sudah cukup banyak ruas jalan yang dilaluinya.
Di tahun 1991, saat motor itu pertama kali dibeli sudah dibawanya hingga
Kendari bahkan sempat ke satu kampung terpencil di sana yang namanya pun unik, Desa Pongkaluku.
Untuk sampai ke Kendari, ia harus berkendara sekitar 200 km
dari kota Makassar menuju Kabupaten Bone terlebih dahulu. Rutenya pun asyik sekaligus menantang yaitu melewati daerah
yang namanya Camba, selepas kota Maros. Seingat Zolenk, kawasan Camba ini
adalah jalanan lembah yang penuh dengan tikungan. Mirip-miriplah karakter medannya dengan jalanan
di Nagreg menuju Tasikmalaya dan Ciamis.
Di satu sisi jurang yang menganga dan di sisi lain ada kaki
bukit. Sama halnya dengan anak motor pada umumnya, tikungan-tikungan jalan luar
kota adalah oasis. Ia adalah panggilan jiwa yang menantang adrenalin masa muda
untuk menaklukkannya. Semakin tinggi bukaan gas yang dilakukan, pengereman yang
semakin terlambat sebelum memasuki tikungan, hingga gesekan pijakan kaki
pengendara ke permukaan jalan dan menimbulkan
percikan api kecil justru adalah kesenangan.
Ya, maut memang senantiasa membayangi, tapi anak muda seusia
Zolenk, kesenangan dengan aura maut itu justru laksana perasaan euforia seperti ketika
mendengar lengkingan suara Axl atau Sebastian Bach pentolan Skid Row dari speaker tape deck yang ada di rumah.
“Gas, gas, dan rem telat-setelatnya,” bisikan itu terus
berdesis di benak sepanjang perjalanan menuju Bone, tempat Pelabuhan Bajoe
berada. Di sanalah kapal pengangkut penyeberangan kendaraan untuk menuju Kolaka
(Sulawesi Tenggara). Ya, ibarat dari Banyuwangi ke Gilimanuk kalau ingin
menyeberang dari Pulau Jawa ke Pulau Bali.
Dan saat itu entah saat ini, Bone adalah daerah suku Bugis
asli yang utama dan karakter penduduknya sangat keras, mereka dilukiskan mudah
mencabut badik untuk menyelesaikan masalah, setidaknya itu yang dipahami
Zolenk.
Meski demikian yang Zolenk tahu, karakter orang Bone lebih
pelik dibanding orang Makassar untuk dipahami. Berbeda dengan orang Makassar
yang lebih gamblang dan lebih mudah dibaca, orang Bone meski keras tetap
membuka ruang dialogis layaknya pahlawan mereka Arung Palakka.
Saat memasuki kota Bone, malam telah berjejak. Dan
sebengal-bengalnya Zolenk, sejak SD, dia punya ketaatan menjalankan Shalat yang
cukup baik. Buatnya Shalat bukan sekadar kewajiban, tapi juga sebagai upaya
untuk melapor kepada Tuhannya untuk tetap memperhatikan dan bersama setiap
langkahnya, meski sekecil apapun perhatian itu yang penting Tuhannya tetap ada
bersamanya.
“Aku tahu aku bukan orang baik, tapi aku gak ingin Tuhan sama sekali hilang dalam
hidupku. Aku ingin Tuhan tetap ada dalam setiap langkahku, meski dalam bentuk
perhatian terkecil sekalipun tapi tetap ada,” kata Zolenk pada dirinya sendiri
di setiap waktu.
Selesai Shalat, malam makin meninggi saat ia tiba di
Pelabuhan Bajoe. Dan saat tengah santap makan malam, sebuah pemandangan
membuatnya terpana. Ia melihat untuk pertama kalinya, dua orang berkejaran.
Satunya yang mengejar memegang badik yang telanjang dan menghunus, sementara
yang dikejar terlihat tidak membawa senjata apapun alias tangan kosong.
Sejenak aliran darah di tubuh Zolenk seakan berhenti. “Bagaimana
kalau aku menjadi korban salah sasaran penikaman di wilayah yang keras yang
pertama kali dijejak ini?”
Ya, sebelum kembali ke Makassar dari Jakarta, Zolenk bukanlah pecinta
pertarungan fisik, meski bekal itu sebenarnya telah bersemayam dalam dirinya.
Toh, semasa SD dia sudah beberapa kali berkelahi, baik di sekolah maupun dengan
teman sepermainan, tapi pada dasarnya Zolenk cinta damai. Lalu Jakarta yang
mengubah cara pandangnya, jika ternyata laki-laki Bugis Makassar itu harus
berkelahi, demikianlah setidaknya yang dia pahami.
Cukup lama, kedua laki-laki dewasa itu berkejar-kejaran
tanpa ada upaya siapapun yang memisahkan, mungkin ngeri atau malah merasa itu
bukan urusan mereka. Keduana pun berlarian kemana-kemana, termasuk keluar masuk
rumah-rumah makan yang ada di sekitar situ.
Entah bagaimana kemudian permasalahan pertikaian itu
terselesaikan, tapi bagi Zolenk, dia telah belajar satu hal baru, jika hal itu
adalah hal biasa yang harus dihadapi laki-laki Bugis Makassar. Dalam kamus
hidupnya, laki-laki Bugis Makassar pantang lari sepanjang hidupnya. Pada satu
titik yang dianggap prinsipil harus berhenti dan menghadapi persoalan yang
menghadang, meski itu resikonya adalah menyabung nyawa.
Setelah makan malam dan menunggu cukup lama, akhirnya kapal
penyeberangan itu ada dan siap membawanya ke dalam fase baru dalam hidupnya,
touring lintas provinsi dengan bermotor. Usianya saat itu belum genap 16 tahun
tapi sudah punya SIM A dan C hasil jalur “tembak” yang diurus Papanya.
Setibanya di Kolaka, ia langsung membetot gas motornya menuju
kota Kendari, dimana sepanjang perjalanan beberapa kali ia bertemu dengan
rombongan monyet yang pantatnya merah. “Mungkin masih pada perawan tuh monyet,”
desis Zolenk dari balik helmnya.
Tiba di Kendari, dia sempat ketemu dengan anak motor
setempat di sebuah wilayah yang namanya Hombis. “Ada kita bawa Tarigu?” kata salah satu dari dua
anak muda yang berboncengan itu.
Sempat ada rasa gentar di dalam diri Zolenk, “Jangan-jangan
ini preman lokal yang hendak merampas uang saku perjalananku.”
Tapi ditepisnya rasa khawatirnya itu, ia menjawab seadanya dan mempercayakan penanganan situasi pada seorang keluarga laki-lakinya yang memang tumbuh dan besar di Kendari. Oleh
keluarganya itu, Zolenk dibawa ke rumah seorang paman yang rasanya baru
dikenalnya saat itu.
“Oh, Zolenk cucunya Puang Siteng ini. Masuk, nak,” kata
laki-laki itu.
Untuk beberapa hari ke depan, dia pun menginap di tempat itu
dengan perlakuan yang unik. Di saat yang bersamaan, keluarga itu juga
kedatangan tamu dari pihak istrinya. Uniknya, periode makan selalu berlangsung
dua kali.
Pertama, ia makan dengan keluarga dan tamunya dari Jakarta
dengan menu berbeda. Sementara Zolenk masuk ke dalam periode kedua, dengan menu
yang sama, menu ikan kua yang rasanya sangat gak enak dan dipanaskan berulang kali
untuk dimakan selama ia di situ.
“Anjing nih, om.
Mungkin dia malah ingin membunuhku dengan menu makanan basi,” geram Zolenk.
Tidak berapa lama, ia pun mengaku berpamitan pulang kembali ke Makassar, namun rute Zolenk berikutnya adalah sebuah desa yang cukup jauh jaraknya dari kota Kendari
namanya Desa Pongkaluku.
Entah mitos dan menjadi kepercayaan masyarakat saat itu,
untuk sampai ke Pongkaluku jangan melakukan perjalanan selepas Magrib,
berbahaya pokoknya. Dan sepanjang perjalanan ke sana di sore itu, bukaan gas
berlangsung lebih tinggi, demikian pula titik pengereman jadi lebih lambat.
Kendaraan lain pun nyaris tidak dijumpai sepanjang perjalanan ke sana. Alhasil perjalanan pun terasa lebih dingin dan mencekam.
Tiba di desa Pongkaluku, Zolenk numpang nginap di rumah
kepala desa. Di sana ceritanya lebih ajaib-ajaib lagi. “Di sini, penduduk masih
suka berburu sapi liar di hutan, tapi harus hati-hati karena banyak juga ular tua yang
sudah tidak bisa bergerak tapi ukurannya sudah kayak pohon kelapa. Makanya
hati-hati kalau lewat sebuah padang yang di bagian tengahnya lebih bersih, bisa
jadi itu dikelilingi seekor ular besar yang sudah tidak bisa bergerak karena
saking tuanya, tapi mereka masih mampu menghisap korbannya. Kadang kita coba
lempar pakai kambing atau domba dan langsung dihisap,” kata si kepala desa.
Zolenk hanya manggut-manggut mendengarkan, sambil bertanya-tanya
juga dalam hati, “Ini si bapak beneran atau ngarang-ngarang yah?!”
Beberapa hari di Pongkaluku, dia kembali ke Kendari dan
bertemu dengan dua anak muda yang menyapanya saat masuk Kendari pertama kali. “Bawa
tarigu, tidak?” katanya lagi.
“Tidaklah, masak jauh-jauh dari Makassar ke Kendari harus
bawa terigu,” kata Zolenk polos.
Pemuda itu tertawa, lalu dia pun menceritakan makna kata “tarigu”
di Kendari itu apa. Ternyata “tarigu” itu adalah “perek” atau sokngalak kalau
di Makassar. Miskomunikasi itu malah kemudian membuat mereka tertawa bersama dan suasana pun kemudian jadi lebih akrab.
“Kenapa yah dari di Kendari ini tidak ada bangunan tinggi?”
tanya Zolenk coba lebih mencairkan suasana.
“Di Kendari ini tanahnya gembur. Katanya tiap tahun turun
malah dan rawan longsor. Makanya tidak ada bangunan tinggi, paling cuma Kendari
Beach. Itupun cuma beberapa lantai saja
bangunannya dan lokasinya ada di kaki bukit, dan sebenarnya juga mengalami
kendala struktur tanah untuk menopang bangunannya,” kata pemuda itu.
“Dan di sini ini tidak seperti di Makassar, kalau anak-anak
balap-balap motor paling cuma di depan Kendari Beach. Itupun kalau polisi sudah
hadang dari dua arah sudah tidak ada kemungkinan lolos dan cuma bisa pasrah
ditangkap,” katanya lagi.
Mereka pun berbincang cukup lama di warung kopi sebelum
Zolenk kembali harus bergegas menuju Kolaka mengejar kapal ferry menuju ke Pelabuhan
Bajoe dan kembali ke Makassar.
Di akhir-akhir pembicaraan, ia bertanya, “Eh,
ngomong-ngomong situ masih SMA yah? Bolos yah, itu masih pakai celana SMA
soalnya.”
Seketika Zolenk baru sadar, jika selama beberapa hari di
Kendari, dia sudah beberapa hari tidak berganti celana panjang. Ya iyalah,
orang perjalanan ini tidak direncanakan meski di tas sekolahnya ada baju dan
pakaian dalam ganti.
“Eh iya, tadinya tidak ada rencana. Untung sudah diingatkan.
Saya pulang dulu yah, gatal nih sudah beberapa hari tidak ganti baju,” kata
Zolenk segera berpamitan dan melajukan motornya sekencang-kencangnya,
meninggalkan kawan barunya di Kendari itu yang masih takjub melihatnya dari
kejauhan.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar