CHAPTER 11: SATU RUANG KEJAHATAN YANG MELULUHLANTAKKAN NYALI ZOLENK
Apa yang menjadi inti cerita kali ini memiliki istilah yang
berbeda di tiap wilayah dan ruang waktu. Saat Zolenk masih bersekolah di
Jakarta, kerap diistilahkan sebagai “perek” (perempuan eksperimen), lalu
beberapa waktu lalu sebelum era “jaman now” hadir biasa disebut sebagai “jablai”
(jarang dibelai).
Nah, di Makassar, saat Zolenk masih berseragam putih
abu-abu, namanya menjadi “Sokngalak” (demikian jika statusnya disebut). Artinya
terlalu kejam buat diartikan ke dalam bahasa Indonesia, tapi ini adalah fakta
sejarah di zaman Zolenk kala itu.
Setiap akhir pekan tiba, teman-teman seusianya plus
kebanyakan yang sudah abang-abang di atas usia Zolenk, kompleks Sosial kerap
didatangi oleh dara-dara muda yang cukup cantik. Mereka menghabiskan waktu
dengan pemuda-pemuda kompleks yang memang banyak yang gantengnya, kecuali
Zolenk tentu.
Apalagi secara status sosial, anak-anak kompleks punya orang
tua yang status sosial dan ekonominya lumayan baik di atas rata-rata.
Seiring malam meninggi, kegiatan mereka semakin serius; nyanyi-nyanyi
bareng sambil gitaran, minum-minum bareng sambil ngemil kacang, lalu ditutup
dengan saling cumbu. Beberapa di antaranya menggunakan kamar panti dan pos
ronda bahkan.
Kemesuman nampak sedemikian mudahnya di depan mata, tapi
tidak ada yang berani protes termasuk para orang tua mereka.
Zolenk saat itu hanya menatap, dan jika sudah bosan,
dinyalakan motornya. Kejadian itu berulang dan menjadi rutinitas sejak Zolenk
masih pakai si bebek Crystal hingga berpindah ke RGR.
Pun demikian, tempat main Zolenk di ujung selatan
Cendrawasih, tempat ibu angkatnya bermukim. Di sana, teman-teman seusianya dan
juga abang-abang di atas usianya juga menghabiskan waktu bersama dara-dara
belia yang sebagian datang dari seberang kanal.
Di pinggiran kanal itulah, anak-anak muda itu melakukan
aktivitas yang sama, meski cewek-ceweknya tidak secantik dan seharum
cewek-cewek yang ada di kompleks Sosial. Sebagian malah ada yang menggunakan
sabun Giv yang saat itu harganya murah dan demikian pula aromanya.
Zolenk tidak bergabung jika rutinitas dimulai. Ada sih satu
dua yang coba mendekat, tapi melihat pancaran mata Zolenk yang nampak jijik,
mereka paham percuma mendekat sama anak muda satu itu. Mungkin di benak mereka,
“Ini cowok sudah jelek, sangar lagi.”
Meski nakal senakal-nakalnya, Zolenk cenderung kaku dan
gemetaran kalau urusan dengan perempuan. Apalagi lagi kalau menyangkut
transaksi kelamin.
Niat dan berahinya sih sangat tinggi. Apalagi sejak SMP, dia
sudah sangat suka nonton bokep. Mungkin sudah ratusan kaset bokep Betamax yang
sudah ditontonnya, tapi untuk praktek langsung nyalinya terlalu kerdil.
Sudah banyak kesempatan yang dihadapi oleh Zolenk untuk
melakukan sejak masa SMA, tapi dia lebih dilanda rasa gugup yang sedemikian
rupa.
Pernah suatu waktu pacar teman kakak sepupunya ditinggal
berdua sama Zolenk di sebuah kamar penginapan di Malino yang sedemikian dingin.
Sebenarnya pun Zolenk pun tertarik pada pacar teman kakak sepupunya itu.
Wajahnya cantik dan bodinya sintal, tapi Zolenk hanya berani berbaring
memunggunginya. Punggung dan telapak kaki mereka berdua bersentuhan, namun
hanya sebatas itu.
Pernah pula dia ditinggal berdua di dalam rumah sama seorang
janda muda yang cantik, tinggi dan sekelas modellah, kurus, kira-kira 170cm+,
namun kembali tidak terjadi apa-apa padahal mereka seharian cuma berdua di
rumah itu.
Pernah pula, dia terkesima pada seorang kakak angkatnya yang
kalau tidur sedemikian seksi. Dia hanya menatap terkesima, darahnya mendidih,
namun hanya sebatas itu. Suatu waktu mungkin kakak angkatnya tahu kalau Zolenk
menaruh berahi padanya, lalu diajaknya Zolenk naik becak berdua untuk jarak
yang cukup jauh. Tubuh mereka berdempetan di dalam becak yang sempit, Zolenk
berusaha menutupi rasa gugupnya.
Sang kakak angkat coba men-dress up si Zolenk dengan potong rambut sesuai arahannya, tapi dia
mungkin tahu Zolenk terlalu “dingin”, maka hanya sekali itu saja interaksi
mereka.
Beberapa kali pula Zolenk di ajak masuk ke dalam gedung-gedung
yang ada di jalan Nusantara yang legendaris itu, tapi ia hanya menatap
terkesima, tidak lebih. Sebelum Stadium di Jakarta ditutup, dia pun setidaknya
dua kali diajak masuk ke dalam, dimana hubungan raba-rabaan begitu “telanjang”
nampak di depan mata, namun sekali lagi dia hanya menatap terkesima.
Ya, itulah nampaknya satu-satunya level kejahatan yang
dihindari si Zolenk. Dia tidak punya cukup nyali untuk melakukannya, bukan
karena sok moralis, tapi karena dia memang tidak punya cukup nyali.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar