CHAPTER 17: HARMONISASI ANGKATAN DAN CIKAL BAKAL JADI MUSUH ABADI JURUSAN
Paruh kedua tahun 1990an menjadi awal muasal Zolenk menjadi
musuh abadi jurusan dan kemudian ditjap sebagai “kiri”. Seorang dosen muda yang
dibanggakan oleh banyak orang di jurusan pun memberikan stempel abadi untuk
dirinya, Lenin.
Sebutan ini pun berkumandang sepanjang lima tahun Zolenk berada
di Tamalanrea KM. 10.
Dan dari kisah inilah sumbu permusuhan itu dimulai...
Belum genap setahun masa perkuliahan, mayoritas kawan angkatannya
menginginkan adanya sebuah forum diskusi dan membangun nuansa kebersamaan di
Malino. Keinginan yang membuat gusar para pengurus lembaga kemahasiswaan.
“Tidak boleh, pokoknya tidak boleh,” kata para pengurus
lembaga kemahasiswaan.
Namun niat kawan-kawan seangkatannya ternyata sudah bulat.
Beberapa tokoh kuntji di angkatannya pun coba melobi melalui lembaga kemahasiswaan
lain untuk pinjam kop surat biar bisa meminjam bus kampus menuju lokasi. Kemudian
dari lembaga kemahasiswaan jurusan Pemerintahan, surat permintaan peminjaman
bus kampus akhirnya bisa keluar dan terpenuhi.
Tugas selanjutnya adalah berburu penginapan di Malino.
Bersama dua motor pinjaman bersama tiga kawannya termasuk kang Qwink, ia berangkat
ke Malino. Lama tak menyapa jalur Malino, Zolenk merasa agak kaku menaklukkan
medan-medan tikungan di sana. Padahal saat SMA, hampir setiap pekan jalur ini
ditaklukkannya.
“Dulu saya hanya butuh sekitar maksimal dua jam dari
Makassar ke Malino. Sekarang kayaknya lebih lama,” gumamnya di benak. Mungkin
juga karena faktor motor yang dipakai mempengaruhi. Dulu zaman Crystal dan
RGRnya, selain performa mesin yang optimal juga pilihan ban aftermarket menjadi hal yang krusial.
Tidak butuh waktu cukup lama selama di Malino, mereka
berempat sudah berhasil menemukan dan menyewa sebuah Mess milik dari salah satu
institusi pemerintahan.
-
Tidak ada agenda “kejam” sebenarnya selama di Malino, tapi
karena mereka dianggap sebagai angkatan terbaru, maka pengurus lembaga
kemahasiswaan tidak terima karena mereka merasa adik-adik angkatannya lancang
berangkat tanpa seizin mereka.
“Kami ingin masuk ke dalam,” kata beberapa pengurus lembaga
kemahasiswaan.
“Tidak boleh,” kata beberapa teman seangkatannya yang cukup
bernyali.
Suasana pun mulai memanas, namun masih untung beberapa di
antaranya yang isi kepala dan hatinya masih dingin, sehingga pertikaian yang
tidak perlu bisa dihindarkan. Urusan mendinginkan situasi seperti ini di
angkatannya ada Iccang yang jagonya. Dia memang mewarisi karakter anak Bone
sejati, bisa keras dan bisa pula dialogis.
Kalau Zolenk sendiri seperti biasa kaku dan bersiap saja
kalau bentrok harus terjadi. Bahkan setelah kejadian itu, ditemani teman
angkatannya yang tercerdas kang Wawan, Zolenk berjalan kaki cukup jauh menyambangi
lokasi penginapan para pengurus lembaga kemahasiswaan. Untunglah di sana,
para pengurus lembaga kemahasiswaannya sudah pulang kembali ke Makassar.
Urusan yang kayak gini, Zolenk memang tidak biasa banyak
bicara. Di kepalanya hidup cuma sekali, kalau prinsipil dijalanin saja apapun
resikonya, tapi dalam hatinya dia juga memuji nyali kang Wawan, “Gokil nih
anak, selain super cerdas, ternyata nyalinya bolehlah,” puji Zolenk dalam hati.
-
Sejak itu, beberapa staf pengajar yang terkemuka di jurusan
senantiasa mencari tahu siapa otak di balik gerakan “Harmonisasi Angkatan” di
Malino itu. Dan salah satu staf pengajar yang dipuja-puja sebagai salah satu
yang terbaik senantiasa menuding Zolenk sebagai biang keladi.
“Anak itu memang Lenin, pokoknya dia Lenin,” katanya
ditujukan kepada Zolenk dalam berbagai kesempatan, bahkan ketika di ruang
kelas di depan mahasiswa-mahasiswa lain termasuk adik-adik kelas. Dia pulalah yang membuat Zolenk harus tertunda selama setahun untuk
menyelesaikan studi.
“Pokoknya itu anak harus ambil minimal tiga kali mata kuliah
saya kalau mau lulus,” katanya mengultimatum. Dan dia memang membuktikan
kata-katanya, Zolenk memang harus tiga kali mengambil mata kuliahnya baru bisa
lulus. Dua kali diambilnya di semester panjang atau reguler, dan sekali di
semester pendek yang membuatnya tidak bisa kemana-mana saat libur semester saat
itu.
Dua semester reguler pula, Zolenk mendapat IPK 0,00, karena memang
tinggal mata kuliah itu saja yang tersisa. Dosen itu memang benar-benar terasa
memusuhinya saat itu, sampai suatu ketika beberapa teman angkatannya datang
menghadap Zolenk, serta beberapa di antaranya yang cewek datang dalam keadaan menangis.
“Zolenk, kami diancam jika kau masih di kampus, maka KRS
kami tidak akan ada yang ditandatangani. Bagaimana dong?” kata beberapa teman
angkatannya.
“Baiklah, saya akan coba menghadap ke ketua jurusan untuk
membicarakannya,” kata Zolenk pada teman-teman angkatannya.
Segera setelah itu, Zolenk benar-benar menghadap ke ketua
jurusan. “Pak, saya siap mundur dan keluar dari kampus ini, asal teman-teman
saya bisa lanjut kuliah. Tapi kalau sampai setelah saya keluar, teman-teman
masih dipersulit, saya insya Allah siap melakukan apapun bahkan untuk masuk
penjara sekalipun,” katanya pada pak ketua jurusan.
Air muka pak ketua jurusan nampak tengah berpikir pelik. Dia
tahu anak muda di depannya ini adalah sumber masalah, tapi juga nampak ada rasa
respek pada dirinya. “Sudahlah, begini saja, KRS teman-temanmu akan tetap
ditangatangani, dan kau cepat saja selesaikan skripsi dan pergi secepatnya. Kau
buat saja skripsi yang kau bisa yang penting cepat selesai,” katanya.
Persoalan pun selesai, teman-temannya bisa lanjut kuliah dan
selesai. Demikian pula si Zolenk, dengan tema skripsi yang pada faktanya tidak
pernah dibimbing siapapun, kecuali pada insting dan Allah SWT tentu. Skripsi
itu pun selama ujian tidak pernah dibuka, sekaligus membuktikan jika Zolenk
lulus secara meragukan di kampus merah.
Saat diwisuda, PR 1 Prof. Natsir Nessa yang dua kali
didebatnya dengan tanpa tata krama juga terperangah saat Zolenk diwisuda,
sebuah prosesi yang sebenarnya Zolenk tidak ingin lakukan, kecuali karena
Mamanya yang datang jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk melihatnya diwisuda
sebagai seorang sarjana sontoloyo.
“Sarjana juga kau, nak?” kata Prof. Natsir Nessa yang
langsung berdiri dari kursinya.
“Iya,” kata Zolenk pelan, lemas dan tanpa ekspresi.
Seketika ekspresi Prof. Natsir Nessa berubah, mungkin antara
lega, senang dan juga kecewa lihat ekspresi mantan musuh bubuyutan yang
datar itu.
Sebelum kembali ke Jakarta, pak ketua jurusan sempat
mendatangi Zolenk yang tengah duduk sendiri di pelataran Baruga, “Suatu saat
kembalilah ke sini, nak,” katanya.
Meski di kesempatan yang lain pada saat prosesi figur,
beliau sempat juga bilag di depan para mahasiswa baru, “Jangan lagi kelak ada
lagi mahasiswa yang keras kepada seperti dia yah,” katanya sambil menunjuk
Zolenk.
Hmm, jadi yang
bener yang mana neeh, “Balik atau
enggak, Pak?!”
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar