CHAPTER 23: JALAN KAKI MALAM DI PINTU 2 SELALU SYAHDU
Cerita syahdu tidak hanya terjadi ketika berjalan dengan
kekasihmu. Kalau masih tidak percaya, cobalah berjalan di saat malam pada
pertengahan 1990an dari arah ramsis menuju pintu 2. Semakin malam semakin
romantis berjalan di samping deretan pepohonan besar, serta pendaran
lampu-lampu merkuri jalanan kampus, meski sekalipun kau berjalan seorang diri.
Saking syahdunya hampir tidak pernah terdengar ada orang
yang melintas itu kesurupan. Mungkin setan-setan juga tersentuh hatinya saat
melintasi jalan itu, mungkin...
-
1992 Awal Kelas 2 SMA
“Kau tidak jadi antar Dian pulang?” kata Farly, seorang
kawan Zolenk asal dari Sulawesi Utara. Dia kos di dekat sekolah saat itu.
“Kayaknya ciu
(minum keras khas Manado) darimu ini lumayan keras, kepalaku pusing berat, bro.
Mau numpang tidur dulu. Boleh, kan?!” kata Zolenk.
Farly hanya geleng-geleng kepala, “Bagaimana caranya mau
dapat pacar kalau hidupmu lebih banyak nenggak alkohol,” kata Farly sambil
tertawa keras. Kepulan asap rokoknya pun seperti selaras dengan tawanya,
berhembus dalam jumlah banyak. Jika begitu, dia sudah seperti tokoh villain di film-film ninja Sho Kosugi.
Zolenk pun tertidur dan baru bangun selepas waktu Ashar. Ia
lalu mencuci muka di keran depan kosan, lalu pamit pada Farly dan langsung
menyalakan Crystal hitamnya.
“Saya pulang dulu.”
-
1993 Kelas 3 SMA
“Kau tidak ikutan main scrabble
sama anak-anak di dalam kamar?” kata Obet, yang biasanya ditempati rumahnya
untuk bolos oleh teman-teman kelas Zolenk, termasuk dirinya.
“Tidak, bro. Enakan di sini, sejuk, “ kata Zolenk. Ya, rumah
Obet merupakan rumah dinas ayahnya yang tentara memang lumayan teduh dan
sejuk. Areal halamannya lumayan cukup luas ditandai dengan beberapa pohon besar
termasuk beringin dan pohon mangga.
Zolenk masih sibuk menggambar di buku tulisnya.
“Kau ini buku sekolah cuma satu isinya lebih banyak gambaran
ketimbang pelajaran. Mana gambarannya kayak gitu-gitu saja, manusia berotot,”
kata Obet sembari mengisap dalam rokoknya.
Zolenk diam tidak menimpali, dia hanya menunggu jam pulang
sekolah dan kembali pulang ke rumah neneknya.
-
Masih di Rumah Obet
(Besoknya, Besoknya, dan Besoknya Lagi, Hingga...)
Keesokan harinya dan keesokan harinya lagi, lalu keesokan
harinya, Zolenk masih suka membolos di rumah Obet. Sekedar ngejreng-ngejreng
main gitar gak karuan, atau
menggambar orang sakti seperti biasa.
“Kau tidak pernah berpikir mau kemana selepas SMA?” tanya
Obet.
“Belum tauk, mungkin jadi seniman kali,” kata Zolenk.
“Seniman apa?”
“Seniman pelukis pinggir jalan kali.”
“Yakin?”
“Belum tauk juga, dijalanin saja sebisanya.”
“Mestinya kau mulai berpikir sejak sekarang.”
Zolenk merasa kurang enak hati mendapat masukan itu, “Hmm, mungkin mulai besok harus cari
tempat bolos yang lain.”
-
Kolaborasi Kelas 2
dan Kelas 3 SMA
Di rumah Farly ataupun di rumah Obet itu saat Zolenk lagi suka-sukanya
dengan Mr. Big mulai dari Just Take My
Heart, Seven Impossible Days, To Be With You, Wild World, Where the Wind
Blows, Promise to the Moon, Anything for You, All the Way Up, hingga Not One Night.
Didengarnya warna vokal khas Eric Martin di walkman pemberian Papanya.
“Kenapa kau suka sekali sama Mr Big, padahal kan kau main
gitarnya juga parah sekadar buat dinikmati diri sendiri pas lagi nongkrong,”
kata Obet yang mampir ke tempat bolos Zolenk di warung pertigaan jalan Baji Gau
dan Baji Ampe.
“Musik mereka menenangkan jiwa dan memotivasi diri untuk
selalu senang,” kata Zolenk.
“Kenapa bisa begitu?”
“Ya, enak saja di dengar.”
“Kau ingin jadi musisi kelak?”
“Tidaklah, saya tidak berbakat. Saya hanya penikmat musik.”
“Kau pengen jadi apa sebenarnya? Sekolah malas, jadi musisi
gak bakat.”
“Sudah, bro. Tidak usahlah jadi orang sok pintar, orang
pintar itu kelihatannya saja baik, tapi mereka lah yang paling banyak merusak,”
timpal Zolenk bergegas keluar, lalu menyalakan motornya pergi meninggalkan Obet
yang sudah jadi tukang ceramah.
Dipacunya motornya ke arah jalan Nuri, masuk kompleks PU
yang menjadi tempat nongkrong Zolenk sejak zaman kanak-kanak.
“Jaya belum pulang, dia jalan tidak tauk kemana,” kata kakak
perempuannya.
Zolenk pun memutuskan nongkrong sendiri di balai rakyat yang
ada di bagian depan kompleks PU, nongkrong sendiri sambil liat anak-anak kecil
main bola di atas lapangan yang sudah disemen.
“Ikut main tidak, bang?” kata salah satu anak kompleks PU
yang mengenalinya.
“Tidak, lagi malas.”
“Yah, payah. Anak muda yang lemah.”
“Hahahaha, sudah main saja sana.”
Selepas Shalat Ashar, Zolenk pun melanjutkan perjalanan.
Tujuannya menunggu senja dan saat malam mulai tiba, dia sudah menunggu di
gerobak nomor 100 punya Marten, penjual nasi goreng paling enak di sepanjang
Pantai Losari.
Kata banyak orang, Marten suka sesama jenis, meski demikian
Zolenk tidak perlu khawatir. Soalnya dirinya terlalu butek untuk disukai oleh
siapapun.
Di gerobak nomor 100 punya Marten ini pulalah Zolenk buanyak
banget menghabiskan waktu mulai dari masa putih abu-abu di jalan Baji Gau
hingga saat mau recovery dari drugs di akhir tahun 1990an.
-
Masa-Masa Recovery
Drugs Akhir Tahun 1990an
Lokasi di Depan RS
Stella Maris
“Kau pesan apa, Zolenk?! Pasti nasi goreng merah, kan?” kata
Ippank, salah satu pengamen paling terkenal di sepanjang pantai losari.
Rambutnya panjang gimbal, yang kata anak-anak di depan RS Stella Maris, menjadi
salah satu tipe pria yang kabarnya masuk dalam selera Marten.
Dia pun jadi sering jadi utusan anak-anak nongkrong di situ
untuk membeli nasi goreng merah di gerobak Marten. “Kalian semua enak-enak tinggal
makan, saya yang dipegang-pegang pahanya biar dapat nasi goreng lebih banyak.”
Ya, kalau Ippank yang pergi beli nasi goreng merah pasti
dapat lebih banyak. Kabarnya untuk itu, dia harus relakan dirinya dipeluk-peluk
dan dipegang-pegang pahanya oleh Martin.
Zolenk sebenarnya antara percaya atau tidak, soalnya Martin
itu secara sosok laki banget. Ada kumisnya dan suka pakai kaos hitam serta
badannya lebih mirip preman pasar sentral ketimbang bencong di lapangan
Karebosi. Tapi sudahlah, waktu sudah lepas dari jam 2 dinihari, dan perutnya
mulai lapar. Beberapa waktu ke depan, azan Subuh segera berkumandang. Itu
saatnya dia shalat di masjid di jalan Maipa, lalu jalan kaki ke jalan Sultan
Hasanuddin untuk naik pete-pete 05 ke arah Tamalanrea KM.10.
-
Sudah beberapa minggu Zolenk memang banyak menghabiskan
waktu malam di sekitaran Pantai Losari untuk melupakan ketergantungannya dari drugs.
“Mau (Pantai) ke Losari lagi?” kata Mas Dede di kosan.
“Hmm, kayaknya
kali tidak. Mau nyebrang ke Pulau Khayangan. Kemarin pinjam pancing punya teman,
mau beli umpan udang dulu di (pasar) lelong, baru nyebrang,” kata Zolenk.
“Sendiri?”
“Tidak, berdua.”
“Sama siapa?”
“Sama ini,” kata Zolenk sambil mengeluarkan satu botol ceper
Mansion Vodka.
“Wah, parah lu. Hati-hati nyebur ke laut. Di sana lumayan
keramat soalnya kalau selepas malam.”
“Oks, terima kasih nasihatnya. Saya jalan dulu yah, mas.”
“Oks, titi dj.”
-
Di Pulau Kayangan
Jelang pukul empat subuh, Zolenk berhasil menangkap dua ekor
ikan yaitu satu ikan sunu dan satu pari kecil. Lalu dibakarnya di tempat
pembakaran yang tersedia, bumbunya cuma ditambahi Mansion Vodka.
“Enaknya.”
Selepas Shalat Subuh di airnya payau, Zolenk pun kembali ke
kota Makassar. Tempat penyeberangan ke Pulau Khayangan sendiri ada di seberang
jalan benteng Fort Rotterdam.
-
Besoknya
“Kau mau ke (Pantai) Losari lagi?” kata Mas Dede yang selalu
setia di kosan dengan gitarnya.
“Tidak.”
“Ke (pulau) Khayangan lagi?”
“Tidak.”
“Lalu mau kemana malam ini?”
“Nongkrong sama di ramsis, terus nanti kalau sudah semakin
malam paling jalan kaki ke arah Pintu 2, minum Sarrabba kalau masih ada sambil
lihat-lihat jalanan. Baru setelah itu balik ke kosan dan tidur.”
“Ada apa memangnya dengan jalanan di sana?”
“Tidak ada apa-apa, cuma banyak yang jalan keluar kota.”
“Hahahahaha, kalau itu pasti, namanya juga jalan poros
provinsi.”
“Oks, saya jalan dulu.”
“Sip, titi dj.”
“Oks.”
-
Dan seperti sudah diceritakan di atas, jika jalan kaki di
waktu malam di pintu 2 adalah hal yang syahdu dan romantis.
“Woi, jalan kaki
mulu. Masih patah hati ditolak Belkan?” tereak Katak dari kamarnya di lantai 2
ramsis bloknya.
Tidak dipedulikannya kata-kata Katak yang memang senantiasa
bersukacita jika ada yang gagal, soalnya dia jadi ada temennya.
“Hati-hati nanti tabrak tiang listrik kalau kebanyakan
melamun,” tereak Katak lagi.
Ya, Belkan adalah satu chapter pukulan tertelak di zaman
itu, tapi Zolenk tahu di dalam jiwanya ada karunia kesenian yang cukup
menggelora, dan itu sudah cukup untuk membuatnya bertahan dengan indah.
“Ya, saya cenderung lebih suka melihat dunia yang indah
ketimbang dunia yang pintar. Malam ini masih seperti beberapa tahun terakhir
masih sendiri, tapi kesyahduan suasana di pintu dua di malam ini kan selalu
kupeluk. Kelak jika saya bisa bertemu denganmu, dimanapun, akan kusimpan rasa
ini untuk menjaga dirimu sepenuh hati.”
Suara jangkrik rerumputan tinggi di seberang RSU mulai
berbunyi, jalanan pun mulai sunyi, sudah lepas jam 11 malam. Masih perlu beberapa
langkah lagi, beberapa ratus meter ke depan, untuk sampai ke penjual sarabba langganan itu
menggelar lapak tenda kaki lima di trotoar.
Selalu khidmat suasana di sana. “Hari ini aku masih
menggenggam angin, kelak jika sudah bisa kugenggam tanganmu, dimanapun erat
hingga kau bisa merasa tenang dan damai di sepanjang jalan.”
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar