CHAPTER 14: TIDAK ADA PENYESALAN DALAM HIDUP



Wuih, judulnya saek kalau orang Betawi bilang mah. Maksudnya bagaimana tuh? Ya, setiap hidup punya cerita, dan pasti ada gagalnya. Jika gagal bagaimana menghadapinya, haruskah menyesal berkepanjangan?

Buat Zolenk, tidak ada kamus penyesalan dalam hidupnya. “Saya hanya bergerak mengikuti kata hati, meski itu konsekuensinya harus gagal dan sendiri sekalipun,” kata Zolenk acap kali pada dirinya sendiri.

Sore itu, ia hanya duduk terpaku di tangga Mall Theater, jaringan bioskop kelas B yang ada di ujung selatan Makassar. Di tahun 1990an, Mall Theater ini grade-nya sama dengan Artis Theater yang menunggu film-film muntahan dari Makassar Theater dan Sinema 21.

Nah, di Mall Theater inilah menjadi salah satu tempat Zolenk mencari “nafkah” sebagai tukang pajak penonton ataupun pegawainya, sekadar untuk membeli rokok.

Sudah sekitar dua tahun dia luntang lantung tidak karuan, entah mau kemana, tapi Zolenk tidak pernah banyak berpikir bahkan untuk merutuki hidup. Hari itu memang dia masih memilih untuk menjalani roda kehidupan sebagai preman kecil di ujung selatan kota Makassar.

“Woi, apa kau bikin di sini, Zolenk?” kata seorang pria muda berparas gagah, terpelajar dan bersih pula.

Sapaan itu cukup untuk membuat Zolenk terperangah, barusan ini ada calon korban yang mengenali namanya. Ups, ternyata pria muda itu adalah abang temen baiknya pas masih SMA. Namanya kak Iwan, kakaknya Sofyan teman SMA Zolenk pas kelas tiga. Sofyan dan Iwan adalah cucu Ramang, pemain legendaris PSM Makassar. Sofyan adalah murid pindahan dari SMA 8 kala itu, dan cukup dekat sama Zolenk selama masa sekolah. Beberapa kali Zolenk pun diajak ke rumahnya yang ada di jalan Landak Baru.

Selain gagah dan pintar, kak Iwan juga adalah mahasiswa Teknik Unhas dan menjadi salah satu mentor di Lembaga Bimbingan Belajar yang namanya Surabaya Intelectual Club di jalan Landak Baru dekat Rumah Sakit Labuang Baji.

Zolenk pun bercerita pada abangnya Sofyan itu tentang kehidupannya selepas masa SMA dan menjadi preman kecil di ujung selatan Makassar.

“Wah, sayanglah, setahuku kau cukup pintar. Mending kau ikut Bimbingan Belajar di SIC sebulanlah cukup yang intensif kalau kau tidak punya cukup uang. Siapa tahu kau bisa lulus UMPTN dan kuliah,” kata Iwan.

Saran itu pun diikuti oleh Zolenk. Sebulan penuh dia ikut program intensif di SIC, dan saat itu yang mengisi lembaran UMPTNnya oleh Mas Karim yang juga orang SIC. Beberapa kali tryout hasilnya kata Mas Karim lumayan. “Kayaknya kau bisa lulus UMPTN,” kata pria asal Jawa itu.

Secercah harapan kecil sempat timbul tapi tidak lama. Persis setelah tes UMPTN, dia kembali ke dalam jalan gelap; minum, berkelahi dan judi kiu-kiu. Sampai suatu malam di saat lagi mabuk-mabukan, telepon di rumah ibu angkatnya berdering.

“Zolenk, ada telepon dari SIC. Katanya kau disuruh ke sana besok, lulus kau katanya UMPTN,” tereak suara dari dalam rumah.

Tidak ada ekspresi berlebih dari Zolenk, malam itu kepalanya sudah cukup berat karena pengaruh alkohol. Keesokan harinya dengan kondisi badan belum kembali segar, Zolenk berkunjung ke SIC. Di sana, ia bertemu dengan Mas Karim.

“Selamat yah, kau tembus di Komunikasi Unhas,” kata Mas Karim.

Meski demikian, tidak ada ekspresi berlebih dari Zolenk. Ia merasa itu adalah seperti kelanjutan jalan hidup. Dua tahun pertama di Unhas, Zolenk malah makin parah soal urusan alkohol, rambutnya pun dibiarkan gondrong, malah hobi judi kiu-kiu pun makin gandrung, karena di Fakultas Sastra ternyata banyak yang suka main kiu-kiu termasuk dosennya. Demikian pula di kosannya yang ada di Perintis Kemerdekaan 6, hobi main kiu-kiu makin menjadi-jadi.

Selama dua tahun awal kuliau, ia pun lupa yang namanya pakai sepatu. “Jujur, saya masih bingung apakah saya harus kuliah atau tidak,” kepada beberapa teman di jurusan.

Selama empat semester awal, Zolenk selalu bersandal jepit Swallow. Meski bukan anak pecinta alam, dia pun suka pakai kemeja lengan panjang khas anak gunung. Atau kalau bosan, dia suka tampil grunge a la Kurt Cobain, tapi tentu saja dengan perbandingan rupa yang jauh berbeda bumi dan langit. Alhasil, Zolenk makin nampak kumel bin dekil.

Parahnya, meski super butek, Zolenk pede nembak-nembak setiap cantik yang ditemuinya di kampus, meski senantiasa berujung dengan kegagalan.

Kehidupan permabukan Zolenk pun semakin parah, ia mulai kenal ciuk minuman keras khas Manado, plus mulai intens nge­-drugs putaw. Dari awalnya masih nge-drugs biasa hingga main jarum suntik dilakoninya selama empat tahun.

Uniknya meski secara fisik makin parah, titik bali kehidupan Zolenk berubah karena aktif berlembaga di tingkat jurusan. Sebenarnya awalnya bukan kemauan dia, tapi karena paksaan beberapa teman. Ia pun asyik mencari duit dari lembaga kemahasiswaan mulai dari kegiatan pemutaran film, bursa buku, dan kegiatan fotografi.

“Wah, ternyata aku bisa baik juga, kirain cuma bisa jadi penjahat,” kata Zolenk semringah.

Ia pun mulai merasakan titik balik kehidupan selepas semester lima, meski dunia permabukan masih dijalani namun dunia perjudian mulai dia tinggalkan. Ia pun mulai merasakan asyiknya berorganisasi, dan ternyata secara tidak langsung bisa memberikan tambahan pemasukan ketimbang hanya mengandalkan kiriman dari neneknya yang tidak seberapa.

Selain berlembaga, dia pun mulai ikut-ikutan dunia aktivis termasuk aktivitas gerak 98 kala itu. Meski untuk wilayah kajian yang tengah genit-genitnya dilakukan teman-temannya tidak seberapa diikutinya.

“Saya ini tidak pintar, cuma bengal dan keras kepala. Kalau yang pintar dan hebat sudah ada teman-teman yang lain,” katanya beberapa kali.

Ya, hidup memang tidak serta berjalan lurus dengan segala keinginan dan ikhtiar. Meski demikian, Zolenk percaya, tidak akan ada penyesalan dalam setiap perjalanan dan gerak yang mengikuti kata hati.

Bagaimana dengan kalian?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!