CHAPTER 6: CIKAL BAKAL LAHIRNYA ISTILAH ABABEL ALIAS ANAK BANGKU BELAKANG
Ketimpangan rasa berada di kelas 1-1 dapat kuhibur selepas
jam pulang sekolah. Caranya dengan hadiah dari Papaku yaitu sebuah motor baru,
Suzuki Crystal, lengkap dengan SIM C (bahkan dengan SIM A sekaligus). Hebat
memang Papaku untuk urusan lobi lewat jalur belakang.
Meski untuk urusan ini, saat ini aku merasa kebijakan Papaku
kala itu tidak tepat. Membelikan motor untuk anak di usia belum cukup umur sama
saja dengan memberikan golden ticket ke
“rumah masa depan” alias kuburan.
“Kau mau beli motor atau Jeep Wilys saja? Kalau Papa pikir
mending kau beli Willys saja, meski mobil tua kau akan kelihatan lebih gaya.
Nanti bisa banyak cewek cantik yang mau sama kau,” kata Papaku awalnya.
Ya, sejak muda aku tahu kalau Papaku itu masuk kategori
playboy kelas wahid. Dia khatamlah jurus Dewa Buaya level tinggi. Sementara aku
anaknya kontras. Meski wajah kami sangat mirip, tapi kelakuan jauh beda. Aku
minderan, pemalu dan gak pedean.
“Motor saja, Pa,” kataku.
Lalu diajaklah aku ke dealer Suzuki Sinar Galesong yang ada
di jalan Rusa. “Ini motor yang paling top sekarang, cocok untuk anaknya Bapak, “
kata toke yang punya toko ke Papaku, sambil menunjuk Suzuki Crystal.
Harganya saat itu kalau tidak salah Rp2.250.000,- dan
dibayar tunai.
Maka dimulailah perjalananku bersama Crystal berwarna hitam,
yang bisa membawaku ke mana saja. Termasuk pada pergaulan baru dengan
teman-teman seusia di luar anak-anak SMA 2. Kadang aku main dengan anak SMA 11
atau SMA Balamboddong di Parangtambung. Kadang juga main di kompleks PU di jalan
Nuri dengan teman masa kecil namanya Jaya.
Dari Jaya, aku punya teman baru namanya Sukimin, anak
Jeneponto yang juga pakai Suzuki Crystal warna putih biru. Bersamanya aku pun
mulai suka touring ke Malino, dan kadang juga diajak ke kampungnya di Jeneponto
sambil menyantap coto kuda yang rasanya panas di badan.
Tapi aku lebih suka ke Malino. Di sana aku bisa tenang saat
menyapa deretan hutan pinus, atau bersahabat dengan suasana dingin yang cukup
menusuk tulang. Malino adalah oasis yang paling tepat untuk menghibur diri di
kala itu.
Di Malino pula, aku mulai melupakan duka perpisahan kedua
orang tuaku. Bersama Jaya dan Sukimin, aku sering melewatkan waktu bersama
termasuk untuk “minum” bareng, sambil merokok dan cemilan kacang.
Bersama Crystal hitam pula aku berteman dengan Appang,
seorang preman anak SMA 11 yang asli Bulukumba yang juga pengguna Suzuki
Crystal. Suatu saat aku pun diajak Appang touring ke kampungnya di Bulukumba.
Bahkan kami sempat trek-trekan di sana, hingga aku sempat nyusruk dan terbang
bersama Crystal masuk ke sawah. Alhasil kakiku sempat terkilir dan bengkak di
bagian kanan bawah.
Lumayan sakit, tapi kan preman, jadi malulah bahkan untuk
sekadar meringis sekalipun.
Bergaul dengan teman-teman baru bersama Suzuki Crystal,
membuatku mulai melupakan pergaulan dengan kawan-kawan di Kompleks Sosial. Aku bergaul
jauh, dan lebih jauh lagi di setiap keesokan harinya.
Tidak jarang pula kuhabiskan waktu sore di Pantai Losari,
sekadar menatap senja dan pergantian waktu menuju petang. Pacar? Sama sekali
tidak terpikirkan waktu itu. Iya, wajah cantik Citra dan Galuh terbayang di
benak, tapi aku gak punya cukup nyali untuk menyampaikannya. Bayangan keduanya
pun berlalu seiring waktu...
Kalau suntuk kubawa si Crystal ke Sudiang yang lokasinya
sekitar satu jam dari kota Makassar, tujuannya adalah sirkuit grass track. Parah, motor bebek dibawa
main grass track, tapi yang penting
hati senang. Saat hari mulai petang, aku pun pulang cukup jauh ke arah selatan
kota Makassar, ke rumah nenekku tempatku menetap selama masa SMA.
Seiring perjalanan waktu, aku pun mulai berdamai dengan
suasana kelas 1-1. Bahkan sempat membuat genk yang namanya Bolciz. Anggotanya
yah kami yang anak-anak masuk lewat “jendela”, kecuali Irwan anak jalan
Laiyya Pasar Sentral yang ogah
bergabung. Mungkin karena dia sudah beberapa kali aku tampol.
Lalu kemudian Irwan grinyol yang sebenarnya pintar tapi slengean juga ikutan gabung. Jadilah
kami sering jalan bareng. Anggotanya Askari, Cokel, Dadang, Irwan dan aku
sendiri. Di antara mereka berempat yang nyalinya paling gede adalah Cokel ,
anak jalan Malombassang deket Rumah Sakit Bayangkara.
Bersama Cokel, kami berdua nyaris berantem sama anak kelas
1-4 yang lokasinya persis di bawah kelas kami.
“Woi, awas kau semua. Saya mau meludah,” kata Cokel pada
anak kelas 1-4 yang lagi ngumpul di bawah.
Tidak dinyana, di kelas 1-4 juga ada beberapa berandal
bernyali besar di antaranya Acho Kacoa dan Adi Beo.
“Woi, tailaso (bahasa kotor anak Makassar). Yang sopan kau,”
kata Acho Kacoa, diiikuti tatapan tajam
Adi Beo sambil mengarahkan telunjuknya ke arah Cokel.
“Awas kau pulang nanti yah,” ancam Adi Beo.
“Anjing nih Cokel, gak bilang-bilang mau cari gara-gara,” kataku
dalam hati.
Jadilah sepulang sekolah, aku temani Cokel yang siap-siap
dihadang sama anak kelas 1-4 yang dipimpin Acho Kacoa dan Adi Beo. Untunglah
setelah sempat bersitegang, kami malah tutup pertikaian itu dengan pertemanan.
Sampai sekarang pun saya masih bersahabat baik dengan Acho Kacoa, walaupun dia
pengidola Habib Rizieq, sementara aku sama sekali gak suka.
Kalau Dadang sahabatku yang lain adalah role model style-ku selama di Makassar. Dia seperti Didik dan Agung
si Tommy Page di Jakarta. Dadang sangat memperhatikan penampilan dengan gaya British-nya. Darinyalah aku kenal Thom
Yorke dan Radio Head-nya, Blur, Oasis, The Verve, Counting Crows.
Dadang adalah pemburu baju “cakar” sejati. Kalau urusan style, wuih, doi salah satu standar
model yang paling happening-lah untuk
kota Makassar di eranya. Saingan Dadang yah sahabatku yang lain, Askari, yang
tinggi dan ganteng, tapi semut pun jarang dengar dia bicara.
Di antara mereka, saya paling akrab dengan Askar, khususnya
kalau urusan touring ke Malino hampir setiap akhir pekan. Di kelas 3 SMA, Askar
makin gaya seiring naiknya kondisi ekonomi Bapaknya. Dia pakai RGR dan kadang
juga Kijang Super. Pakaiannya pun semakin stylish,
dan banyak banget cewek cantik yang naksir tapi disambutnya dengan dingin. Ya,
Askar paling keren dan gantenglah di antara kami anggota genk Bolciz, sementara
aku seperti biasalah, yang paling jelek.
Cokel meski rambutnya grinyol alias griting menyolok sukses
menaklukkan hati banyak cewek, termasuk bule yang ikutan program AFS atau
pertukaran pelajar di SMA 2. Meski demikian, aku merasa pemimpinnya geng Bolciz
adalah diriku. Pasalnya untuk urusan berkelahi, jumlah rekor Cokel masih
kalahlah.
Aku pulalah yang paling sering menyatukan kami berempat di
rumah, kadang aku pula yang samperin rumah mereka satu per satu.
Pada akhirnya anggota inti geng Bolciz ini ada empat orang;
Cokel, Dadang, Askar, dan aku sendiri. Di waktu aku kerap mengasosiakan kami
sebagai “Mobster” yaitu sebuah film yang dirilis tahun 1991 dan menceritakan tentang
perjalanan empat anak muda “bad boys”;
Lucky Luciano, Meyer Lansky, Bugsy Siegel dan Frank Costello.
Aku sendiri mengasosiasikan diri sebagai Bugsy Siegel yang
paling berangasan di antara para anggota geng itu.
Persahabatan di antara anggota Bolciz ini pulalah yang
kemudian menjadi cikal bakal lahirnya istilah “Ababel” alias Anak Bangku
Belakang. Ya, sesuai posisi duduk kami di kelas 1-1, di bangku belakang.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar