CHAPTER 16: BELAJAR MAKNA HIDUP DARI ALMARHUM ADI



Pernahkah kalian dekat dengan seorang kawan yang (ternyata) lebih liar dalam menutupi kegelisahan hidup? Zolenk pernah, setidaknya sekali...

“Mengenang awal perkenalan dengan sahabat itu seperti menembangkan lirik lagu “Koepoe Liarkoe” dari Slank, tapi bedanya ini untuk seorang kawan baik yang jenis kelaminnya laki-laki,” gumam Slank.

Di pertengahan 1990an, anak-anak nongkrong tanah air tentu familiar dengan sosok Mike Kasem, dan kawan baru Zolenk yang dikenalnya di kapal Pelni itu mirip banget dengan sosok presenter MTV Channel itu.

“Halo, bro. Nama saya Adi,” katanya dengan ekspresi yang ceria.

Meski berparas keren a la Mike Kasem, kawan baru Zolenk ini nampak slengean dengan kemeja gunung yang khas. Ia kemudian menjadi kawan kos pertama Zolenk, setidaknya selama beberapa bulan.

“Kalau mau kos mending sama saya saja, bro. Kita patungan saja, daripada cari-cari lagi,” katanya lagi.

Ya, Zolenk memang tengah mencari kosan saat itu. Sikap keras kepalanya yang semakin menjadi-jadi membuatnya tidak betah tinggal di rumah tantenya, adik dari Papanya. “Pokoknya harus keluar dan kos sendiri,” tekad Zolenk.

Singkat cerita Zolenk pun memutuskan mengambil langkah numpang kos di kamar Adi di jalan Perintis VI. Sebuah pengalaman baru yang membuatnya takjub, jika ternyata ada anak yang lebih liar dari dirinya. Dan ternyata si Adi juga hobi “minum”.

Jika lagi ada duit, mereka minum yang agak mahalan, tapi jika lagi bokek segala minuman kelas menjijikkan seperti Anggur Merah yang kerap diminum daeng-daeng tukang becak pun diembat. Bahkan yang lebih berbahaya lagi, si Adi mengajak nenggak alkohol murni yang dicampur jeruk nipis dan adem sari.

“Enak gak, bro?” kata Adi.

“Ancur, bro,” kata Zolenk.

Intensitas mabok Adi berlangsung hampir setiap hari, cara makannya pun parah cenderung jorok. Kadang dia masak sayuran atau indomie yang airnya diambil dari air bak di kamar mandi kosan.

“Wuih, gak sehat tuh, bro,” kata Zolenk mengingatkan.

“Ini namanya survival, bro. Yang penting enak dan bisa dimakan,” timpal Adi.

Demikian pula dengan caranya berpakaian. Kadang Adi dengan santai memakai pakaian Zolenk, termasuk pakaian dalam. “Hmm, jorok banget nih kawan sekamar satu ini,” gumam Zolenk sambil membayangkan tokoh Mark Renton di Trainspotting, khususnya pas adegan khayal dia muntah di closet lalu nyempung di dalamnya.

Sikap dan gaya Adi yang semakin irasional kemudian mendorong Zolenk untuk ambil kamar kosan lain. Sebuah kamar yang relatif sederhana dibanding kamar Adi, dan letak bangunannya tepat di samping letak bangunan tempat kos-kosan Adi. Mereka tidak lantas bermusuhan dan tetap berteman baik, hanya saja Zolenk butuh privasi yang bisa membuatnya lebih tenang.

Ya, berada di Tamalanrea KM. 10 adalah sebuah fase awal dimana dia merasa benar-benar sendiri, tidak lagi menjadi preman picisan di ujung utara kota Makassar. Perkawanan dengan Adi juga menyentak jiwanya, jika ada batas yang tidak bisa sepenuhnya dimasuki lebih dalam dari dunia permabukan. Ya, Zolenk tetap mabuk-mabukan bahkan lebih parah setelah itu, tapi di dalam dirinya mulai muncul kesadaran jika harus ada titik henti dari kegilaan ini sebelum malaikat pencabut nyawa datang mengetuk pintu kamar.

Selepas pisah kamar dari Adi, mereka tetap berkawan baik dalam waktu yang ada. Kadang tetap berbagi makanan bareng, dan bahkan sempat buat usaha sablonan bareng meski tidak pernah sampai profit. Hanya terpaku sebatas trial alias percobaan.

Adi sendiri masih larut dalam kehidupan yang tidak sehat baik dalam pola dan frekuensi makan, plus semakin parah soal mabuk-mabukan. Zolenk sendiri mulai membatasi.

“Kau sudah berhenti minum?” tanya Adi ke Zolenk.

“Bukan, saya lagi asyik-asyiknya cari duit dari kiu-kiu, bro. Itulah saya harus lebih sehat biar kuat mainnya,” kata Zolenk. Adi pun sesekali turut merasakan hasil kemenangan Zolenk hasil bermain judi dengan kartu domino itu. 

Selepas pisah kosan dari Zolenk, kondisi fisik Adi semakin parah terlebih dengan aktivitas barunya sebagai anak pecinta alam di sebuah organisasi mahasiswa di level kampus. Zolenk pun semakin merasa ada yang salah dari kawan baiknya itu.

“Ini anak kayaknya lagi melarikan diri dari sesuatu, entah apa. Sikapnya yang riang dan berusaha nampak gesit lebih kepada upaya menutupi jika ada yang membuatnya resah, tidak tenang dan gelisah menjalani hidup,” gumam Zolenk.

Urusan pribadi Adi memang sangat tertutup. Zolenk hanya tahu jika orang tuanya yang asli Sumatera Barat menetap di Jakarta, tapi tidak tahu dimana, ia tidak pernah menceritakan pada siapapun secara lebih terbuka selama di Makassar.

Suatu ketika, fisik Adi akhirnya jatuh. Dia terkena penyakit kuning, bahkan mukanya pun kuning. “Di, lu tuh sakit. Mending masuk rumah sakit,” tegur Zolenk.

“Gak papa, saya hanya butuh sedikit istirahat,” katanya.

“Hmm, anak ini kepala dan hatinya lebih keras dari punyaku,” gumam Zolenk.

Sejak hubungan keduanya sedikit tersekat, apalagi Ramadhan saat itu sebentar lagi menjelang. Zolenk ingin menjalankan kewajiban religi dengan lebih baik di tengah pergumulan dosa-dosanya.

Suatu waktu satu – dua hari jelang momen pergantian tahun, Adi datang ke kamar Zolenk. “Lu ada duit gak, bro? Gw pengen nelpon bonyok di Jakarta,” katanya.

“Ada, sob. Nih,” kata Zolenk sambil menyerahkan sedikit uang. “Mudah-mudahan cukup yah.”

Adi pun tidak lama di situ, dia lantas pergi berjalan kaki menuju wartel yang lokasinya tepat di seberang pintu 1 kampus berlambang ayam jago itu. Dan tidak dinyana, itu adalah momen pertemuan terakhir dengan Adi.

Selepas adzan Magrib pertanda berakhirnya masa shaum sekitar dua hari setelah momen pergantian tahun, Zolenk masih berada di kamar kosnya menyantap hidangan buka puasa ayam nasu likku kiriman neneknya yang saat itu menetap di Sengkang. Tiba-tiba terdengar teriakan Manyuk dari depan kosan, “Woi, Zolenk, buruan lu. Adi meninggal!”

Zolenk pun bergegas menyelesaikan santapannya dan berlari ke kosan sebelah. Di sana tepat di depan kamar Adi sudah ramai orang. Kamar Adi ternyata pintunya masih terkunci, tapi sebagian jendelanya sudah dipecahkan. Pintu langsung didobrak, dan Zolenk melihat sahabatnya itu sudah terkapar di lantai dengan darah yang keluar dari hidungnya.

Dia diduga sudah sekitar dua hari meninggal dunia atau berarti tidak lama setelah dia menelpon keluarganya di Jakarta.

“Innalillahi wainna ilaihi rojiun,” gumam Zolenk lirih. Ia sedih sekaligus terpana, “Bagaimana nasib jasad  Adi akan dimakamkan? Dia kan gak punya keluarga di sini,” gumannya lebih lanjut.

“Kau punya nomor telepon keluarganya gak?” kata beberapa teman kosannya.

“Saya ndak punya, tapi dua hari lalu dia sempat minta uang untuk menelpon orang tuanya di wartel di depan kampus. Coba deh ke sana, siapa tahu masih ada datanya,” kata Zolenk lemas.

Maka setelah kolekan, beberapa teman pun bergegas ke wartel pintu 1 mencari data nomor telepon keluarga Adi. Syukurnya setelah mencoba menelpon cukup banyak nomor telepon ke Jakarta di kurun waktu yang Zolenk disebutkan, didapatkanlah nomor telepon keluarganya di Jakarta. Dan itupun bukan nomor orang tuanya langsung.

“Ayah dan ibunya akan datang beberapa hari lagi. Mereka minta anaknya dimakamkan secara layak saja lebih dahulu,” kata seorang teman.

Maka keesokan harinya, untuk pertama kali dalam hidup Zolenk turun ke galian tanah makam, mengantarkan kawan baiknya itu ke dalam tempat peristirahatan terakhir di bumi manusia.

Sekuat-kuatnya Zolenk, ia pun menangis terseduh saat memakamkan jasad almarhum Adi. Ia pun belajar jika hidup memang harus berbagi dan lebih tertata. “Selamat jalan, sahabat. Semoga Allah SWT memberikan dirimu tempat terbaik di sisiNya, aaaamiiiin.”

Saat kembali ke Jakarta menengok Mamanya, Zolenk pun mendapati penyakit yang sama dengan Adi meski dengan skala awal. “Ini anak harus lebih banyak istirahat dan tidak boleh capek. Levernya sudah kena,” kata dokter memberikan penjelasan ke Mamanya Zolenk.

Setibanya kembali ke Makassar, ke kosan di jalan Perintis 6, ia langsung mengecet kamarnya dengan warna cat biru tanpa beristirahat dulu. Perkenalannya pada “PTW” dari adik sepupu di Jakarta membawanya ke dalam pengalaman baru yang lebih gelap di Makassar, as drug’s user untuk jangka waktu yang cukup panjang hingga empat tahun ke depan.

(Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!