CHAPTER 22: ARTI SEBUAH KAMAR DI ERA 90AN
Kuasa kita sendirilah yang bisa membuat kehidupan di bumi
manusia menjadi laksana orkestra yang berkelas, meski realitasnya sering kali
tidak pernah semegah narasi film-film kategori Oscar.
Beruntunglah semasa tumbuh menjadi remaja, Zolenk sudah
mengenal erat Whitney Houston dari masa masih di era seragam putih celana
pendek biru, ia sudah sangat dekat dengan single
“I Wanna Dance with Somebody” (1987) ataupun OST The Bodyguard (1992) “I Will Always Love You”.
“Saya mulai mendengar I
Wanna Dance with Somebody setahun setelahnya di tahun 1988, dan masih dari model
kaset mix atau kompilasi dengan musisi lainnya. Whitney juga mungkin perempuan
pertama yang mengenalkan saya pada hidup itu bisa indah laksana orkestra yang
megah. Dia pulalah mungkin yang bisa membuatku bisa merasakan damai selain
mendengarkan ceramah Kosim Nurseha,” kata Zolenk.
Di meja belajar di kamarnya yang ada di
lantai dua di ujung selatan Cendrawasih tidak banyak buku pelajaran yang bisa
ditemui, minim sekali bahkan. Lebih banyak koleksi kaset, kalaupun banyak
bacaan yang pasti bukan buku pelajaran.
“Paling kalau bacaan yang ada koleksi Lima Sekawan, Trio
Detektif, kisah silat Panji Wungu dan Wiro Sableng, Chinmi versi Kungfu Boy
hingga Breakshot, koleksi Lupus lengkap, majalah Anita Cemerlang yang menjadi
tempatku terinspirasi untuk belajar menulis kemudian hari, Lucky Luke, koleksi
majalah Kawanku, komik cergam Tiger Wong, komik cergam Tapak Sakti, komik
cergam Pukulan Geledek,” imbuhnya.
Nah, kalau kaset
itu cukup banyak ada GNR Use Your Illusion 1 dan 2, Slank Suit Suit Hehe (1990),
Slank Kampungan (1991), Slank Piss (1993), beberapa kaset lawak Jayakarta Group,
Dewa 19 (1992), Dewa 19 Format Masa Depan (1994), Dewa 19 Terbaik Terbaik
(1995), Kla (1989), Kla “Kedua” (1990), Kla Project Pasir Putih (1992), Michael
Bolton: Time, Love & Tenderness (1991), Alanis Moristte: Jagged Little Pill
(1991), Ugly Kid Joe: As Ugly As I Wanna Be (1991), Nirvana: Nevermind (1991),
Counting Crows: August and Everything After (1993), Skid Row (1989), Oasis: (What’s
The Story) Morning Glory (1995), dan masih ada lagi beberapa lagi yang lainnya.
Tempat kasetnya itu ada di bagian samping kanan atas lemari
pakaian dan ada dua tingkat di situ. Masing-masing tingkat itu bisa ada empat
susunan koleksi kaset untuk membayangkan jika koleksi kasetnya memang sangat
banyak kala itu.
“Kalau gak salah
dulu itu nama tokonya Duta Irama di jalan Lagaligo Makassar, suka mampir beli
kaset di sana kalau lagi ada duit pas SMA baik masih pas zaman masih pakai
(Suzuki) Crystal atau setelahnya pas sudah pakai (Suzuki) RGR. Biasanya dapat
hadiah poster juga kalau beli di sana karena mungkin dianggap langganan.
Lumayan buat tambah-tambah poster di kamar,” kata Zolenk.
Di kamar legendaris yang kira-kira ukuran 2,5 x 3 meter di
lantai 2 itulah Zolenk banyak menghabiskan waktu, dan yang pasti juga di
kamarnya pasti minimal ada satu satu rim kertas putih dan bahkan lebih. Papanya
selalu membelikan, karena dia memang hobi gambar sejak kecil meski yang
digambar umumnya rata-rata laki-laki yang berotot dan tengah berkelahi.
Hasil gambarnya itu ditempel di tembok kamar bersama
poster-poster group band favoritnya, ada juga poster Tiger Wong, poster Kevin
Schwantz, serta coret-coretan dari teman-temannya yang pernah mampir dan
menginap. “Saya tidak pernah suka dan mengidolakan Mick Doohan, kalau Wayne
Rainey bolehlah. Saat itu juga lebih suka Alain Prost ketimbang Ayrton Senna,” katanya.
Di kamar itu ada kasur single
bed, ada karpet warna coklat yang kayanya tidak pernah dicuci, satu lemari
belajar dari jati, lemari pakaian jati dua pintu, meja kecil untuk tape decknya
lengkap dengan dua speaker kecil, dua asbak karena saat itu merokoknya kuat
banget rata-rata dua bungkus sehari.
Ada juga koleksi mainan orang-orang yang dikoleksi sejak SD;
ada tentara-tentaraan, ninja, cowboy dan suku indian. Orang-orang ini adalah
salah satu penyembuh laranya dalam waktu yang cukup lama. Bisa berjam-jam dia
tenggelam dalam imajinasinya dan berkomunikasi sendiri saat memainkan
orang-orangannya itu, sudah persis orang gilalah pokoknya. Murdock The A Team
saja mungkin akan agak sungkan kalau bisa bertemu Zolenk.
“Ya, ada perasaan damai dan bisa membuatku melupakan
persoalan hidup kalau memainkan mereka,” kata Zolenk. Hingga kini mainan-mainan
itu masih ada, tapi sebagian sudah dihilangkan oleh anak-anaknya.
Kalau bosan di kamar bersegeralah dia mengambil kunci
motornya. “Kadang kalau di dalam kota paling menyusuri sepanjang jalan Pantai
Losari, lalu ke bagian utara kota sampai jalan Tentara Pelajar, muter
Panakkukang, masuk Andi Tonro, belok lagi ke kanan ke arah Pasar
Pakbaeng-Baeng, masuk Andi Tonro lagi, ke jalan Veteran mampir ke rumah Dadank,
terus pulang. Kebanyakan paling begitu,” kata Zolenk.
Jika bosan di dalam kota, rute paling umum adalah main grass track di Sudiang atau ke Malino
balap-balapan di hutan Pinus yang legendaris terus balik lagi ke Makassar.
“Kalau nonton, kalau lagi ada duit yah Di Makassar Theater
atau 21, tapi kalau lagi gak ada duit yah ke Mall Studio atau ke Artis. Kalau
lagi pengen nonton yang seksi-seksi artis panas Indonesia yah di Paramount atau
bioskop Jaya,” kata Zolenk.
Ya, Makassar saat itu yang dikenalnya yah hanya sebatas itu.
Makanya kamar di lantai dua itu laksana kerajaan kecil untuknya, apalagi
orang-orang di rumah tidak peduli kalau banyak temannya yang mampir dan nginap
di kamarnya. Sayangnya laki semua, satu-satunya cewek yang pernah masuk yah
cuma Vivi, satu-satunya cewek yang pernah dia pacari semasa SMA.
Kamar itu menjadi tempat pertama dan satu-satunya dimana Zolenk
merasa aman sejak kecil hingga masa SMA. Di pertengahan 1990an akhirnya ia
kehilangan satu-satunya ruang dimana dia bisa merasai damai. Neneknya mengalami
kebangkrutan dan menjual rumah bersejarah itu, tempat dimana satu-satunya
dimana dia bisa merasakan jika lebaran itu adalah suasana damai yang indah,
karena sejak selepas itu tidak ada lagi kamar kedamaian lagi untuknya. Barulah
setelah menikah dan beranakpinak, kebahagiaan itu kembali.
“Sejak saat itu jalanan adalah sahabat terbaik untuk melanjutkan
hidup. Meski ada di jalanan, lagu-lagu dari Whitney Houston di soundtrack The
Bodyguard, I Will Always Love You dan
I Have Nothing masih bisa tetap
terdengar di walkman dan membuat
kenangan akan kamar itu tidak akan terlupakan sampai kapanpun,” kata Zolenk.
Ya, kamar itu dalam waktu yang cukup lama sesungguhnya adalah
bentuk cinta sejatinya, tempat Zolenk tidak butuh orang lain di dalam hidup, apalagi
yang namanya saudara atau keluarga sedarah. Mengingat mereka hanyalah
mencipta amarah dan gemuruh di isi dada dan kepalanya.
“Di kamar itu, saya belajar jika sahabat-sahabat yang kita
temui di jalan itu seringkali lebih baik memperlakukan kita. Tidak ada
kesombongan, kami bisa lepas berbagi cerita dan tawa. Kamar itu memang pengap dengan bau rokok dan terkadang juga menjadi tempat perputaran
gelas alkohol sebagai bentuk perayaan lengkapnya setiap kesenangan harian.
Kamar itu sudah teramat baik selama saya berada di sana,” kata Zolenk.
Seiring rumah neneknya itu terjual sebagian besar koleksi
bersejarahnya pun turut lenyap. “Koleksi kaset dan bacaan-bacaan hilang. Sebenarnya
sayang, tapi saya juga bingung harus membawanya ke mana, karena sejak itu kamar
tidak ada lagi. Dari sanalah masa paling kelam dimulai, di jalanan yang
memaksaku harus berkelahi lebih banyak lagi dan tidak pernah penting lagi kemudian apakah harus menang ataupun
kalah terpukul oleh lawan yang paling pengecut sekalipun,” pungkasnya.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar