CHAPTER 1: PUAS DIBULLY (PERJALANAN AWAL MENJADI PETARUNG)



Duduklah, nak. Biar kuceritakan betapa pentingnya rasa percaya diri dalam menjalani hidup. Di akhir tahun 1980an, saat jalanan ibukota sepanjang Blok M - Kota masih ada bus puyuh legendaris nomor 70, kota ini bukanlah kota yang ramah buat ayah kalian, aku.

Kukatakan satu hal, "Untuk membuat dunia ramah padamu, melawanlah sekuatnya dan sepercaya diri sebesar-besarnya jika saatnya tiba, karena hanya dengan menjadi petarung dan menghadapi segala konsekuensinya maka penghargaan itu ada, setidaknya untuk dirimu sendiri."

Ini adalah catatan penting di dalam periode ini yang tidak diajarkan oleh siapa pun, kecuali dari pengalaman hidup...

Nyaris tidak dialog dalam periode ini, bahkan pada diri sendiri pun bisikan jarang sekali terdengar. Aku memang di sana tapi tidak sepenuhnya ada, aku jadi sansak buat memuaskan emosi orang-orang di sekitar.

Suasana pagi di SMP 181 Jakarta Pusat sangat cerah, banyak pohon-pohon besar dan teduh di sana. Gedung sekolahnya pun bagus, dan aku hanya tertegun di depan sekolah tingkat tiga itu.

Ya, itu hari pertama menginjakkan kaki di sekolah baru di semester kedua di akhir tahun 1980an, dan saat itu aku belum tahu jika laki-laki asal Bugis Makassar harus berani dan berkelahi, aku belum tahu.

Dan sambutan pertama adalah disiram pakai air pel oleh seorang siswa anak Irian, dan aku tidak melawan. "Apa lu anak baru? Mau melawan, katanya anak Makassar, ayok berantem," katanya. Mataku hanya menatap tajam. Ya, meski SD beberapa kali berkelahi, tapi saat itu aku belum menjadikannya sebagai hobi.

Setelah itu, aku semakin tidak percaya diri. Dan seingatku waktu itu, rasa itu memang tidak pernah ada, malah semakin buruk setelah nenek kalian meninggalkan kakekmu di usiaku 10 tahun. Ya, sepanjang bersama keduanya memang tidak  pernah akur dan ribut melulu.

Di saat itu, aku merasa hanya lebih beruntung dibanding kisah tragis Ari Hanggara. Ya, aku bisa tetap hidup. Oh iya, aku juga lebih beruntung dibanding kisah Putri Giok yang harus digunduli waktu itu. Kala itu rambutku justru lumayan panjang dengan scraf di ikat kepala sambil membayangkan sosok tokoh polisi penyamar saat itu, Tom Hanson.

Selepas sambutan bully di hari pertama, waktu tetap berjalan meski tetap tidak menyenangkan. Hanya sekadar menjalani hari.

Ya, nenek kalian memang meleskan aku untuk latihan bela diri di kawasan Bendungan Hilir dan sekolah bola di lapangan Mabak dan PTIK di sekitar kawasan Blok M. Tapi tetap saja ada yang kurang yaitu tidak adanya percaya diri dan parahnya lagi tidak ada tempat untuk bercerita.

Tuhan pun belum jadi "Sahabat", dan shalat serta ngaji baru sebatas menjalankan kewajiban.  

Di saat di SMP ini pula, pertama kali dan sekali seumur hidup, ada guru yang melemparkan penghapus tepat ke mukaku dan membuat belepotan bekas kapur di wajah. Rasanya ingin melawan balik saat itu, tapi keberanian belum ada, hanya rasa gregetan dalam hati.

Selepas dibully kawan sekolah yang anak Mess Irian di Tanah Abang dan pak guru kelakuan bangsat itu, berikutnya giliran di-bully sama anak-anak Betawi yang tinggal di kawasan Karet Tengsin.

Nah, yang ini cukup lama nge-bullynya. Sempat pula dikeroyok. Hadeuh bangetlah pokoknya masa itu, meski ada beberapa di antaranya akhirnya jadi teman. Cukup lamalah di-bully sama anak-anak Betawi ini, adalah hitungan bulan.

Setelah dua sambutan yang kurang mengenakkan itu, aku mulai bisa menikmati sinar pagi di kota Jakarta meski tetap belum tahu apa itu kata "bahagia" dan artinya. Pasalnya di sepanjang perjalanan menuju tempat latihan bola naik bus 70 ke Blok M seorang diri, aku teramat sering mendengar lagunya om Chrisye "Pergilah kasih".

Mana di rumah kontrakan, nenekmu sering banget denger lagu-lagu bertema sedih dari para biduan perempuan wanita Indonesia saat itu, sayang aku lupa nama para biduannya.

Pendeknya, akhir 1980an adalah kelanjutan dari awal kisah kelam dari pertengahan 1980an, gelap dan awan mendung adalah tema soundtrack jalan kehidupan saat itu.

Suatu ketika di zaman di Blok M masih ada diskotik Lipstik dan Happy Day di awal 1990an, sambutannya pun kurang ramah.

Setidaknya periode bully kembali berlanjut. Ceritanya pas main roller skate di Lipstik, ada anak muda tolol yang jatuh karena nabrak kakiku, eh, dia malah merasa dijatuhin dan manggil teman-temannya.

Alhasil kembalilah aku dikeroyok. Kalau bisa mengutip kata-kata Pak Ogah dan Pak Able saat itu, "Yah, nasib."

Puncaknya adalah ketika perpisahan sekolah di Cibodas gak ada angin gak ada hujan, aku kembali dikeroyok sama anak Kebun Melati Tanah Abang. "Woi, preman juga bukan gw. Kenapa gw yang dipukul," kataku dalam hati mulai berteriak.

Sambutan ibukota yang mencengangkan saat itu membuatku belajar satu hal, "Laki-laki harus berkelahi, dan untuk itu aku harus balik ke Makassar belajar berkelahi di sana. Kalau perlu mati di sana gak papa, toh, di kampung halaman sendiri.

Dan itulah periode dibully selama tiga tahun di masa seragam putih biru. Meski kemudian, aku diterima di SMA 35 Jakarta Pusat, tekad sudah bulat, "Balik ke Makassar. I promise my self, I will fight there."

Ya, aku harus berhenti menjadi sansak hidup. (Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!