CHAPTER 212: CELOTEH TENTANG KEBODOHAN

sumber foto: bandannabooks.com

 “In politics, stupidity is not a handicap.” (Napolèon Bonaparte)



 sumber foto: bandannabooks.com

Akhir-akhir ini semakin banyak warga negeri yang mempermasalahkan soal kebodohan dengan cara yang bodoh. Seorang biduan dangdut dipermasalahkan karena menunjukkan kebodohannya yang tidak hapal simbol negara. Unik, karena beberapa waktu lalu seorang menteri juga tidak hapal lagu kebangsaan tapi aman dari masalah tuntutan. Ia “hanya” di-bully di sosial media.

Lain waktu dan lain ruang, seorang musisi legendaris yang pongah mulai menunjukkan rasa kekecewaannya karena nampaknya tidak jadi dicalonkan jadi pemimpin sebuah wilayah. Padahal doi sudah banyak koar-koar di ruang publik. Kalau mau melihat ke belakang, sang musisi itu memang lebih bodoh dari mantan bininya yang mengenyam status sebagai sarjana di sebuah perguruan tinggi negeri ternama.

Ia menunjukkan kelasnya untuk lebih pas sebagai presenter dialog pergunjingan selebriti di stasiun tivi, dan bermesra dengan bini baru yang paling seksi.

Lompat ke waktu dan ruang yang lain, pemimpin sebuah kota diusik dengan permasalahan karena memberi pelajaran pada seorang sopir tembak. Sang pemimpin pun bereaksi dengan tudingan kekerasan yang diarahkan padanya.

Negeri ini pun semakin riuh dengan pertunjukan kebodohan di ruang publik.

Di ruang lain dan waktu yang lain, saya juga jadi ingat biasa diingatkan sama beberapa kenalan, “Persoalannya tidak sesederhana itu.”

“Oh, ya?” tukasku selalu menjawab. Wah, kalau yang ini mungkin menunjukkan kebodohanku sendiri.

Saya cuma berpikir konsep penyelesaian masalah adalah berusaha mencari atau menemukan akarnya. Sesederhana itu.

Sang biduan dangdut itu mestinya tidak bisa disalahkan. Secara latar belakang pendidikan, kemampuan intelegensi, nalar dan empati, memang dia tidak terlatih dengan hal itu (baca: kecerdasan).

Sang biduan punya kelebihan pada suara, kecantikan dan kemolekan tubuhnya, sebatas itu. Dia masuk ke dalam sistem yang telah dikemas. Jadi membebankan masalah tersebut hanya diri sang biduan, sama saja dengan mentertawakan kebodohan yang mempermasalahkannya. Biduan itu hanya satu ornamen dalam sistem siaran tersebut.

Tentang sang musisi pongah, dulu saya termasuk pengagumnya. Tapi semakin ke sini semakin kelihatan yang ada hanya tinggal pongahnya. Dia merasa paling hebat, jadi lupa dia tidak punya rekam jejak yang baik sebagai pemimpin. Hanya ilusi di siang hari, ingin memimpin wilayah paling heterogen dengan jumlah penduduk tercerdas yang (mungkin) paling banyak dibanding wilayah lain di negeri ini.

Uniknya dia seperti belum menyadari kebodohannya.

Mengenai sopir angkot itu bisa jadi “kendaraan menembak” bagi lawan-lawan politik sang pemimpin wilayah, apalagi tahun depan akan ada pemilihan pemimpin wilayah yang lebih besar.

Akar masalahnya kan jelas, sang sopir melakukan penyimpangan peraturan. Dia pun menyadari hal tersebut dan mengaku telah melakukan penyimpangan selama bertahun-tahun. Uniknya, sang sopir bisa sewa pengacara. Di sini, saya kembali melihat kebodohan saya sendiri yang belum mampu menyewa pengacara dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup yang saya hadapi. Saya kalah dari sopir angkot.

Saya hanya berpikir yang namanya penyimpangan tentu tidak benar, apalagi kalau dilakukan dengan sadar. Sama halnya dengan LGBT yang jelas-jelas merupakan sikap penyimpangan seksual.

Buat saya, mempermasalahkan dan membesarkan hal-hal yang bodoh justru menunjukkan kebodohan kita…

Saya jadi teringat kata-kata seorang sahabat dekat yang sudah almarhum. Dulu beliau bercerita pada saya saat masih kuliah, “Dulu saya pernah ketemu dan berbincang dengan seorang pemimpin gerakan separatis. Dia bilang ke rakyatnya jika ingin merdeka, kuncinya sekolah.”

Mungkin kalau bisa saya sederhanakan, “Kuncinya tetap belajar, buka mata, tetap rendah hati dan tentu saja selalu berdoa.”

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!