CHAPTER 198: HIKMAH MUDIK LEBARAN

 Blog_lebaran 

Bersama mertua dan adik - adik ipar di Ciamis

Semestinya setiap warna patut mendapat apresiasi, sepanjang tidak mengibiri warna lainnya dan tidak membahayakan jiwa - jiwa yang ada.

Minggu, 4 Agustus 2013

Hari itu sekitar empat hari menjelang perayaan Idul Fitri 1434 Hijriah yang jatuh pada 8 Agustus 2013. Dalam skala besar, penduduk Jakarta dan sekitarnya mulai meninggalkan wilayah ibukota Indonesia. Sebenarnya, antusiasme mereka sudah terjadi sejak hari Kamis, 1 Agustus 2013.

Bandara Soekarno Hatta disebut tidak ada bedanya dengan suasana terminal bus, karena disesaki penumpang. Pelabuhan Merak diramaikan dengan antrean berkilometer kendaraan, agar dapat menyeberang ke pelabuhan Bakauheni, Lampung. Jalur utara Jawa (non tol) diramaikan antrean kendaraan roda dua. Sementara jalur khusus kendaraan roda empat, baik jalur utara dan selatan, mulai dilaporkan padat di berbagai media tivi.

Di rumahku yang berada di sebelah selatan Jakarta masih subuh, matahari belumlah nampak. Namun yang jelas aktivitas di dalamnya sudah berjalan. Ya, aku, istriku, putri sulung Oka (5 tahun), putra gantengku Rasy (2 tahun), dan si bungsu yang gagah Keanu (3 bulan) juga telah bersiap.

Ada tiga alasan setidaknya kenapa aku mau menempuh perjalanan ke Ciamis, dengan jarak sekitar 250 km dari Jakarta. Saat normal dengan kecepatan sedang (maks. 100 km/jam), biasanya kami bisa tiba dalam waktu 6,5 jam. Itu pun sudah termasuk waktu makan dan isi bensin. Namun saat momen mudik ini bisa mencapai dua kali lipat. Saya, istri dan putriku Oka pernah menempuh perjalanan 14 jam untuk tiba di Ciamis.

Berikut tiga alasanku akhirnya memutuskan memberanikan diri untuk mudik dan siap bermacet ria, yakni pembantu libur seminggu, masa libur kantor lumayan panjang, serta memenuhi keinginan istri tercinta lebaran di kampung halamannya.

Pukul tujuh pagi, kami pun meninggalkan graha mungil, tempat dimana kami berlima berbagi tempat tidur nomer satu di sebuah kamar.

Petualangan pun dimulai di atas sebuah kendaraan low MPV dari Nissan. Berbeda dari biasanya dimana kendaraan kami menggunakan BBM non subsidi Shell Super 92, kali ini diisi dengan Shell V-Power 95 yang kabarnya mampu meminimalisir gesekan pada mesin. Jadi walaupun pengeluaran biaya BBM sedikit lebih tinggi tidak menjadi masalah, mengingat mesin akan bekerja lebih ekstra dalam perjalanan mudik kali ini.

Setelah perjalanan sekitar 3,5 jam yang lancar, kami tiba di gerbang pintu tol Cileunyi. Dan Tuhan ternyata begitu baik, karena sejauh ini tidak ada antrian kemacetan kendaraan, sebagaimana laporan di beberapa media tivi. Pun demikian saat melintasi kawasan Rancaekek, lancar.

Baru selepas itu, momok yang dinanti pun datang. Kemacetan, antrean kendaraan dan kebijakan buka tutup jalur dari pihak kepolisian mulai terasa di pertigaan Nagreg, di beberapa titik jalur tikungan perbukitan setelahnya. Beruntung kendaraan yang kami kendarai memiliki suhu pendingin udara cukup baik, serta bertransmisi otomatis. Alhasil anak - anak bisa tetap nyaman, dan aku sendiri dapat tetap berpuasa Ramadhan di hari itu.

Uniknya di dua titik langgangan kemacetan lain, Malangbong dan Ciawi, justru kendaraan dapat bergerak lancar. Sayangnya beberapa titik kemacetan baru timbul, bahkan menjelang masuk Ciamis. Praktis hampir 12 jam baru kami dapat tiba di kampung halaman dari perempuan yang telah melahirkan empat anakku.

Sepanjang perjalanan itu, aku sempat melepas sepatu dan berganti menggunakan sendal jepit, agar pori - pori di kakiku lebih segar bekerja di antara kemacetan arus mudik. Meski berpuasa, fokus kesadaranku juga dituntut ekstra dalam mengemudi. Pasalnya kecuali aku, tidak ada penumpang lain di kabin yang dapat duduk tenang dengan menggunakan sabuk pengaman. Sebaiknya tindakanku ini jangan ditiru, mengingat perjalanan mudik lebih rawan kecelakaan lalu lintas.

Dari sisiku sendiri, berkendara dengan anak - anakku telah menganjarkan sebuah nilai baru dalam berkendara, yakni kesabaran. Bersama mereka, pedal gas adalah bagai ayunan dawai biola. Meski digesek pelan, namun tidak kehilangan makna.

Mobil pun berubah bak ibarat bunga putri malu, dan aku bertugas menjaganya sebaik mungkin agar tidak ada yang menyetuhnya sedikitpun.

Bunda, Arasy, Nek uyut Echin dan Oka Andjani 
Bunda, Arasy, Nek uyut Echin dan Oka Andjani

Sesampainya di Ciamis, aku turut senang melihat anak - anak disambut hangat oleh keluarga bundanya, nenek uyut Echin, kakek Dadang, nenek Ida, tante Ochi dan om Hedi, om Lulu, tante Lusi, sepupu Adam dan Alta, dan beberapa keluarga lainnya.

5 - 8 Agustus 2013

Ya, layaknya sebuah warna budaya mainstream di Indonesia kala Idul Fitri, merupakan momen tahunan untuk berkumpul bersama sanak saudara di kampung halaman. Dan kali ini kupenuhi permintaan istriku, semoga membahagiakannya.

Aku sendiri hanya mereduksi masa interval pasif selama libur kantor. Di Ciamis tidak banyak hal yang aku buat, terlebih tidak ada internet dan DVD. Di beberapa waktu, ini hanya seperti memindahkan momen "bengong" dari rumahku ke Ciamis. Terlebih aku lagi tidak dalam situasi yang penuh antusiasme untuk ngobrol panjang.

Di berbagai kesempatan, aku terus memantau arus mudik di televisi. Tanpa terasa hari Kamis, 8 Agustus 2013 tiba. Hari itu adalah momen Idul Fitri 1434 H, hari kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh. Taqabballaahu minna wa minkum, semoga Allah SWT menerima amal ibadah kami dan kalian, Aamiin.

Tidak lama selepas shalat Id, bersama anak istri, mertua dan ipar, kami bersilaturahmi ke rumah beberapa keluarga yang dituakan. Dan waktu hampir menunjukkan pukul 10 pagi waktu Indonesia barat, saat kami meninggalkan Ciamis kembali menuju ke rumah.

Dan Tuhan sungguh memberkati perjalanan kami yang begitu lancar dan hanya butuh waktu tempuh normal 6,5 jam untuk tiba di rumah. Sayang pada arus sebaliknya kemacetan nampak makin akut. Menurutku banyak pihak pemudik yang salah mengkalkukasi waktu puncak arus mudik. Imbasnya di pintu tol Cileunyi (dari arah Bandung), kami melihat antrean yang begitu panjang lebih dari 10 km. Demikian pula di beberapa titik kemacetan utama di jalur selatan, seperti Nagreg.

Anakku Oka sempat bertanya dengan polosnya, "Menangis gak mereka, ayah?"

"Biasanya akan ada yang menangis, entah karena konsumsi bahan bakar kendaraan yang lebih banyak terbuang karena kemacetan, atau karena kecelakaan lalu lintas akibat ketidaksabaran dan kecerobohan pengguna jalan," jawabku.

Oka memang kritis kalau bertanya, dan terkadang aku cukup kerepotan meresponnya. Meski sebisa mungkin aku tidak ingin membuatnya kecewa dan kehilangan antusiasme. Dari pertanyaan Oka pula, aku ingin menutup artikel perjalanan kali ini.

Mudik, adalah warna budaya bangsa kita. Namun mudik bukan berarti kehilangan fokus untuk menghargai warna lainnya. Sabarlah, sebagaimana hikmah pasca berjuang melawan hawa nafsu dan berpuasa selama sebulan penuh.

Semoga bermanfaat...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!