CHAPTER 191: BEDAH BUKU “ALIRAN POLITIK & AQIDAH DALAM ISLAM”

 Buku ini secara garis besar menceritakan dinamika proses kepemimpinan dan aliran pemikiran pasca wafatnya Sang Nabi. 

Buku ini secara garis besar menceritakan dinamika proses kepemimpinan dan aliran pemikiran pasca wafatnya Sang Nabi.

Sudah beberapa waktu terakhir, saya merasa cukup risau melihat kondisi berbangsa di negeri ini. Maka di pagi ini diiringi lagu “Tanah Airku” yang monumental karya Ibu Saridjah Niung atau lebih akrab disapa Ibu Soed, kutuliskan lagi yang kutahu untuk kedamaian bangsaku, negeriku…

Lirik Lagu “Tanah Airku”

Tanah airku tidak kulupakan
'kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak 'kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negeri kujalani
yang mahsyur permai dikata orang
Tetapi kampung dan halamanku
Di sanalah ku merasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Tanah airku tidak kulupakan
'kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak 'kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau kuhargai

Lagu "Tanah Airku" karya Ibu Soed sebenarnya dapat menjadi potret bagaimana kita telah berhutang budi untuk menjaga kedamaian di negeri ini, Indonesia. 
Lagu "Tanah Airku" karya Ibu Soed sebenarnya dapat menjadi potret bagaimana kita telah berhutang budi untuk menjaga kedamaian di negeri ini, Indonesia.

Hal yang membuatku paling risau adalah adanya upaya meng-Islamkan seluruh negeri, seolah melupakan jika Indonesia bukanlah negara satu agama. Tapi mengingat saya bukanlah ahli agama, maka izinkanlah saya berbagai pengetahuan yang saya dapat dari buku “Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam” karya Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahrah (1996). Sang penulis merupakan mantan rektor Universitas Al-Azhar di Mesir.

Dalam buku ini dijelaskan tentang pergulatan syarat kekhalifahan pasca wafatnya Sang Nabi. Benih-benih pergulatan pun muncul ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq naik menjadi Khalifah pertama, tapi relatif belum muncul di permukaan. Demikian pula pada periode khalifah kedua Umar bin Khattab. Hal ini karena keduanya dinilai punya kemampuan kepemimpinan untuk dihormati dan disegani.

Pada periode kekhalifahan ketiga, Utsman bin Affan, pertikaian pun muncul yang akhirnya membuat sahabat Sang Nabi tersebut terbunuh sebagai seorang syuhada. Periode Utsman juga ditandai dengan mulai munculnya budaya nepotisme, karena Utsman memang dikenal sangat mencintai kerabatnya. Orang-orang Bani Umayyah yang merupakan kerabat Utsman menguasai segala persoalan penting negara dan menganjurkan Utsman tidak memperdulikan celaan dan kritikan. Termasuk ketika membuang Abu Dzar, seorang sahabat yang mulia, karena telah memberikan kritik tajam.

Periode terakhir di era Khulafaur Rasyidin di bawah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang juga merupakan sepupu dan menantu Sang Nabi pun tidak lepas dari ragam persoalan yang justru makin melebar, meski Ali punya sikap yang tegas berbeda dengan Utsman. Diceritakan pula dalam buku ini tentang Abdullah Ibn Saba sebagai salah satu figur yang melakukan tipu daya di kalangan umat Islam.

Selanjutnya setelah berakhirnya era kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, berbagai haluan pun timbul termasuk yang disebut oleh sang penulis buku sebagai mazhab yang menyimpang termasuk di antaranya Syiah dan Khawarij.

Sang penulis buku menyebutkan Syiah sebagai mazhab politik yang sebagian visi politiknya ada yang dekat namun sebagian lagi jauh dari agama. Mazhab ini timbul di akhir era kepemimpinan Utsman dan berkembang pada masa Ali.

Orang-orang Syiah sepakat bahwa Ali adalah khalifah pilihan Sang Nabi, dan berkembang pesat setelah wafatnya Ali. Mazhab Syiah dikenal fanatik pada keluarga Sang Nabi, terutama setelah di era kepemimpinan Umawiyyah di bawah kepimpinan Yazid, Husain ibn Ali dibunuh secara kejam. Husain adalah cucu Sang Nabi.

Uniknya dari referensi penulis buku, Syiah pun berkembang dalam berbagai aliran mulai dari yang ekstrim, moderat dan liberal di antaranya Saba’iyyah, Ghurabiyyah, Kaisaniyyah dan Zaidiyyah. Aliran terakhir disebut merupakan aliran Syiah yang paling dekat pemahamannya dengan jamaah Islam (Sunni).

Aliran Zaidiyah dikenal tidak mengangkat imam ke derajat kenabian, serta mengakui kepemimpinan para sahabat sebelum Ali.

Ada pula diceritakan tentang mazhab Khawarij yang dalam sejarah yang dilukiskan menjadi penyebab utama Ali diturunkan dari Kekhalifahan. Mazhab ini diceritakan muncul lebih dahulu dibanding mazhab Syiah.

Mazhab yang paling mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat ini pun tumbuh dalam berbagai aliran mulai Azariqah, Najdah, Shariyyah, Ajaridah dan Ibadhiyyah. Aliran yang disebut terakhir diceritakan sebagai aliran Khawarij yang paling moderat dan luwes serta paling dekat dengan paham Sunni.

Buku ini pun menceritakan munculnya mazhab-mazhab klasik dalam sejarah Islam seperti Jabariyyah, Mu’tazilah, Murji’ah, Asy’ariah, Maturidiyyah dan Hanabillah. Di antara mazhab klasik ini, saya lebih terpukau dan memiliki kesamaan pemikiran dengan Mu’tazilah, jika Al-Qur’an adalah kata-kata yang diciptakan Allah dan diturunkan-Nya melalui Malaikat kepada Muhammad, Nabi yang terakhir.

Uniknya, jika saya mengamini hal ini berarti saya telah berbeda pendapat dengan keyakinan saya selama ini, karena menurut Ahlussunnah mengatakan itu tidak diciptakan Allah, karena huruf-huruf itu merupakan manifestasi dari kata-kata Allah. Wow, jadi aliran Islam apa yang sebenarnya yang saya yakini selama ini?

Buku ini sendiri memberi jawaban jika perbedaan mazhab-mazhab klasik yang ada di atas tidak menyentuh inti aqidah (kepercayaan dasar atau pokok keyakinan). Mereka pada dasarnya tetap mengakui keesaan Allah,  keimanan pada Rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran Nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Mereka mengenal baik sifat-sifat dan yang tidak layak bagi Allah melalui ayat-ayat Al-Quran.

Hmm, syukurlah…

Buku ini juga menceritakan empat syarat menjadi seorang Imam (pemimpin) versi Jumhur Ulama yaitu dari Suku Quarisy, adanya Baiat, Musyawarah dan Keadilan.

INDONESIA HARI INI (DI MATA SAYA)

Bukalah kembali sejarah negeri ini, jika Indonesia bukanlah negeri satu agama. Jika Anda memaksakan, itu berarti tindakan "makar", dan jika itu langkahnya, di dalam Islam tidak ada kata "makar". Jadi Anda siapa? 
Bukalah kembali sejarah negeri ini, jika Indonesia bukanlah negeri satu agama. Jika Anda memaksakan untuk mengubahnya, itu berarti tindakan "makar", dan jika itu langkahnya, di dalam Islam tidak ada kata "makar". Jadi Anda siapa?

Semasa saya kecil hingga kini, saya hanya tahu ada dua wadah organisasi kemasyarakatan dalam ber-Islam di Indonesia yaitu Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Muhammadiyah didirikan K.H. Ahmad Dahlan pada 18 November 1912, sementara NU yang berdiri pada 31 Januari 1926 pertama kali dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari.

Dalam berbagai hasil pemikiran dan kebijakan, saya sendiri lebih banyak sependapat dengan NU.

Seiring perkembangan jaman, khususnya setelah Presiden Soeharto lengser 21 Mei 1998, kedua wadah ormas Islam ini pun mulai masuk ke kancah politik.

Tanggal 23 Juli 1998, kiai-kai NU mendeklarasikan berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Selang sebulan kemudian, 23 Agustus 1998, Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) Muhammadiyah berperan kunci berdirinya Partai Amanat Nasional.

Perjalanan partai Islam ini tidak berlangsung mulus selalu, di internal PKB seperti diketahui pernah terjadi pergeseran kepemimpinan antara Gus Dur dengan Muhaimin Iskandar, yang kemudian memicu lahirnya PKNU dan PKB Indonesia Baru.

Pasca lengsernya Soeharto, juga memunculkan partai Islam baru dengan nama  Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dideklarasikan tahun 20 Juli 1998 dengan nama Partai Keadilan (PK), namun gagal memenuhi ambang batas parlemen pada pemilu legislatif tahun 1999 sebesar dua persen.

Tanggal 20 April 2002, PK bermetamorfosa menjadi PKS dan berhasil meraih lebih dari delapan juta suara atau setara dengan 7,34% pada pemilu legislatif tahun 2004.

Berbeda dengan PKB dan PAN yang berideologi Pancasila, PKS berdiri dengan idelogi Islam. Menjadi pertanyaan kemudian, “Islam yang mana?” mengingat sejarah awal PKS tidak punya akar budaya ke-Islam-an yang kuat layaknya NU dan Muhammadiyah, serta jika mengacu pada buku ulasan di atas tersirat jika aliran pemikiran, politik, filsafat hingga kepemimpinan a la Islam itu sendiri sangat banyak dan kompleks.

Sang Nabi pun menuturkan umatnya akan terbagi menjadi 73 golongan di kemudian hari, Wallahu A’lam Bishawab…

Cikal bakal PKS awalnya dipelopori oleh Muhammad Natsir yang mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tahun 1967. Misi awal  DDII adalah mencegah misionari Kristen di Indonesia.

Di tahun 1985, rezim Orde Baru mewajibkan organisasi massa menjadikan Pancasila sebagai asasnya. Dari situlah, gelombang cikal bakal lahirnya PKS menguat. Puncaknya melalui KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) sebagai salah satu kelompok yang paling vokal menyerukan perlawanan pada Soeharto. Saat Soeharto lengser dari kursi kepresidenan, tokoh-tokoh KAMMI salah satunya Fahri Hamzah memunculkan lahirnya partai politik Islam.

Melihat proses berdirinya dan ideologi yang diusungnya, PKS dapat dikatakan tidak lekat dengan tradisi budaya Islam di Indonesia yang Pancasila. Seperti halnya penjelasan dari mazhab-mazhab yang ditulis mantan rektor Universitas Al-Azhar, PKS jelas punya aliran tersendiri yang berbeda dengan NU dan Muhammadiyah. Sumber wikipedia.

Meski tidak berideologi Pancasila, PKS nyatanya mampu bisa bermitra dengan Partai Gerindra di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Kolaborasi ini cukup istimewa, karena Gerindra dipimpin oleh mantan Danjen Kopassus dan mantan menantu Soeharto, yakni Prabowo Subianto.

Lalu ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berdiri 26 Juli 1975. Di awal berdirinya, MUI bertugas membantu pemerintah dalam hal – hal yang menyangkut umat Islam seperti mengeluarkan fatwa dalam kehalalan sebuah makanan, penentuan kebenaran sebuah aliran agama dalam Islam, dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan penganut agama Islam dan lingkungannya. Sumber wikipedia.

Uniknya, akhir-akhir ini MUI mengeluarkan acap kali kebijakan yang cenderung tidak berkoordinasi atau minimal sejalan dengan kebijakan di pemerintahan Jokowi - JK, dan cenderung jalan dengan penafsirannya sendiri dengan alih-alih kebebasan berpendapat.

Lalu ada Front Pembela Islam (FPI) yang juga dideklarasikan pasca turunnya Soeharto atau tepatnya 17 Agustus 1998. Uniknya pendirinya (sumber wikipedia) bukan dari tokoh Islam aliran berjubah Arab atau minimal akrab berpeci yaitu Eggi Sudjana dan Sri Bintang Pamungkas. Mengenai profil FPI, Anda bisa membacanya sendiri di sumber Wikipedia tersebut.

Lalu ada lagi Hizbut Tahrir Indonesia yang profilnya lebih kepada gerakan Islam radikal (sumber wikipedia).

Di Indonesia juga saat ini banyak bermunculan ulama non NU dan Muhammadiyah, dan cenderung memiliki aliran politik pemikiran baru. Sudah jadi rahasia umum jika telah banyak yang menjadikan posisi ulama dan ruang dakwah sebagai ajang mencari nafkah. Sebuah hal yang tidak pernah diceritakan dilakukan oleh Sang Nabi dan Khulafaur Rasyidin dalam mencari nafkah, kecuali sebagai para pedagang yang ulung.

Buat saya, cara mereka mencari nafkah dengan jalan tersebut biarlah mereka pertanggungjawabkan sendiri dengan Tuhan.

Hanya saja, munculnya aliran-aliran politik pemikiran baru yang mengatasnamakan Islam kini berusaha memaksakan pemahaman satu agama dan kemudian menjadi pertanyaan besar di benar saya, “Konsep pemerintahan Islam seperti apa sih sebenarnya yang kalian rencanakan, bisakah di-share ke publik? Supaya kita bisa menilai manfaat apa sebenarnya yang kalian rencanakan? Jika tidak ada, sebaiknya belajarlah kembali ke dalam sejarah Sang Nabi dan era Khulafaur Rasyidin, karena tidak ada contoh nyata dan mutlak mengenai konsep teknis detail penentuan kepemimpinan versi Islam di bumi manusia.”

Transisi kepemimpinan dalam Islam yang dibahas dalam Al-Qur’an lebih menitik beratkan pada tiga poin, yaitu pembaitan (IMHO, sama halnya dengan pemilu), musyarawarah (IMHO, sama halnya dengan penjabaran kemampuan terbaik untuk rakyat) dan keadilan (IMHO, semuanya dengan senang hati melakukan).

Islam saya memang masih sangat dangkal, tapi saya berkata pada diri sendiri, “Saya mencintai agama saya, dan insya Allah dengan senang hati selalu melaksanakan ajaran serta menjauhi larangan Allah. Di bumi yang namanya Indonesia ini, saya terlahir dengan beranekaragaman budaya, bahasa dan religi. Dan setelah membaca beberapa referensi, termasuk buku di atas, saya jadi merasa semakin kecil untuk menyalahkah kepercayaan orang lain. Namun atas nama negeri yang (mestinya) kita cintai bersama, yuk, kita jaga sama-sama Indonesia kita. Tidak usah saling menjelekkan dan upaya menjatuhkan satu sama lain. Mengenai kualitas akidah (dan keyakinan pada Tuhan) nanti kita pertanggungjawabkan saja masing-masing.”

Yuk, jaga Indonesia, jaga kedamaian perbedaan dan keanekaragamannya. Dimulai dengan diri sendiri dan dari lingkungan kecil kita. Semoga tersemai menjadi doa agar Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya ke setiap pelosok dan penjuru negeri kita, aaamiiin yaa rabbal alamin.

Bogor, 22 Desember 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!