CHAPTER 200: CERMIN, NARCISSUS & KEPERGIAN SEORANG KAWAN

 sumber foto: http://www.panoramio.com/photo/88567593 

sumber foto: http://www.panoramio.com/photo/88567593

Sudah lima tahun berlalu, hingga akhirnya rumahku diisi oleh sebuah cermin. Dalam perspektif dekorasi interior rumah, fungsi cermin memberikan banyak manfaat, khususnya di graha seukuran tempat tinggalku yang mungil. Cermin dipercaya dapat memanipulasi ruang, sehingga nampak lebih luas. Cermin juga dipercaya dapat menghadirkan cahaya lebih baik ke dalam ruangan, karena sifatnya yang reflektif.

Maka ketika cermin itu dibeli oleh istriku beberapa waktu lalu, ada sedikit level kegembiraan yang sifatnya naik di rumah kami. Mungkin karena dana kami yang terbatas untuk membelinya, ataupun memang aku dan istri yang tidak terlalu membutuhkannya. Entahlah, yang jelas cermin itu sekarang ada di rumah.

Cermin itu kini menjadi saksi, kala istriku beberapa kali belajar berhijab. Cermin ini juga menjadi saksi kala Oka dan Rasy tengah asyik bermain di dalam rumah, atau kalau aku asyik menggendong mereka atau adiknya Keanu.

Bagiku sendiri, cermin bukanlah kebutuhan primer, bahkan juga sekunder. Ada syukur, enggak pun enggak apa - apa. Namun ketika hari ini, Senin (30/9), aku membaca blog seorang teman yang menceritakan kawan kami tewas tanggal 25 September 2013 lalu, karena tertabrak sebuah mobil di kampung halamannya di Kolaka (sebuah kabupaten kecil di wilayah Sulawesi Tenggara), aku jadi ingat tentang cermin dan fungsinya itu.

Cermin itu sifatnya reflektif, meski berada di luar diri kita. Dalam arti hubungan sosial yang aku pahami, perkawanan juga memiliki sifat reflektif, sama hal dengan cermin.

Maka ketika kabar meninggalnya kawanku itu sampai ke diriku, aku jadi ingat pada cermin. Kawanku ini sebenarnya adalah seorang adik kelas di Universitas Hasanuddin dulu. Meski kami tidak cukup akrab, namun acap kali ketika aku membuka akun Facebook-ku, ia kerap menyapaku dengan ramah dan antusias. Ini terlihat dari kalimat yang digunakan, dan kecepatannya membalas pesan. Bahkan ketika dia mengaku sangat bosan di Kolaka yang kecil dan sepi, dia masih selalu berusaha merangkai kata yang berenergi positif dan ramah. Baginya mungkin aku adalah sosok yang mampu merefleksikan kegembiraan dan pantulan energi positif untuknya. Sayangnya aku bukan termasuk orang "cair", sehingga terkadang aku tidak terlalu antusias berkomunikasi.

(Almarhumah) Reni Azis  
(Almarhumah) Reni Azis

Ya, dalam banyak hal, aku mungkin termasuk orang anti sosial. Duniaku adalah dunia kecil yang sederhana, meski aku bahagia berada di dalamnya. Kejadian tewasnya temanku ini mengingatkan aku, mengapa manusia sebenarnya butuh cermin dalam arti sesungguhnya, agar dapat belajar untuk melihat lebih luas dan menghadirkan kegembiraan satu sama lain.

Kita mungkin tidak perlu menjadi Narcissus seutuhnya. Meski konon antara Narcissus dan telaga yang dilihatnya itu saling bercermin satu sama lain. Narcissus menggunakan air telaga untuk melihat dirinya, demikian pula telaga melihat "dirinya" dari pantulan mata Narcissus. Buktinya ketika Narcissus wafat, konon air telaga itu berubah jadi asin, karena "penghuninya" bersedih dan menangis tidak ada lagi tempat bercermin.

Kisah Narcissus ini sedikit banyak mengingatkanku pada kawanku itu. Sayang, aku tidak dapat menjadi Narcissus ataupun telaga untuknya, selama kami kenal. Kawanku ini namanya Reni Azis, seorang gadis muda yang sangat ramah. Dia senantiasa berusaha membuat dunia senantiasa ceria, menjadi cermin yang merefleksikan energi positif ke lingkungan yang disentuhnya.

Sayang memang, almarhumah pergi di usia yang begitu dini. Selamat jalan, kawan. Kukirimkan Al-Fatihah untukmu pagi ini dari meja kerjaku, semoga Allah SWT memberimu tempat terbaik di sisi-Nya, Aamiin.

(BSD, 30 September 2013)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!