CHAPTER 210: HILANG DARI ORBIT (CATATAN NYELENEH DERRY JOURNEY)

 - Sebuah catatan pinggir jalan yang tidak penting - 

Derry Journey

 
ilustrasi image, lokasi Floating Market - Lembang (2018)

jbkderry.com - Sudah beberapa hari ini, saya ingin menulis tentang kisah gak penting di Minggu siang 20 Oktober 2019. Ini bukan soal pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019 - 2024 di hari itu, tapi soal perjalanan saya jalan-jalan ke Jakarta bersama bini dan anak-anak.

Di hari itu selepas lari sekitar 1 jam 10 menit di paginya, saya lantas ngajak bini dan anak-anak jalan-jalan naik Commuter Line dan MRT, tapi bini punya usul lain, “Bagaimana kalau ke es krim Ragusa saja, yah? Kita kan sudah lama banget mau ke sana belum kesampaian-kesampaian.”

Saya pun mengiyakan, meski itu berarti rencana naik MRT otomatis batal. Setelah mengecek di Google Maps, kami harus naik kereta sampai Stasiun Juanda, terus sambung jalan kaki sekitar 150 – 200an meter.

“Deketlah,” kataku.

Bumblebee dan si Reyot kami titip dekat stasiun terdekat, Citayam.

Singkat cerita, saat berjalan melintasi JPO antara Stasiun Juanda menuju arah Masjid Istiqlal ternyata banyak penjual kaki lima dengan berbagai macam jualan di situ. Beberapa di antaranya membawa anak-anak kecil yang kelihatan dekil.

Seorang anak (kata biniku) nampak di antaranya dimarahi ibunya karena menumpahkan air di tikar alas duduk.

Seketika polemik muncul di kepalaku, “Siapa yang salahkah? Di hari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, dari jarak yang gak sampai 1 km dari Istana Negara ada potret kemiskinan yang nyata. Jaraknya juga gak jauh dari Kantor Gubernur DKI.”

Ada tiga alternatif jawaban yang muncul di kepalaku seketika.

Pertama, negara dan ibukota abai.

Tapi kalau sekiranya kemudian negara dan pemerintah ibukota tidak abai dan menolong para penjaja dagangan kaki lima itu, apa iya orang-orang yang ditolong ini akan berubah nasibnya?! Jangan-jangan mereka memang yang memang memilih untuk menjadi demikian, menjadi penjaja pedagang kaki lima di JPO.

Saya tidak ingin menyalahkan ataupun membenarkan pemerintah, rasanya saya pun sudah berhenti menjadi penggemar pak Jokowi sejak beberapa waktu lalu, meski tetap kagum karena beliau satu-satunya presiden yang saya tahu anak-anaknya tidak ikut mendompleng ketenaran ayahnya untuk mengais rezeki.

Sebagai orang tua, saya ingin berhasil menjadi orang tua seperti pak Jokowi, tapi sementara ini hanya sebatas itu, saya sudah berhenti menjadi penggemarnya. Di sisi lain, saya masih menjadi penggemar sistem dan model pemerintahan a la BTP.

Saya juga tidak ingin menyalahkan pemerintahan DKI yang kabarnya belum transparan dalam penggunaan anggaran publik. Lagipula, saya belum pernah tertarik dengan kiprah 01nya.

Kembali ke soal pedagang kaki lima di JPO itu dengan anak-anaknya yang dekil. Saya lantas berpikir jangan-jangan mereka gak merasa miskin.

Saya coba mikir lagi tentang arti miskin yang ada di kepalaku. Menurutku, miskin itu adalah sebuah perasaan yang dirasakan manusia kalau dia merasa kekurangan, artinya kalau tidak merasa kekurangan berarti tidak miskin dong?!

Nanti saya ceritakan lebih lanjut penjelasan mengenai pernyataan terakhir di atas.

Lanjut dengan premis kedua, yakni jangan-jangan menjadi pedagang kaki lima di JPO itu adalah pilihan hidup dan mereka menjalaninya dengan rasa senang dan rasa syukur, meski di tengah polusi ibukota yang kabarnya menjadi salah satu yang terburuk di dunia.

Pernyataan berikut ini sekaligus menjadi penjelasan dari pernyataan terakhir di premis pertama, karena gak jauh dari JPO itu, tepatnya antara stasiun Juanda dan stasiun Sawah Besar ternyata ada kompleks pemulung yang baunya sangat menusuk hidung saat kami berjalan kaki ke Joni Steak untuk makan siang.

Meski baunya sangat menusuk hidung kami, sampai Keanu keluar celetukan spontannya, “Bau banget, ayah.”

Ya, kami merasa sangat bau, tapi orang-orang di situ santai-santai saja, mungkin karena telah terbiasa. Ibu-ibu ngobrol santai di dekat trotoar. Ada bapak-bapak ngobrol juga sambil makan di warung nasi kecil, dan anak-anak main gembira di dekat gerobak-gerobak pengangkut sampah.

Lantas salah siapakah hal ini? Sekali lagi, saya tidak ingin menyalahkan pemerintah negara dan ibukota, karena kejadian seperti ini sebenarnya sudah sangat lazim dilihat di negeri ini, meski miris ternyata jaraknya gak begitu jauh bahkan cukup dekat dari Istana Negara ataupun Kantor Gubernur.

Jadi gak usah bahas yang jauh-jauh dulu deh...

Lalu tibalah pada premis ketiga, jika bukan salah pemerintah dan juga bukan salah pedagang serta para pemulung itu, apakah ini memang suratan takdir Tuhan? Jika iya, masa sih Tuhan membiarkan ciptaanNya bahagia dalam kemiskinan? Ups, ralat kata miskin, karena saya justru melihat ekspresi wajah yang tidak sedih di raut muka para penjaja dagangan kaki lima dan para pemulung tersebut.

Atau jangan sampai seperti kata biniku, “Takdir tidak pernah salah, tapi itu karena kita saja yang masih gagal membujuk Tuhan mengubah takdir kita melalui amal ibadah dan doa-doa kita sendiri.”

Lamunanku loncat dari fenomena kejadian di JPO dan kompleks pemulung tersebut. Beberapa hari lalu, saya lihat vlog Deddy Corbuzier dengan Reza Arap.

Intinya Reza mengaku tumbuh dari ibunya seorang Muslim yang telah bercerai dari ayahnya yang seorang Kristen. Ibunya memberi nama Muhammad Reza Oktavian, lalu ia sendiri mengubah namanya sendiri secara legal menghilangkan kata “Muhammad” pada tahun lalu. Kira-kira alasannya, “Gw bukan orang suci, man. Lihat gw tatonya banyak dan suka ngomong kasar.”

Reza yang tumbuh dari ibu seorang Muslim, kebanyakan menghabiskan masa pendidikan regulernya di sekolah Kristen, dan kini memilih tidak memilih agama apapun. “Mungkin Budha suatu saat nanti, gw suka dengan petuahnya, semoga semua mahluk berbahagia.”

Saya tidak ingin merespon pilihan Reza Arap, toh siapalah saya...

Saya lantas ingat dalam Islam pun ada petuah “Rahmatan-Lil-Alamin” (rahmat bagi Semesta), tapi saya juga ingat salah satu kalimat yang paling sering saya dengar dari banyak pemuka religi yang menyalahkan kaum Kristen dan Yahudi dalam banyak kesempatan. Doktrin macam ini sudah jadi rahasia umum dari saya masih kecil sampai jadi ayah beranak empat seperti ini.

Menyalahkan agama tentu tidak elok dan patut, ataukah para pemuka religi itu yang keliru dalam menginterpretasi pesan Tuhan?

Saya tidak ingin membahas polemik klasik “Berperang Demi Tuhan” seperti judul buku Karen Armstrong yang saya kenal zaman masih Tamalanrea KM. 10, tapi saya ingin mengutip satu pandangan yang makin intens saya dengar saat ini, “Lupakan dunia yang sementara, lakukanlah semuanya untuk kehidupan berikutnya.”

Saya tidak ingin mengundang perdebatan soal ini, bukan kapasitas saya bicara soal religi. Ini murni pandangan pribadi untuk diri sendiri, sekadar menceritakan pergulatan di dalam pemikiran sendiri.

Jikalau di bumi manusia ini memang tidak ada harapan, lantas darimana kah sebenarnya kita belajar tentang harapan itu sendiri kalau bukan di sini?!

Orang-orang seperti Arthur Fleck, Reza Arap, ataupun orbit kecil yang jelang hilang seperti saya sendiri, banyak dibentuk oleh lingkungan yang keras waktu kecil dan masa transisi. Ya, saya sebisa mungkin tidak meninggalkan Shalat sejak dulu sampai sekarang, tapi jujur bukan untuk mengejar Surga. Saya pun meminta anak-anak untuk tidak meninggalkan Shalat dan tetap belajar mengaji, tapi sekali lagi bukan untuk mengejar Surga.

Saya hanya ingin berterima kasih kepada Tuhan dengan cara yang saya tahu, yaitu Shalat yang paling utama. Melalui agama yang saya anut, saya tidak ingin merasa paling benar. Saya ingin menjalaninya dengan sederhana saja tanpa polemik dengan mahluk hidup yang lain.

Di bumi manusia, saya merasa pertama kali hidup di usia 19 tahun selepas nginap nyaris seminggu di jeruji penjara Sekta V karena mukulin anak orang sampai koma. Saya masih menjadi pengguna drugs, alkohol, dan tembakau hingga di pertengahan usia 20an tahun.

Buatku saat itu kekerasan adalah hal yang menyenangkan, jadi jangan pernah tanya arti bahagia sebelumnya. Tidak hanya saat memukul, tapi saat dikeroyok sampai retak tulang hidung pun saya pernah puas menjalaninya. Benar-benar sakitlah sepertinya saat itu...

Saya baru merasa bahagia sekarang-sekarang ini, sejak menikah punya istri dan anak-anak. Merekalah yang membantuku jadi lebih baik dan mengenal arti harapan.

Jadi kalau ada yang bilang lupakan dunia dan mengejar Surga, silakan itu adalah pilihan. Saya sendiri lebih suka memeluk harapan yang sudah ada saat ini, meski tentu saya juga berharap harapan untuk terus bisa sama bini dan anak-anak tidak hanya berhenti di bumi manusia saja, tapi juga hingga di kehidupan berikutnya, amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!