CHAPTER 122: JADI SARJANA SAJA TIDAK CUKUP (OPINI RENUNGAN KELAS SECANGKIR KOPI)



Pagebluk yang menambah daftar badai hebat sebelumnya, kabarnya menambah daftar angka pengangguran terdidik di sejumlah negara.

Di era disrupsi saja, katanya pengangguran lulusan universitas berdasarkan data BPS pada tahun 2019 meningkat 25% pada periode tahun 2017 - 2019. 

Ya, di sisi yang lain memang masih banyak orang berpandangan jika kuliah di perguruan tinggi adalah sarana untuk membuka pintu menuju kehidupan yang lebih baik, namun melupakan dua variabel penting jika pendidikan tinggi pun banyak yang terjebak melupakan kemampuan berpikir kritis dan mendiagnosa potensi terpendam pada tiap siswanya. 

Sudah bukan rahasia lagi sebenarnya jika sistem pendidikan tinggi hanya sebatas menambah volume silabus, supaya kelihatan rumit, padahal semuanya sudah sistemik mengejar penyelesaian kurikulum dalam batas waktu yang telah ditentukan. 

Sebuah orgasme yang ilusi, para sarjana hanyalah sekelompok orang yang berhasil menyelesaikan kurikulum yang diharuskan oleh sistem. Setelah banyak membuang waktu, pikiran, dan psikis, selepas kuliah dan menjadi sarjana, akhirnya baru tersadar jika selama beberapa tahun di perguruan tinggi tidak mengantarkannya pada kemampuan yang memiliki diversifikasi. 

Semuanya seragam, dan kemampuan hanya terpaku pada setumpuk teori usang yang tidak lagi up-to-date atau memiliki relevansi dengan perangkat penyelesaian masalah yang dibutuhkan zamannya, alih-alih bisa melahirkan diversifikasi dan inovasi, buat berjejak di sistem kehidupan riil yang berjalan pun akhirnya keteteran, menjadi job seeker sesuai yang dibutuhkan oleh sistem, dan ironisnya kursi yang dituju juga diperebutkan oleh sekian sarjana lain yang memiliki kemampuan mirip-mirip dan setara. Maka faktor keberuntunganlah yang menentukan. 

Sistem pun masih terpaku pada hal-hal yang simbolik dan yang nampak, bukan pada esensi dan konstruksi, apalagi kalau bicara kemampuan berpikir dan bertindak kritis, lebih-lebih bisa mendiagnosa kemampuan diri sendiri lalu mengasahnya menjadi kemampuan diversifikasi dan semakin mandiri. 

Ya, sistem pendidikan tinggi kita memang terlalu malas dan lamban untuk mentoleransi, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan hal-hal yang kritis, karena malah bisa dianggap berpotensi membuat pusing dan ribet, seperti halnya memperlakukan anak nakal super bandel. 

Hasilnya, tidak heran, jika sistem pendidikan tinggi menanggalkan unsur penempaan hati, pikiran, dan empati. Semuanya sebatas sistematik yang terlalu gemuk dan kaku. 

Tidak heran jika rektorat lebih merefleksikan diri laksana Voldemort dan Domentor, ketimbang tokoh penganyom yang semestinya. 

Sekian literasi buku yang katanya sebagai jendela pembuka dunia tidak lebih dari menjadikan para audiensnya untuk terjajah dan berkewajiban menceritakannya ulang. 

Sistem pendidikan tinggi yang terlalu keras melupakan unsur memanusiakan manusianya, tapi lebih menjadikan manusia sebagai robot yang dibutuhkan oleh sistem. Sayangnya standar sistem yang dirujuk sudah terlalu usang dan lamban, tidak lagi memiliki unsur kekinian yang kuat.

Setahuku, hal inilah yang coba didobrak oleh anak-anak muda millenial dan post-millenial di Jepang, jika sistem pendidikan menanggalkan unsur komunal sebagai kebutuhan dasar manusia. Hanya mendorong unsur individualisme dan kompetisi yang semu sesama kawan, asal sikut yang penting dirinya aman meski kawan dan lawan tergelincir jatuh. 

Maka lahirlah semacam budaya perlawanan dari anak-anak muda Jepang, tidak lagi berusaha menjadi manusia seperti generasi sebelumnya yang terlalu "hi-tech". Maka muncullah arus kebudayaan pop seperti tren budaya anak muda di Shinjuku. 

Itulah juga yang aku tahu membuat anak-anak muda Korea Selatan justru kini malah lebih maju dalam hal sistem pendidikan yang hi-tech, sampai akhirnya dalam dua tahun terakhir mulai menghadapi persoalan yang sama, jika sekian banyak wawasan hi-tech termasuk AI ternyata belum cukup diwadahi oleh pasar industri dan pasar kerja. 

Makanya terciptalah problema klasik yaitu sarjana pengangguran. 

Ya, sarjana saja memang tidak cukup. Itulah yang akhirnya orang-orang sebesar Bill Gates dan Mark Zuckerberg, atau bisa jadi Susi Pudjiasti memilih putus sekolah, dan memilih mengejar mimpi menjadi diri sendiri dengan kemampuan berpikir dan bertindak kritis yang jelas tidak diwadahi oleh sistem pendidikan formil. 

Ya, kalau mau jujur jadi sarjana saja tidak cukup untuk memanusiakan manusia. Diperlukan evolusi yang lebih baik untuk mengajarkan, menggugah, dan mengantarkan setiap manusia untuk mampu berpikir dan bertindak kritis, menemukan diversifikasi dirinya. 

Jika tidak bisa, maka sistem pendidikan tinggi tidak lebih dari proses alienasi yang lebih jauh.

Itu saja dulu...

Rabu, 27 Januari 2021

09:07 WIB 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!