CHAPTER 114: SOAL VAKSIN (NARASI KELAS SECANGKIR KOPI)



Sejak ketemu salah satu sahabat terbaikku yang menetap di Bali beberapa tahun lalu, saya jujur mulai punya paradigma dan perspektif berbeda soal vaksin. 

Makanya abang Rasy dan Keanu sama sekali tidak tersentuh vaksin, beda dengan kakak Oka yang dapat full vaksin. 

Alhamdulillah, ketiganya sehat-sehat saja sampai sekarang. 

Toh, saya berpikir orang-orang dulu tidak ada yang divaksin, emak bapak kita, engkong nenek kita, toh, hidup sehat beranak pinak juga. 

Soal ilmu pengetahuan dan perkembangannya, yah, namanya juga orang goblok kayak gw gak terlalu ngaruh juga. Toh, terbukti hari ini yang diklaim hebat2 pada ngap juga. 

Lalu, kemarin saya lihat pandangan2 Ade Rai di vlog Deddy Corbuzier. Saya semakin teguh soal pandangan saya di atas, jika semestinya setiap manusia punya hak untuk menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak untuk dirinya, itu wujud kemerdekaan manusia. 

Menurut Ade Rai, dalam tubuh kita ini ada triliunan sel, ada sekian banyak bakteri, dan tendensi-tendesi negatif yang lebih besar ketimbang preferensi positif. 

Saya pun percaya itu, makanya banyak orang lebih suka berlebihan dalam merespon sesuatu, baik soal benci atau suka. Nah, kalau semenjana sepertiku, hidup sudah kadung mengajarkan, jika ambisi berlebih hanya berujung pada ekstasi yang semu, saat kau sampai di puncak yang kau angankan, ternyata rasa itu tidak ada lagi. Hanya terbentur pada ilusi rasa di prosesnya. 

Menurut Ade Rai lagi, setiap manusia itu bukanlah individu, tapi kerumunan begitu banyak sel di dalam tubuhnya, dan itu termasuk bagaimana proses imun itu bisa dibentuk, dan bakteri2 itu ada dalam tubuh tapi tidak lantas menjadikan kita mati secara prematur. 

Bakteri2 itu membinasakan kita secara alami, sesuai dengan prosesnya. 

Jadi sederhananya, biarlah tubuh kita membentuk independensi soal kekuatan imun itu sendiri. Pernah dengar soal "Plasebo", soal orang kaya raya yang dari muda sampai engkong2 cuma mau ke dokter yang sama, dan baru sampai pagar tempat dokternya langsung merasa baikan?!

Tapi kali ini menurutku lain soal, nampaknya aku berubah pikiran soal vaksin. Ya, hidup kan dinamis. 

Kalaupun nanti aku divaksin, aku lakukan bukan untuk diriku lagi, tapi aku lakukan ini untuk negeriku, bagian sumbangsihku pada negeri tercinta ini.

Kalau orang tanya, kenapa kau berhalakan negeri ini, Der, dan bukan Tuhan?

Gw cuman mo bilang, woi setan dan persetan, emang elu sangka tanah air ini bukan ciptaan Tuhan? Elu bisa hidup di mari ini adalah anugerahNya juga, guoblok. 

Di negeri ini elu bersujud kalau elu Islam, ataupun dengan prosesi doa dan syukur bagi umat-umatNya dari aqidah yang berbeda, tapi intinya di negeri inilah elu menyampaikan rasa terima kasih dan doa padaNya. 

Masih belum ngerti juga?! Ah, sudahlah, gw juga bukan guru yang harus menjelaskan hal yang bikin habis2 stok intelegensi kelas secangkir kopiku.

Hmm, itu dulu dah, yang penting sudah sumbang narasi soal vaksin, meski yah, sekadar kelas secangkir kopi...

Bogor, 13 Januari 2021

19:01 WIB

NB: Beberapa hari lalu, seorang kawan baik mengkritikku soal diksi "semenjana", ah, itu bukan kutukan, cuy. Itu adalah sebuah pilihan paradigma, perspektif, dan kesadaran pada kapasitas diri sendiri.

Lagipula, aku tidak perlu menjadi seperti founding father negeri ini yang nampak gagah di lanskap rencana, namun takut di jalan sunyi dan kesendirian.

Ya, semenjana sih untuk urusan demikian seyogyanya pasrah2 saja, ikhlas karena itu bagian inheren dalam dirinya. Soal kini ada yonna dan anak-anak, itu juga yang membuatku malah bisa tambah terima kasih padaNya, sekaligus membuatku bersedia dan berkenan berubah pandangan soal vaksin Sharapova ini, eh, maksute vaksin Sinovac ini. 

Maklum, kalau cewek2 cakep rusia, abang suka kelupaan momen hehehehe...

Itu saja deh dulu...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!