CHAPTER 78: KEINGINAN MENUNTAS TUGAS DI BUMI MANUSIA



Pada akhirnya siap gak siap, berani gak berani, kematian itu pasti datang. Seperti apakah kita akan masing-masing menyambutnya, karena lari dan sembunyi tidak lagi bisa menjadi mekanisme fungsi. 

Kematian akan datang tanpa bisa disangkal oleh manusia manapun, tidak oleh manusia krypton, Nietzsche, Trump, Putin, ataupun Jeff Bezos, Jack Ma, apalagi kalau model-model politisi busuk dan pemuka agitasi berbalut keyakinan yang tengah menjamur, eh, tren di negeri ini. 

Jumat 23 Oktober 2020, buat yang sempat mampir ke IG Presiden Jokowi, Ketua MPR Bamsoet, dan Gubernur Jawa Barat pasti akan melihat ada sebuah status di sosmed mereka masing-masing yang nadanya sama, yaitu ekonomi yang tengah makin sulit khususnya di kalangan menengah ke bawah. 

Kang Emil bahkan menganjurkan agar kalangan menengah atas berkenan membelanjakan simpanan pundi-pundinya yang masih berlimpah, agar ekonomi di bawah berputar. 

Tapi susah, karena orang-orang kaya memang sudah lama bukan jadi pilar utama penopang eksistensi negeri ini. Coba simak apa kata founder Tempo, Goenawan Mohamad, melalui tulisannya berjudul "Ruslan" di linimasa FBnya pada 22 Oktober 2020. Ada penggalan kalimat yang berbunyi di paragraf terakhirnya, "Jelas, Bukharin tak punya pengalaman Indonesia. Di sini orang seperti Ruslan, meskipun genting hidupnya,  terlalu banyak untuk bisa dibasmi.  Mereka bahkan tak mudah dimasukkan kandang besi dunia modern dan dikelola Negara. Mereka licin — dan bekerja lebih keras ketimbang buruh  pabrik  yang dipromosikan serikat sekerja. Mereka,  jutaan Ruslan,  borjuis kecil kita, hanya senyap — dan dengan senyap mereka buat Indonesia bergerak. Karena mereka, dibela atau tak dibela,  tak mudah menyerah."

Coba saja simak artikel di situs Pikiran-Rakyat berikut ini, disebutkan jika baru 12% dari total UMKM di Indonesia yang sudah mengakses layanan perbankan. 

Ya, di negeri ini masih dapat disebut banyak tradisional di multi sektor di negeri ini, justru yang menjadi penyangga eksistensi bangsa. 

Lantas kemana para orang kaya, kemana para intelektual yang acap kali mengaku sebagai sang pencerah, kemana mereka?!

Protes pun percuma, suara itu hanya akan menggema di ruang hampa. Seperti kata Goenawan di atas, "Mereka, dibela atau tak dibela, tidak mudah menyerah."

Ya, kalau mau jujur, kita tidak didik secara umum untuk berdialogis, dan kita juga tidak dididik secara umum untuk menjadi pendengar yang baik. Sistem pendidikan kita terlalu terburu-buru untuk menyelesaikan kurikulum, lagipula memang mungkin kita tidak punya banyak waktu untuk saling menggugah bakat-bakat yang terpendam. 

Tidak perlu merutuk memang, karena tidak seperti itu warna negeri ini berjalan sejak lama. 

Di ruang tengah di bilik-bilik dari tembikar dan atap dari jerami yang mulai bolong-bolong sehingga tetesan air hujan acap kali menitik deras di bale-bale bambu tempat kita makan bersama emak, bapak, dan anak-anaknya. 

Nasi di nampan kaleng yang mulai nampak karat di beberapa bagian lobangnya, air di teko kaleng yang semakin dingin karena suhu, serta lauk ikan dari sungai atau empang yang acapkali jadi menu harian, selain singkong goreng atau rebus yang dicabut dari halaman belakang, entah milik sendiri atau bukan.

Apakah hidup seperti itu adalah kutukan? Dari luar bisa jadi jawabannya iya, sebuah fenomena stagnan yang telah berjalan tahunan, puluhan, bahkan bisa jadi ratusan hingga ribuan. Tidak banyak warna yang berubah secara turun temurun. Bahkan ketika warna baru yang congkak datang dengan nama "modernisasi" justru sebenarnya adalah tidak lain adalah proses alienasi dan kemunduran atas nama kekuatan adidaya.

Lantas di tengah makin menjulangnya kolaborasi empat badai bernama disrupsi, pagebluk, resesi, dan industri informasi agitasi, apakah yang mesti kita lakukan agar gembira tetap ada menyemai di langit-langit rumah kita masing-masing?

Tentu saja kita masih membutuhkan cetusan mimpi-mimpi, meski mimpi sesederhana pun mungkin terkesan muluk, tapi yang pasti kita tetap butuh. Mimpi adalah haluan akan kemana langkah harus dilaju, biar hidup tetap punya tujuan.

Aku? Aku hanya bermimpi bisa menuntaskan bagian untuk menjadi suami dan ayah yang baik sebisa mungkin, sekuat mungkin, sebelum waktu memang sudah habis di sini. 

Itu saja dulu. 

Bogor, 24 Oktober 2020

08:37 WIB 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!