CHAPTER 69: HATTA, TONY STARK, DAN FRAMING SEJARAH



Sebelum tulisan dari kawan saya yang paling pintar sepanjang masa saya di Tamalanrea ini tuntas saya baca, saya adalah pengagum Hatta sepenuhnya (silakan lihat narasi kawan saya itu di sini). 

Saya pikir Hatta adalah sosok Bapak Bangsa yang paling tulus dan bersih. Ya, saya memang tidak banyak membaca literasi tentangnya, tapi saya masih ingat kisah Hatta dengan sepatu Bally dan kisah Hatta dengan koleksi buku-bukunya yang sangat terawat dan dijaga kerapihannya. 

Tapi setelah membaca tulisan kawan saya yang sangat pintar itu, pandangan saya pada Hatta terkoreksi. 

Saya mengoreksi posisinya di benak saya sebagai Tokoh Nan Agung. Ya, saya tetap mengaguminya, tapi tidak setinggi sebelumnya. 

Mungkin ini sama dengan konklusi saya pada Tony Stark. Meski hanya tokoh rekaan di Marvel, tapi saya suka Tony Stark, sampai ketika saya nonton Spider-Man: Home Coming, saya serta merta menurunkan derajat kekaguman saya pada Tony Stark. 

Ya, saya pikir hal yang menginspirasi dan mendorong Adrian Toomes menjadi jahat lalu berubah menjadi Vulture adalah karena persaingan bisnis yang tidak sehat dari perusahaan milik Tony Stark, Stark Industries. 

Lalu lamunan saya pada Hatta dan Tony Stark terbang pada perjalanan sejarah negeri ini yang terlalu banyak versi, hingga rasanya sulit mendapat pandangan yang jernih tentang apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini di masa silam. 

Kemasan sejarah yang sampai ke bangku-bangku sekolah dulu tidak lebih dari media propoganda yang dikemas sedemikian rupa oleh penguasa. 

Lalu apakah kita juga bisa percaya pada objektivitas pada peneliti sejarah? Bagaimana kita bisa yakin mereka tidak sedang menggadaikan kepandaiannya kepada para pemilik modal? Atau bagaimana kita bisa membuktikan framing yang mereka buat mengandung nilai-nilai autentik yang tinggi?

Ya, kita pada akhirnya hanya bisa berpijak pada kepingan-kepingan yang kita dapat masing-masing dan kita percayai. Bisa jadi kepingan sejarah yang sampai ke kita hanyalah bingkai kecil, tapi sesungguhnya mengandung nilai-nilai autentik yang lebih orisinil dan tinggi. 

Sementara berbundel-bundel literasi yang ada di sana hanyalah sekumpulan bualan yang telah membengkokkan fakta. 

Saya melihat sendiri, bagaimana orang-orang dengan integritas rendah dan tingkat kemunafikan tinggi bisa sampai ke posisi puncak dalam hal materi dan kedudukan. 

Sementara yang mengandalkan idealisme, integritas, dan antusiasme tidak sampai ke posisi itu. 

Ya, kemampuan berkamuflase dan beradaptasi dengan perubahan sekilas sama, orang lain bisa jadi tidak dapat mengenalinya, tapi apa iya dirimu sendiri masih bisa?

Sebuah renungan...

Bogor, 8 Oktober 2020

18:37 WIB  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!