CHAPTER 71: RENUNGAN SOAL KETEGUHAN MENTAL

Dalam gelap pun, jangan surut untuk merekah cahaya.


Narasi ini dibuat 12 Oktober 2020, dua hari setelah perayaan Hari Mental sedunia 10 Oktober 2020 (hari Sabtu). 

Meski telat, rasanya pengen nulis tentang hal itu di tengah 4 badai hebat yang tengah menghantam; badai disrupsi, ancaman resesi, penyebaran pagebluk Covid-19 yang belum surut, serta penyebaran agitasi dan informasi palsu yang semakin mendapat tempat di masyarakat (cenderung menjadi industri yang semakin menjanjikan). 

Sabtu sore 10 Oktober 2020, selepas Ashar, kukeluarkan sepeda kuningku. Badan rasanya sudah sangat pegal-gegal sudah sekitar seminggu tidak diajak olahraga di luar rumah. 

Maka tanpa banyak berpikir, kugowes menuju arah Tegar Beriman - Cibinong, lalu ambil lajur kiri menuju RSUD Kabupaten Bogor, namun belok kanan ke jalan akses perkampungan sekitar 100 meter sebelum lokasi RSUD Kabupaten Bogor. 

Lalu selepas jalanan perkampungan kembali masuk ke kawasan jalan raya Pemda Bogor - Tegar Beriman. Di depan Cibinong City Mall, aku berputar dan berhenti sejenak tepat di seberang jalan. 

Sejenak menatap sekeliling, sekaligus merenung tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya, belum ada gambaran. 

Pikiran kekhawatiran seperti narasi di Kuldesak (istilah arsitektur yang berarti 'jalan buntu'), atau seperti kejatuhan ekonomi bapaknya selebritis Raffi Ahmad, di saat anak-anaknya masih kecil-kecil. 

Aku tentu tidak ingin bernasib seperti itu, aku ingin bangkit lagi. Lagipula, ini bukan kali pertama hidup menjajarkanku kembali di posisi seperti ini. 

Tapi hidup ke depan rasanya realistis makin sulit diprediksi, lantas bagaimana jika ini ternyata jika jalan Kuldesak atau nasib seperti mendiang Papanya Raffi Ahmad?

Tapi rasanya aku tidak bersyukur jika aku biarkan pemikiran itu berkembang di kepala dan hatiku. Sejenak memori tergiang pada pelajaran agama saat SD tentang Nabi Ayub yang terbujur sakit selama 18 tahun. 

Sementara aku alhamdulillah dikasih kesehatan, demikian pula bini dan anak-anak di rumah juga, meski ya lagi dalam kondisi ekonomi yang tengah bokek. 

gowes, nongkrong, ngobrol, dan makan bareng.


Lalu aku menganggap hal ini sebagai ujian mental untuk tetap teguh, asyik, dan menikmati hidup meski apapun yang akan terjadi. 

Aku pun rasanya bisa mengembalikan mental bertarung pada batas standar, tidak luruh dan bertekuk lutut. 

-

hidangan Kapurung dan ikan goreng dari om Anwar (Kopel) yang sungguh enak.


Minggu pagi, 11 Oktober 2020

Meski semalam selepas hujan dan sempat mendung paginya, tapi janjian sama om Danar tetap kudu dilaksanakan. 

Rutenya menuju Setu Gede di Kota Bogor dekat IPB. 

Gokilz sih sepedaan sendirian ke sana, karena janjian dengan om Danar dan kawannya om Agung di sana. Mereka sekitar 12 menit di depanku, ketika tiba di pertigaan jalan raya Bogor - Salabenda. 

Ya, bersepeda pagi itu kembali menguji keteguhan, karena harus beberapa kali melewati genangan air, plus kemacetan pasar sebelum Stasiun Bojong Gede. Juga untuk melawan ego dan rasa malas yang sempat mencuat membisikkan anjuran untuk putar balik dan kembali ke rumah. 

Beruntung, pengalaman yang cukup panjang sebagai brandalan kelas keroco mampu membuyarkan anjuran itu dan terus melanjutkan perjalanan seorang diri hingga ke Setu Gede. 

Di sebuah kawasan hutan yang cukup lebat dan luas, aku coba jeda sejenak berfoto-foto, sebelum lanjut ke kawasan Setu Gede yang pagi itu becek dan jujur suasananya kurang nyaman. 

Tidak lama di situ, om Danar ngajak ke rumah kawannya yang kerja di kantor LSM di kawasan Bubulak untuk makan kapurung dan ikan goreng.

Sambil menikmati salah satu makanan khas di Bugis Makassar itu, kami pun melewati pagi hingga jelang sore, untuk berbincang mengenai banyak hal, tentang UU Cipta Kerja, tentang sejarah kontribusi Bung Hatta pada republik ini, tentang dunia digital, tentang masa lalu, dan beberapa topik lainnya yang dibicarakan secara random alias acak. 

Ya, ngobrol-ngobrol a la perkawanan ini memang buka semata untuk sharing wawasan dan tukar pikiran, lebih kepada untuk membasuh jiwa untuk tidak mandeg dan penat menghadapi hidup yang tantangannya makin sulit dan pelik, tapi ya sekali lagi kita tidak boleh menyerah, kita harus bisa menemukan kiat untuk menghibur lara, agar tetap kuat menjalani sisa hidup dengan segala sesuatu konsekuensinya yang bisa terjadi apa saja. 

Itu saja. 

Bogor, 12 Oktober 2020

09:41 WIB 

Kelak, mungkin saja aku tidak menyelesaikan chapter hidupku dengan catatan kemenangan yang membahagiakan, tapi aku janji pada diriku sendiri, jika aku tidak ingin kehilangan rasa syukur, rasa senang, dan rasa bahagiaku pernah menjalani sekian catatan manis di bumi ini. Semoga aku bisa selalu, Amin. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!