CHAPTER 336: BIARLAH INDONESIA TETAP TUMBUH DENGAN KEANEKARAGAMAN SEBAGAI IDENTITAS BANGSA

 diversity-shutterstock-998x615

Sebagai anak negeri, saya sedih melihat kondisi bangsa saat ini. Betapa tidak situasi demokrasi dan reformasi seolah justru ingin mengantarkan kita pada perpecahan.

Beberapa kenalan ada yang merindukan suasana di jaman rezim otoriter yang relatif lebih tenang karena sikap perbedaan sangat tidak dimungkinkan dimunculkan di permukaan.

Buat yang menyukai suasana kebebasan berpendapat hal ini tentu bukan hal yang disukai, cenderung menyeramkan malah.

Tapi kebebasan tanpa koridor seperti saat ini juga tentu tidak kalah menyeramkan, bahkan lebih menyeramkan bisa. Bayangkan saja sebagian disadari atau tidak, taruhannya kini adanya keinginan untuk mengubah karakter kebangsaan yang berbasis ke-Bhinneka Tunggal Ika dan bahkan Pancasila sebagai dasar negara.

Beberapa hari lalu di timeline FB saya, seorang adik kelas di jaman kuliah dari “garis keras” masuk dan mengemukakan pendapatnya yang kontras. Dari salah satu referensinya, dia merujuk pada referensi Hizbut Tahrir. Saya sebenarnya tidak begitu mengikuti aktivitas organisasi referensinya tersebut. Kenapa kemudian saya memberikan istilah “garis keras” dalam tanda kutip dua (“), semata ketika saya memasukkan kata kunci “Hizbut Tahrir” di Google adalah lebih banyak soal polemik dan gerakannya yang cenderung menolak Pancasila sebagai asas tunggal.

Adik kelas itu sempat mengemukakan satu hal yang sempat menyentakku, “Di Al-Qur’an setidaknya ada tujuh ayat yang melarang pemimpin non muslim.”

Meski beberapa kali mengetahui pernyataan ini, tapi baru kali ini kalimat ini ditujukan langsung menohok padaku. “Wow, mungkinkah aku tidak patuh pada Kitab Suciku? Betulkah aku murtad?”

Setelah menerima pernyataan ini, aku lantas merenung dan banyak bertanya-tanya. Kuputuskan untuk berhenti ber-FB selama sepekan. Tadinya aku berpikir pengetahuanku bisa bermanfaat berbagi wawasan dan pendapat kepada orang-orang yang juga cinta Indonesia yang damai, Indonesia yang sejuk dan saling menghormati dengan segala perbedaannya yang bereneka ragam. Tapi aku jujur mulai khawatir setelahnya, jangan sampai aku telah menyampaikan hal yang keliru.

Beberapa pertanyaan mengemuka di benakku, “Mungkinkah hanya dengan KTP bertuliskan “Islam” sudah cukup untuk menjadikan orang sebejat apapun menjadi pemimpin dibanding orang baik tapi non muslim?”

“Benarkah Islam sangat tidak adil pada manusia yang memiliki kemampuan kepemimpinan yang baik namun non muslim?”

“Bagaimana jika pemimpin yang asal Islam itu kembali zalim seperti beberapa kepala daerah selevel Gubernur, Walikota ataupun Bupati yang terjerat KPK?”

Aku lantas berontak, tidak mungkin agamaku hanya setengah-setengah seperti itu. Meski kepandaianku dalam hal penelaan Al-Quran sangat dangkal, tapi aku cinta agama ini dengan tetap mencintai teman-teman baikku yang tidak seiman namun baik padaku sejak kecil dulu. Bismillah, aku coba ber-ijtihad semampuku.

Beruntung saat ini jaman digital, akses informasi tidak lagi sulit. Kucari referensi dari NU, organisasi Islam yang paling kupercaya. Dan pandangan mereka menyejukkan hatiku atas pendapatku sebelum-sebelumnya. Di sini dan di sini sumbernya.

Mengetahui hal ini selain lega, di sisi lain saya juga tetap sedih melihat cukup banyak orang yang bergaris keras termasuk beberapa kenalan berpikiran dan bersikap keras terhadap Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. Beberapa orang garis keras ini bahkan hitungannya adalah teman baik bahkan keluargaku sendiri.

Saya cinta perkawanan dan persaudaraan kita teman-teman seiman, tapi tidak lagi jika orientasinya adalah untuk mengubah identitas kebangsaan kita, ciri khas kita tumbuh rasanya bukanlah langkah yang bijak bahkan terkesan munafik, karena ingin melupakan pilar rumah tempat kita tumbuh. Tanpa jelas ingin menjadi apa keinginan kalian. Ingin membuat negara agama? Seperti negara yang mana? Negara baru yang dalam imaji kalian yang parsial dan emosional?

Bukankah lebih baik Indonesia yang sudah ada sejak dulu hingga sekarang sebagai warna nusantara yang damai, tanpa mengusik keyakinan kita masing - masing terhadap keimanan dan ketuhanan?

Pada akhirnya, saya tetap berharap pemerintah bisa semakin tegas menyikapi persoalan seperti ini. Buat garis keras yang ingin mengubah keberanekaragaman yang harmonis di negeri ini sejak dulu, sebaiknya pergilah dari Indonesiaku. Karena bukan lagi Indonesia namanya jika kita tidak bisa berdamai dan berkawan dengan perbedaan keyakinan.

Tengoklah masa kecil kita mungkin di usia SD di saat kita mulai bisa mengingat tentang makna perkawanan, kita umumnya sudah terbiasa berkawan dengan teman-teman dari keyakinan yang berbeda tanpa saling menjelekkan-jelekkan keyakinan kita masing-masing.

Saya jadi ingat kawan SD-ku Rubeno Gerald Pantau. Dia salah satu kawan baikku yang kuingat hingga saat ini saat masih bersekolah di SD Mangkura 1 Makassar. Kita tertawa bersama, naik sepeda bersama, main bersama. Momen itu hanyalah satu di antara sekian memori perkawanan dengan teman-teman baik lintas agama, budaya, bahasa hingga aksennya.

Meski berbeda, kita tetap Indonesia yang bisa saling percaya saat saling memunggungi sekalipun. This is our beloved nation, our lovely Indonesia. Common, love this country, like this country love you with its beautiful nature and diversity.

Pada negara, kutitipkan pesan sebagai anak bangsa yang cinta negeri ini dengan keanekaragamannya, “Mohon lebih tegaslah dengan apapun konsekuensinya kepada siapapun yang ingin mengubah bahkan menghapus Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika di negeri ini."

Demikian sementara…

Bogor, 21 November 2016

#Harike2MogokberFB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!