CHAPTER 324: PRESTASI TIMNAS REFLEKSI KETIDAKADILAN SEBAGIAN KITA

 Terima kasih, timnas. Kalian sudah maksimal, dan yang terpenting bisa mengingatkan kita kembali sebagai satu bangsa. 

Terima kasih, timnas. Kalian sudah maksimal, dan yang terpenting bisa mengingatkan kita kembali sebagai satu bangsa.[/caption]

Timnas Indonesia kembali terpuruk untuk kelima kalinya di partai puncak AFF. Buat saya, perjuangan timnas sudah sangat maksimal, dan yang terpenting bisa menyatukan Indonesia lagi, meski hanya sesaat.

Saat pluit 45 menit babak kedua leg kedua ditiupkan di Rajamangala Stadium, serta merta Indonesia kembali pecah seperti sedia kala. Kalangan nyinyir pun bersorak-sorai mencibiri pencapaian timnas. Sesaat terasa wajar, karena itu juga menunjukkan kerinduan mereka agar Indonesia bisa jadi juara di level Asean.

Setelah ditelaah, barulah dilihat ketidakwajarannya. Ya, perjuangan itu perlu proses dan kesabaran demi menuai hasil yang diharapkan. Petuah bijak dari jaman doeloe menyebutkan, “Jangan ambil keputusan di kala marah atau emosi menggelembung di jiwamu. Keputusan terbaik tidak lahir dari jiwa dan pemikiran yang keruh.”

Mari sejenak mundur ke belakang tentang proses pembentukan timnas, agar lebih objektif menilai. Timnas terbentuk kabarnya hanya dalam kurun waktu tiga bulan, setelah proses pembekuan PSSI dan sanksi dari FIFA telah dicabut. Pilihan pemain pun terbatas, karena tiap klub profesional hanya membolehkan maksimal dua pemainnya untuk ditukangi pria kelahiran Austria berusia 67 tahun, Alfred Riedl.

Melihat itu, tentu kita berharap ada bintang jatuh yang memberikan aura keberuntungan buat timnas menuju tropi juara. Satu hal yang kita lupakan adalah proses.

Mencibiri pencapaian timnas di piala AFF 2016 rasanya tidak adil, itu tidak menunjukkan rasa kebersamaan kita sebagai bangsa.

"Hmm, bangsa yang mana yah?", mungkin ini pembelaan di kalangan nyinyir…

Sebagian kita selalu ingin hasil instan, termasuk dalam hal cara pandang, pengambilan keputusan hingga bersikap dan bersuara.

Kita lupa tidak ada manusia yang sempurna, kesalahan pasti dilakukan. Mestinya, janganlah terburu-buru menilai kesalahan setiap orang atas dasar suka atau tidak. Pertimbangkanlah perspekstif lainnya termasuk proses perjuangan maksimal dan upayanya untuk menghasilkan yang terbaik.

Timnas memang kembali kalah hari ini, tapi petiklah pelajaran, jika kemenangan juga butuh kesabaran dan persatuan. Saling mendukung dalam kebaikan, jangan terburu-buru memvonis tanpa dasar argumen dan fakta riil. Kekalahan hari ini bukanlah tanda seru, ini hanyalah koma yang lain untuk kembali tegak. Timnas boleh kalah seribu kali, tapi kita jangan pernah kehilangan semangat juang, keadilan dan rasa cinta untuk mereka.

Karena perjuangan mereka adalah refleksi perjuangan dan cara penghargaan atas diri kita sendiri. Mereka adalah Indonesia, seperti halnya kita. Adillah buat diri sendiri dan orang lain seperti yang diterakan di Surah An-Nisa 4:135.

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadapnya dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Jika kamu memutarbalikkan  (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan.”

Atau di Surah Al-Maidah 5:8, “… Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu golongan mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…”

Hmm, sudahkah kita adil pada sesama, saudara sebangsa?

Bogor, 18 Desember 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!