CHAPTER 327: SEPENGGAL CERITA SECANGKIR KOPI SOAL LEBARAN 2020 DAN PANDEMI

 

Seorang kawan baik pernah berkata beberapa waktu lalu (mungkin di sekitaran Maret 2020), "Gw pikir setelah pandemi ini datang, kita bakalan bersatu menghadapi musuh yang sama, ternyata gw keliru, situasi malah menjadi-jadi dan makin kusut."

Sebuah pernyataan yang ada benarnya. Dalam sudut pandang kelas secangkir kopi setidaknya ada beberapa klasifikasi masyarakat dalam item besar, yaitu cebong, kampret, kadrun, abai, terisolir, pengen merdeka, dan pengen ganti identitas negeri ini dengan warna baru.

Itupun kalau dipecah lagi tambah banyak lagi, berikut di antaranya:

  • Cebong, minimal ada tiga golongan, yaitu masih setia dan mendukung terus, biasa saja dan netral (kalau bagus didukung, kalau jelek dikritisi), dan golongan yang mulai kecewa semakin menyusut harapannya pada otoritas yang dipilihnya.
  • Kampret, minimal ada dua golongan, yaitu yang berafiliasi sambil belajar dan menyusun kekuatan untuk tampil lebih baik di masa depan, serta golongan kampret militan sejati yang terus menggedor dan tidak mengendurkan eskalasi serangan pernyataan ke otoritas terpilih.
  • Kadrun, minimal ada dua, yaitu para kampret sejati yang keluar dan membentuk identitas baru untuk terus menyuluhkan bahkan mengorbankan perlawanan kepada otoritas terpilih, serta kadrun yang menyamar yaitu para oportunis kekuasaan yang sejak lama menyimpan asa dapat menduduki posisi 01 dan singgasana utama negeri.
  • Abai, yang ini agak terserabut mulai dari para "SJW" yang penting asal teriak, hingga masyarakat yang cukup terdidik, cukup melihat, cukup mendengar, dan cukup membaca, tapi tidak mempedulikan soal pandemi dan protokoler yang ditetapkan, hingga golongan lainnya yang sudah bosan dengan situasi yang ada dan akhirnya kembali ke aktivitas normal dengan segala konsekuensinya.
  • Terisolir, coba deh masukkan kata kunci "wilayah tanpa listrik" di Google, ternyata masih ada ratusan desa dan jutaan masyarakat di negeri ini yang belum tersambung listrik hingga setelah puluhan tahun (klaim) kemerdekaan. Jadi jangankan soal pandemi dan bahayanya, persoalan hidup mereka jauh lebih mendasar dan terbelakang lagi.
  • Nah, soal dua golongan terakhir yang disebut tidak akan dijelaskan lebih lanjut, karena terkait isu sensitif dan identik dengan kekerasan fisik yang tentu jauh dari kata indah dan rasa cinta serta sayang-sanyange.

Dulu salah satu secuil artikel di salah satu media massa terbesar di negeri ini, seorang intelektual bertitel Doktor (S3) pernah memaparkan jika negeri ini sudah gagal sebagai negara meskipun secara kebangsaan masih ada harapan.

Pandangan yang ada benarnya, jika menghubungkannya dengan kondisi hari ini, ketika pemegang otoritas negara menetapkan sebuah kebijakan mengenai cara melawan dan mengatasi pandemi, tidak semua pemegang otoritas wilayah turunannya melanjutkan tongkat estafet kebijakan hingga ke setiap pintu masyarakatnya masing-masing.

Imbasnya yah jangan kaget kalau situasi jadi makin kacau, ditandai dengan data korban baru pandemi yang melonjak cukup tajam dalam sepekan terakhir, bahkan ada dua hari yang nyaris mencapai 1.000 kasus baru per hari.

Sebaliknya di negara lain, dalam hal ini Jepang mulai menunjukkan keberhasilan mereka dalam mengatasi pandemi, secara negara, bangsa, dan masyarakatnya.

Coba deh masukkan kata kunci "Jepang Corona" di Google pada hari artikel ini dibuat, Senin 25 Mei 2020.

Jadi di sana kabarnya pemerintah Jepang sudah akan mencabut status Darurat Nasional. Kunci keberhasilan Jepang mengatasi pandemi dikabarkan bukan karena kepiawaian pemerintahnya.

Meski tanpa lockdown, semi lockdown kayak di negeri ini, ataupun pengetesan massal, namun Jepang bisa mengatasi pandemi karena kekuatan masyarakatnya untuk berdisplin melindungi diri sendiri.

Mulai memakai masker dan menjaga jarak di ruang publik, menjaga kesehatan dan menghindari obesitas melalui olahraga dan menjaga pola makan, hingga keputusan awal untuk menutup sekolah.

Lalu apa yang bisa kita petik dari cerita keberhasilan Jepang? Sederhananya, pandemi ini bukanlah ajang gagah-gagahan untuk menyetujui, mendukung, abai, atau membangkang pada kebijakan otoritas terkait yang disahkan oleh undang-undang negara ataupun tokoh masyarakat yang dilindungi oleh undang-undang budaya tidak tertulis selama ratusan bahkan ribuan tahun perjalan negeri ini.

Pandemi di sini ataupun di Jepang sebenarnya sama, ini adalah perang melawan diri kita sendiri; mau tidak kita hidup lebih sehat, lebih lama, dan lebih pintar dengan cara yang paling mudah?!

Apa itu? Mulailah pakai pikiran dan hati untuk melindungi diri kita masing-masing sebagai aset paling berharga yang telah Tuhan Yang Maha Esa telah berikan pada diri kita masing-masing.

Selamat berjuang, para saudara sebangsa setanah air.

https://www.youtube.com/watch?v=_peUxmqFl7w

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!