CHAPTER 38: SHALAT JUMAT DAN DILEMA DALAM DIRI DI TENGAH PANDEMI


Minggu lalu setelah sekian lama, saya tiba-tiba merasa rindu Shalat Jumat, tujuannya Masjid di kawasan perumahan saja.
Saat tiba di pintu Masjid, tiba-tiba saya ragu-ragu, ada dua kali saya jalan antara pintu samping dan pintu belakang, sampai akhirnya memilih di selasar saja di luar bangunan Masjid, tapi ada dua ubin ukuran lebarnya, jadi bisalah menaruh Sajadah.
Saya urung masuk, karena khawatir.
Meski ada batasan lakban sebagai tanda pembatas jarak antar tiap orang, tapi saya lihat sendiri dua shaft tetap seperti biasa sebelum era pandemi datang.
Kekhawatiran saya pun terjadi, ternyata menjelang waktu Shalat, tidak ada lagi batas antar tiap jamaah. Saya jadi bersyukur memilih Shalat di selasar saja.
Sang penceramah sempat menurutkan pada khutbahnya, Masjid harus terus diramaikan meski di tengah pandemi, asal tetap mematuhi protokoler kesehatan.
Saat dia bilang begitu, rasanya ingin menimpuknya pakai sendal, tapi tentu saja urung. Itu sama saja dengan bunuh diri konyol. Ini bukan sekadar ritual, tapi sudah jadi budaya pemegang mick di depan mimbar adalah pemegang otoritas kebenaran, tanpa boleh ada interupsi.
Kenapa saya kesal? Karena saat dia ngomong soal patuh himbauan protokoler, tepat di depannya, orang-orang duduk tanpa jarak.
Lantas saya coba berdamai dengan diri sendiri, iya toh ini memang profesinya, dengan cara itulah budayanya dia akan pulang dengan membawa amplop sebagai rezeki untuk keluarganya tercinta di rumah.
Pagi ini, Jumat 17 Juli 2020, saya kembali urung Shalat Jumat, saya memilih untuk kembali Shalat Dzuhur saja sendiri.
Pukul setengah 11, saya bergegas tinggalkan rumah, harus kejar waktu untuk bisa tiba di kawasan Gading Serpong sebelum jam makan siang, sesuai janji pada seorang kawan baik yang telah bersedia berulang kali jajan di Dapur Bu Yon.
Bahkan bersedia mempromosikannya, "Terima kasih sangat, Pak Bro." 😅🙏🙏
Jalan memang agak sepi ke sana, namun jangan bilang perilaku berkendara, pemotor yang ngawur, ataupun yang bawa mobil menggerakkan setirnya seolah Sultan lagi menunjukkan simbol pencapaiannya di bumi manusia.
Ya, aku telat sedikit, aku baru tiba pukul 12:06 WIB.
Sesudah semampuku memacu Bumblebee secepat yang aku bisa, namun tetap mengepankan faktor defensive riding yang aku pahami.
Pulangnya, aku melintasi beberapa Masjid berukuran besar di pinggiran jalan Serpong, hingga aku lantas berpikir, "Hmm, pandemi ini memang jauh dari kata usai."
Tidak mungkin memang rasanya Shalat Jumat di Masjid-Masjid untuk publik dengan jaga jarak. Ini bukan soal ritual semata, ini adalah budaya yang sudah berjalan sangat lama di negeri ini.
Siang pun semakin terik di kawasan Serpong, kawasan banyak orang kaya secara materi menetap, dan meski banyak pohon di sini memang selalu terasa panas.
Panasnya sinar mentari seperti seirama dengan panas akan kemana arah pandemi dan penangannya, di saat sebuah informasi dari Lambe Turah tersaji.
Kita pun memang hanya bisa bergantung pada interpretasi langkah preventif dengan cara-cara masing-masing.
Tidak ada yang lebih benar, dan biarkan lagi waktu yang menjadi penentu ke depannya, mana jawaban yang lebih baik...
Bogor, 17 Juli 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!