CHAPTER 37: TENANGLAH, HIDUP AKAN KETEMU JALANNYA!



Semalam saya nongkrong nyaris sampai jam 11 malam di rumah sosok yang mungkin saja adalah sahabat terbaik yang paling klop di hati yang ada di pulau ini.

Hmm, mungkin sudah sekitar 15 - 16 tahunlah usia perjalanan keakraban kami.

Sebagian orang mungkin tidak percaya, tapi aku salah satu orang yang percaya dengan pandangan budaya tentang Shio, dan bisa jadi salah satu alasan kami akrab, yang kalau ngobrol sampai suka lupa waktu, karena kami sama-sama Shio Kelinci.

Jujur, dari kecil aku suka "mengikat" kesamaan atau setidaknya nilai keakraban dengan seseorang, karena persamaan Shio dan Zodiac.

Dalam banyak hal, sejauh ini, aku merasa banyak benarnya juga, dan asyiklah dijadikan framing untuk membingkai potret-potret tentang banyak rajut keakraban di rentang waktu jejak-jejak yang pernah dilalui.

Beberapa hari sebelumnya, Eyank (demikian sapaan akrabnya), bernada gusar agak memotong pembicaraanku di telepon, "Elu gak boleh ngomong begitu, Der. Omongan itu doa."

Dirinya protes, waktu saya bilang, "Gw itu enggak bisa kaya."

Sejak malam kemarin selepas waktu Magrib, Kamis 16 Juli 2020, waktu bergegas dari kawasan Simprug ke arah rumahnya, perdebatan-perdebatan kecil terjadi di kepalaku tentang hal itu.

Dan rasanya memang pengen buat narasi ini, untuk mengikat sebuah jejak peristiwa yang baik untuk disimpan di memoriku yang terlalu sering berotasi, dan sudah membudaya di sana.

Gw memang enggak bisa kaya, dan bisa jadi itu memang sebuah visi dan keinginan yang dipilih secara sadar.

"With great power comes great responsibility," salah satu kata-kata legendaris dari Uncle Ben ke Peter.

Karena hal itu pula menjadi salah satu alasan, kenapa gw lebih suka sejak SD sampai di zaman Tamalanrea KM.10, gw suka sekali melabelkan diri sebagai "ababel", anak bangku belakang.

Dan kini gw melabelkan diri sebagai "kelas secangkir kopi."

"Maksud elu gak bisa kaya bagaimana, Der? Kan elu punya Yonna dan anak-anak elu sekarang?!" kaya Eyank semalam.

"Yes, gw gak bantah kalau tolak ukurnya itu, tapi kalau perspektifnya adalah kekayaan materi dan popularitas, hmm, rasanya direction gw memang gak ke arah sana. Gw lebih suka melakukan hal-hal yang kecil dan sederhana, yang gw senangi, ketimbang melakukan hal-hal besar yang bisa membuat gw kaya secara materi dan bisa meraup popularitas. Gw lebih jalan yang sunyi tapi gw sangat nikmati, ketimbang di tengah keramaian yang membuat gw kerap merasa terasa tersesat di tempat yang salah dan popularitas yang lebih pas sebagai anak yang suka duduk di bangku depan."

Gw ingat, waktu zaman di Tamalanrea km. 10, gw pernah merasa hebat. Setiap kegiatan yang aku lead, pasti sukses dan untung.

Seingatku, di generasi sebelum-sebelumnya belum pernah ada yang lakukan dan capai.

Sesaat aku sempat bangga dan merasa besar, tapi alih-alih melanjutkannya, gw malah suka kembali ke jalan yang sunyi, temaram, dimana gw jadi bisa melihat diri sendiri, tapi tidak bagi orang banyak.

Gw suka ada di posisi itu, jiwa anak bangku belakang yang abadi, menurutku.

Pernah ada dua kenangan juga soal itu. Suatu ketika ada beberapa kawan baik dari jurusan lain di FISIP-UH yang seangkatan datang menghampiriku, "Kau mi paling cocok naik jadi Senat di masata', Der. Kalau kau mau, nanti biar kami yang bergerak bantu wujudkan itu."

Saya cuma bicara dalam hati, "Mereka tidak cukup dekat berarti, karena kalau mereka dekat, pasti tidak menganjurkan dan mengusulkan hal itu."

Pernah juga ada momen dimana justru kawan-kawan dari kampus lain yang mengusulkanku jadi Sekjen IMIKI, jadi aku sempat naik di kursi kandidat, sebelum sesaat kemudian mengumumkan mundur dari kesempatan itu.

Ya, itulah kenapa gw bilang gw susah kaya secara materi, dan jauh dari upaya mendapat elu-elu popularitas.

Pernah ada sebuah perusahaan besar yang mengundangku sebagai "Influencer", sesaat aku bangga dengan julukan itu, tapi karena itu pulalah sudah beberapa kali undangannya kemudian gw memilih untuk tidak datang lagi.

Gw gak pernah pengen jadi orang yang berpengaruh, apalagi panutan buat orang lain. Bahkan pada orang sedekat bini dan anak-anakku, saya hanya ingin menjadi kawan baik atau sahabat baik mereka yang berjalan beriringan, ketimbang seorang pemandu yang berada di depan.

Gw lebih suka jadi kelas secangkir kopi, hingga sejauh ini.

Ah, itu dulu. Adzan Subuh baru selesai berkumandang di sekitar kawasan rumahku, saatnya menghadap, lalu mengerjakan kembali amanat kerja dari seorang kawan, sebelum nanti paling telat jam 10 sudah harus meluncur ke arah Banten mengantar pesanan seorang kawan baik di Dapur Bu Yon.

Mau tauk gw siapa sekarang ini? Dalam 2 minggu terakhir, gw adalah tukang ojek pengantar makanan dari Dapur Bu Yon.

Tertarik untuk jajan di Dapur Bu Yon? Sejauh ini semua pelanggan sih bilangnya suka dan puas.

Itu saja dulu.

Bogor, 17 Juli 2020
04:53 WIB

TTD,

Tukang Ojek Dapur Bu Yon

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!