CHAPTER 104: DI TITIK MENJADI MANUSIA KELAS B



Dalam narasi sebuah vlog di balik panggung persiapan Indonesia YouTube Rewind 2020, aku melihat istilah mengenai manusia kelas B yang belum merdeka bahkan dari dirinya sendiri. 

Aku mendeskripsikan yang dimaksud pembuat narasi itu adalah anak manusia yang masih harus berjibaku untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, bahkan untuk hal-hal yang mendasar membayar tagihan-tagihan secara umum. 

Dalam kamus hidup aku, itu mungkin seperti tagihan listrik, internet, biaya sekolah anak-anak, dan kebutuhan hidup harian secara umum. 

Ya, hal seperti ini sepertinya sudah jadi problem atau masalah umum banyak orang, apalagi sejak badai disrupsi dan pagebluk datang dalam dua tahun terakhir sampai ada timbul istilah "manusia rebahan". 

Hidup yang semakin sulit, bahkan untuk mengejar biaya kebutuhan dasar yang di sisi lain semakin meninggi di saat kemampuan atau amunisi diri ternyata tidak cukup tinggi untuk tetap bertarung di ranah sistem yang tengah berjalan, namun mungkin semestinya kita manusia biasa yang acapkali pongah ini tidak boleh melupakan unsur karunia Tuhan. 

Siapa yang sangka misal seorang anak penjual bakso ikan bernama Dimas Ramadhan kemudian bisa membalikkan garis tangan kehidupan hanya karena sebuah viral di aplikasi Tik-Tok, lalu diangkat seperti menjadi adik angkat seorang selebritis kondang setinggi Raffi Ahmad, hingga hanya dalam hitungan bulan, derajat prestise dan kualifikasi kapasitas ekonominya pun membumbung tinggi. 

Hanya dalam hitungan yang singkat, Dimas bisa masuk jalur kuliah dan memiliki pundi-pundi yang kata narasi-narasi di vlog Rans Entertainment bisa membeli mobil dan sekaligus rumah senilai Rp 1 - 2 miliar di tahun 2021 mendatang. 

Ya, kita tidak pernah tahu kapan nasib baik akan mengetuk pintu di depan kita, mempersilakan kita masuk ke dalam sebuah ruangan baru yang jauh lebih tinggi secara nilai prestise umum dan kapasitas kemampuan ekonomi yang sedemikian tinggi. 

Apa sih kuncinya? Dari sebuah narasi dari seorang bad boy bernama Denny Sumargo dikatakan, kita hanya perlu berterima kasih pada Tuhan pada setiap hal yang ditimpakan ke kita, bahkan dalam sebuah narasi kemalangan sekalipun. Percayalah, semua hal yang terburuk yang kita lalui sekalipun akan selesai lebih cepat. Kira-kira begitu makna yang aku dapat dari narasi seorang Denny Sumargo. 

Dari kemarin sore hingga pagi ini aku mikir, ya, ujian hidup yang kita alami dalam ketidakenakan seperti saat ini bisa jadi adalah cara Tuhan menguji kita, apakah kita bisa dan layak naik ke kelas kehidupan yang lebih tinggi, atau mending tetap di posisi yang sama?!

Ya, tidak ada satupun mahluk di muka bumi ini yang tentunya tahu dan memahami bagaimana Tuhan berpikir dan bertindak. 

Lantas bagaimana jika ternyata dari ujian yang diberikan Tuhan berkali-kali pada kita, ternyata berujung pada hasil ternyata memang kita belum layak dan patut untuk naik kelas? Merutuki hidup, malas menjalaninya lagi dengan semangat, pasrah dengan hasil dan situasi yang ada atau bagaimana?

Kata sebagian orang bijak, rencana Tuhan pasti yang terbaik. Jika demikian benar adanya, berarti apapun yang kita alami saat ini masing-masing adalah sudah cara dan karunia terbaik dari Tuhan untuk masing-masing dari kita. 

Lantas bagaimana menyikapinya? Cara terbaik ya dijalani saja, terkadang kita mungkin harus menghentikan proses berpikir dan berkeinginan, biar potensi munculnya rasa dan respon yang berlebihan itu tidak terjadi, dan lalu membelenggu kita untuk tetap berlapang dada, serta tidak berupaya lebih jauh membuat kabut lebih menyelimuti isi pikiran dan hati kita. 

Ya, pada akhirnya memang kita harus menyadari tidak semua orang yang diberi kemampuan super untuk bisa berlebih untuk dirinya sendiri dan lantas berbagi kebahagiaan dengan banyak orang. 

Kita hanya perlu menjalaninya sebisa mungkin tanpa ambisi yang berlebih, jika kemudian ternyata bisa diberi karuniaNya untuk naik kelas, rasanya waktu juga yang akan membantu kita untuk bersikap di kelas yang lebih tinggi. 

Kalau kata Bambang Soesatyo, setiap masalah hanya ada jalan keluarnya, yaitu diselesaikan oleh kemampuan diri sendiri, atau diselesaikan oleh waktu. 

Jadi ya, daripada misuh-misuh dan membesarkan rasa dongkol di dalam hati dan pikiran, mending bawa asyik saja. Percayalah, di saat ada banyak orang yang lebih bahagia kita, di belahan dunia yang lain ada banyak orang lain juga yang lebih susah daripada kita.

Ya, sebagai penutup, tadi selepas Subuhan dan ngaji selembaran, saya berpikir jika Tuhan adalah semesta itu berarti seluruh hal tanpa terkecuali di alam raya ini adalah bagian dari kuasanya, jadi tinggal tergantung diriNya-lah ingin memberikan dan menjadikan kita bagian yang mana dari diriNya. 

Kalau sudah begitu, bagian manalah lagi yang tidak perlu disyukuri, karena dalam senang ataupun sedih, ternyata kita memang bagian dari Semesta itu sendiri. Bersyukurlah dengan segala rencana dan takdirNya. 

Itu saja meracau pagi ini, 29 Desember 2020, pukul 06:56 WIB.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!