CHAPTER 101: AKU DAN IBUKU




Tanggal 22 Desember 2020, banyak unggahan foto di sosmed tentang perayaan hari ibu di Indonesia. Jujur, aku cemburu, karena aku tidak merasakan dan tidak pula ingin merayakan hal yang sama. 

Aku dan ibu adalah sesuatu yang jauh. Aku mungkin durhaka, tapi aku berkata jujur, sosok ibu jauh di hatiku, saat ini bahkan mungkin sejak lama.  

Waktu aku masih kecil, ibuku yang aku selalu sapa "Mama" sering kali bilang, "Aku dan Derry itu gak mungkin cocok, kami sama-sama keras, karena wetonnya sama yaitu Senin Legi."

Aku tidak tahu apakah itu memang kepercayaan yang sifatnya valid dalam budaya Jawa Timur (karena ibuku orang Malang), mitos Jawa Timur-an, atau malah kemudian jadi doa yang terkabulkan karena sering diucapkan Mamaku, tapi kami memang jauh pada kenyataannya. 

Aku coba mengingat-ingat kapan aku mulai kehilangan sosok ibu yang penyayang, dan ingatanku selalu terpaku pada momen di Hartaco Indah, di rumah kontrakan kami yang ada di sebelah Selatan kota Makassar. 

Saat aku pulang sekolah kelas IV SD, Mamaku sudah tidak ada di rumah. Dia pergi ker Jakarta, aku dapat kabar dia mengejar cintanya yang baru. Aku tidak tahu persisnya seperti apa, tidak pernah kutanyakan juga ke Mamaku. Lagipula, aku juga tidak percaya Mamaku akan berkata jujur soal itu. 

Ya, soal kejujuran itu juga yang membuatku merasa setelah momen Mamaku pergi itu, kami benar-benar telah jauh, dia seperti semakin menghilang mendapat tempat istimewa di hatiku. 

Saat Mamaku pergi di umurku 10 tahun kelas IV SD, aku memeluk sebuah tiang kayu di depan rumah kontrakan di kawasan Parang Tambung - Makassar, aku menangis sejadi-jadinya, dan rasanya dari situlah aku rasanya aku percaya hidup dimulai dengan keras dan tinggal mengandalkan diri sendiri untuk belajar hidup. Selebihnya adalah kebetulan orang-orang yang tengah peduli di sela-sela kesibukannya, lalu lupa saat mereka harus melanjutkan hidup untuk urusan yang lain. 

Tidak ada lagi teman dan sahabat di hati, tidak ada lagi Mama. Bahkan ketika aku kemudian coba pindah di semester kedua SMP kelas 1 di tahun 1989 ke Jakarta ke rumah kontrakan Mama dan suami barunya, aku sadar jika itu kemudian adalah kesalahan langkah dan keputusan. 

Mama bukan lagi sosok Mama yang dulu aku kenal dan sayang sebelum pergi; hubungan dan ikatan emosional kami antara ibu dan anak yang aku rasakan tidak lagi sama. Sudah berubah, dan Mamaku juga sudah punya kehidupan lain bersama suaminya yang baru. 

Tahun 1991, setamat SMP, aku kembali ke Makassar dan kembali pada kesendirian. Ya, rasanya aku sudah mulai belajar jadi laki-laki yang tangguh dan keras setelah itu. Di jalan kota Makassar, para romeo dan pujangga berhati rapuh terlalu mudah untuk mati di jalanan yang keras itu. 

-

Setelah aku menikah dan punya anak, bukan sekali dua kali aku berusaha memperbaiki hubunganku dengan Mama, tapi ia terasa menjadi semakin asing dan jauh. Kami jadi semakin sulit dekat dan berbicara dari hati ke hati. 

Berjauhan justru membuatku lebih tenang dan bahagia, ketimbang kalau dekat hubungan kami terasa hambar dan jauh, serta mudah ribut dan berselisih pendapat. 

Ya, aku sampai pada sebuah konklusi, tidak semua orang yang punya hubungan mulus dan ikatan emosional yang mendalam dengan ibunya. Salah satunya aku. 

Banyak orang bilang, setiap anak pasti berhutang budi dan berhutang nyawa pada ibunya yang telah melahirkannya, tapi mungkin banyak juga orang yang lupa, jika kehadiran anak adalah buah dari keinginan dan perbuatan kedua orang tuanya tanpa diminta. 

Anak adalah akibat dari sebuah sebab, ia adalah buah dari sebuah proses yang tidak ia minta sepakati dari awal, anak hadir di ujung perbuatan. 

Aku tidak ingin melawan dan membantah premis atau pandangan umum itu, tapi setiap pandangan manusia pasti tidak sempurna terlepas banyak orang yang kemudian menyepakatinya. 

Aku dan ibuku, aku sayang tentu, tapi kami memang mesti jauh supaya tenang dan dosa tidak lebih bertebaran di setiap pertemuan. 

Itu saja.

Bogor, 23 Desember 2020
15:14 WIB 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!