CHAPTER 162: NGOBROLIN PAGEBUK A LA SECANGKIR KOPI



Pagebluk makin meninggi, kemarin pecah rekor. 

Saya sih sudah menduga sebelumnya, arus mudik kemarin pasti jadi bom waktu. 

Yah, agitasi2 khususnya yang berbasis seolah-olah dalam kemasan "religi" menurutku jadi salah satu biang utama. 

Jadi ingat beberapa hari lalu ngobrol dengan seorang kawan yang agnostik. Daku sendiri juga dalam bereligi juga cenderung sebagai upayaku berterima kasih pada Pemilik Hidup atas segala berkahNya, tidak lebih. 

Tidak berharap Surga juga, masuk syukur, enggak juga yah mau bagaimana lagi. Toh, hidup sudah berulangkali membanting dan menghempasku, kalau terjerembab dalam kubangan mah bukan hal baru dan tabu. 

Apakah menyerah? Enggak juga, alhamdulillah Tuhan memberikanku kapasitas energi dan keyakinan yang cukup. Toh, per minggu ini juga aku mulai nguli yang pulangnya malam dan bersahabat dengan kesunyian dan kegelapan di antara kawasan Pengasinan dan Tugu Macan.

Itu daerah yang gak bisa dibilang aman dalam banyak hal, karena lokasinya gak jauh dari Sasak Panjang, yang acap kali dinisbikan sebagai sarang motor-motor curian. 

Sebelum berangkat kerja, aku juga masih mengurusi satu kerjaan yang lumayan buat tambah2 selama setahun terakhir. Masih juga menunggu kabar soal sebuah kesempatan project, mudah2an sih dapat karena aku memang cukup berharap, tapi kalau pun belum rezeki yah hidup toh harus terus berlanjut. 

Seorang kawan bilang, kuat juga daku gak sampai bunuh diri. Buatku, buat apa?! Siapa yang menjamin ujian akan selesai setelah mati di sini. 

Ya, itulah senangnya daku menjalani filosofi hidup sebagai petarung, walaupun hanya sekadar kelas secangkir kopi. Semisal kemarin, hariku sudah dimulai sebelum jam 4 pagi; mencuci piring, mencuci pakaian di mesin cuci dan menjemurnya, membuang sampah, dan menyiram tanaman. Setelah setelah daku lari pagi sendiri, cukup 31 menit tapi di beberapa titik elevasi yang lumayan, termasuk di tanjakan sepanjang sekitar 400 meter. 

Jadi nyerah alhamdulillah belum daku. Kawan baik yang memberikan daku kerjaan kemarin juga memberikan masukan, "Cobalah lebih positif setiap bangun pagi, dan lebih tekun." 

Senang mendengar masukannya...

Kembali soal ngobrolin pagebluk a la kelas secangkir kopi. 

Hidup memang terasa semakin sulit; disrupsi dan pagebluk berulang kali kusebut, agitasi2 busuk memperparah, plus filter kita dalam menganalisa pesan yang seolah2 "religi". Padahal, seingatku tidak ada agamanya orang yang tidak berakal. 

Hasilnya, pagebluk semakin parah, semakin banyak pula yang meninggal. Mungkin karena virusnya itu sendiri, atau juga mati karena pikiran dan kekhawatiran. 

Soal pemerintah, yah, sudah lama tidak berharap pada sistem pemerintahan di negeri ini, meski ini tentu masih jauh lebih baik daripada embel2 khayalan sistem pemerintahan a la2 "religi" yang entah pernah dan lagi sukses dimana saat ini?!

Sebenarnya daku sudah sangat malas ngobrolin soal pemerintah yang nampak semakin pontang-panting tambal sulam bermanuver sana-sini. 

Jadi kubuat simpel saja, jalani hidup sebaik mungkin, berhenti mikir yang terlalu jauh (sebaiknya berpikir dan bersikap taktis saja), buat perasaan senang saja (toh, kita bisa mati sewaktu2 entah karena alasan apapun) nikmati hidup (dengan segala pasang surutnya), tetap sebisa mungkin jaga diri (jaga pola makan, jaga kesehatan dengan rajin olahraga, jaga jarak, dan patuhi protokoler standar).

Buat diriku sendiri, aku berusaha sebisa mungkin tidak banyak protes dan mengeluh, kalau bisa malah seminimal mungkin. 

Pada akhirnya, daku percaya di sini ataupun dimana pun nanti, kita akan berjalan sendiri, mempercayai apa yang mestinya dan harus kita percaya, jadi berusahalah tetap nikmati proses kesendirian itu.

Sendiri? Hmm, enggak juga sih. Saya percaya Tuhan akan selalu ada.

-

Bogor, 24 Juni 2021

06:01 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!