CHAPTER 56: BELAJAR HIDUP DARI PEBASKET SOMBONG DENNY SUMARGO


Hidup ini menurutku seperti menangkap kepingan-kepingan puzzle makna yang melintas. Apa yang menarik di benak kita saat melintas akan ditangkap, diurai, dan dijadikan pelajaran hidup. 

Beberapa hari lalu sempat melihat vlog Deddy Corbuzier yang lagi ngobrol dengan pebasket sombong Denny Sumargo. 

Dari vlog tersebut, jadi punya idola "bad boy" baru dan jadi tertarik mengetahui lebih lanjut soal Denny Sumargo. 

Dan berikut hasil penelusurannya...

Ia terlahir dari seorang ibu muda yang berusia 19 tahun di Makassar, dan saat masih di dalam kandungan kedua orang tuanya telah berpisah. Densu sapaan akrabnya baru ketemu sama Papanya saat usianya 25 tahun, dan sehari setelah pertemuan pertama itu Papanya meninggal dunia. 

Dari batu nisannya, nampak jika mendiang Papanya adalah seorang Muslim berdarah Tionghoa. 

Dari beberapa vlog tentang Densu yang membahas kehidupan pribadinya, pebasket sombong itu mengatakan kehidupannya di masa kanak-kanak dengan kondisi ekonomi yang bisa dibilang minus. Ia sampai pernah dititipkan ke panti asuhan oleh ibunya, karena bingung dengan biaya hidup. 

Saat SMA, akhirnya katakanlah karena takdir dan keinginan untuk dapat sekolah yang lebih tinggi, akhirnya dia menggeluti dunia basket. Sebuah dunia yang kemudian mengantarkannya ke puncak singgasana dunia basket nasional sebagai seorang pemain pro dengan enam gelar juara liga dan beberapa penghargaan MVP. 

-

Sampai di situ saja dulu, tapi hal itu lantas mengingatkanku pada beberapa hal dalam beberapa waktu terakhir. 

Seorang kawan lama bilang, hidup itu butuh harta yang berlimpah agar jika ia mati, anak-anaknya tidak akan ikutan mati. 

Sebuah paradigma umum di masyarakat. 

TAPI, potret kehidupan seperti Densu adalah fakta yang membuktikan jika hidup tidak bisa ditaksir dalam satu pandangan yang paling umum sekalipun, seperti pandangan kawan lama saya di atas. 

-

Sebuah postingan di linimasa adik kelasku yang kini menjadi salah satu penulis buku ternama di negeri ini, saya membaca sebuah komentar demikian,"Kalau disederhanakan, sebenarnya syarat seseorang bisa berbahagia adalah jika dia memiliki kekuatan finansial dan atau spiritual. Tanpa dua hal itu, susah mau bahagia."

Lagi-lagi sebuah pandangan umum yang berlaku di masyarakat. 

TAPI, potret kehidupan seperti Densu adalah fakta yang membuktikan jika hidup tidak bisa ditaksir dalam satu pandangan yang paling umum sekalipun, seperti pandangan di linimasa adik kelas yang ternama itu. 

Pertanyaannya, apakah hidup baru bisa bahagia jika kita kaya raya secara materi, memiliki kekuatan finansial, dan spiritual?

Jika syaratnya seperti itu, apakah orang miskin secara materi dan spiritual tidak bisa bahagia, tidah berhak bahagia, tidak boleh bahagia?

Apakah kemiskinan materi dan kemiskinan spiritual harus identik dengan kesedihan, kemuraman, dan hal yang menyedihkan?

Apakah tidak boleh ada kebahagiaan bagi orang-orang yang gagal kaya materi dan spiritual?

Apakah Tuhan sedemikian pilih kasihnya hanya bersedia menempelkan kebahagiaan pada orang-orang yang kaya secara materi dan spiritual?

Jika iya, apakah tidak akan ada tawa dan pasti selalu ada air mata bagi orang-orang yang tinggal di jalan ataupun di pemukiman kumuh?

Hmm, rasanya di kehidupan nyata yang sebenarnya, hanya orang-orang yang merasa paling pintar, paling kaya, paling bijak, dan paling merasa spiritual yang menyempitkan pandangan seperti itu. 

Di bawah mungkin saja suram dan buram, tapi percayalah Tuhan masih bersedia menyediakan senyum dan tawa di sana. 

Tidak percaya? Mari kita belajar sekali lagi tentang orang-orang dengan awal takdir yang kelas seperti Densu. 

Seperti kata penutup Densu di vlognya yang berjudul "Draw My Life - Chapter 1 What The Hear", "Aku adalah seburuk-buruknya manusia, dan sebaik-baiknya dirimu."

Ya, mari belajar hidup sekali lagi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!