CHAPTER 54: BUKAN UNTUK DIKASIHANI PUN UNTUK MENUAI SIMPATI


Hmm, ada pandangan jika menceritakan tentang kejatuhan seperti yang saya lakukan beberapa waktu terakhir adalah bagian untuk mendapat belas kasih dan simpati.

Tidak bisa disalahkan karena opini umum pasti terbuka.

Tapi biar saya ceritakan sekali lagi.

Beberapa saat lalu sebelum badai pagebluk bernama Covid-19 datang, rasanya sejak 2018 kalau ndak salah, saya mulai intens menulis tentang badai disrupsi yang banyak mengubah lanskap berusaha di dunia.

Di era pertarungan yang cenderung horizontal seiring perkembangan dunia digital, maka medan pertarungan semakin terbuka. Siapun pun bisa kalah dan menang kapan saja, dalam hitungan yang sangat singkat bahkan.

Kemarin sore waktu antar pesanan ayam bakar taliwang ke rumah salah satu sahabat paling akrab di tanah batavia, saya sempat mengemukakan kalimat pertanyaan retorik, "Seberapa banyak dari kita yang masih menggunakan SMS (short message service) di HPnya, sejak era WA hadir?!"

Ada banyak pertanyan serupa soal itu, sebutlah Friendster, Blackberry, Path, lalu salah satu kabar teranyar mengenai keputusan Toshiba untuk menghentikan produksi laptopnya.

Ya, lalu datang lagi badai pagebluk bernama Covid-19 yang semakin mengubah lanskap pertarungan semakin porak poranda, bahkan kita jadi bisa lebih tahu jika dua negara yang dinisbikan sebagai yang terkuat yaitu Amerika Serikat dan Inggris pun begitu tidak siapnya dengan skema perubahan medan pertarungan.

Perilaku masyarakat kedua negara yang dinisbikan sebagai paling maju dan beradab itu di era pagebluk ini, kita jadi tahu jika mereka masih banyak yang berperilaku layaknya masyarakat di negeri kita yang masih doyan bersikap, berprilaku, dan bertutur kata yang sengaco pendukung massa baliho terbanyak sepanjang sejarah yang saya tahu.

Lalu buat apa saya bersikap permisif untuk menceritakan kejatuhan saya, dan menceritakan lanskap medan pertarungan yang telah sangat berubah di atas?

Buat yang paham dan kenal sejak zaman dulu, saya belum pernah beranjak dari jalan pedang. Jalan kegilaan hidup yang telah sangat lama saya jalani sejak zaman SMP, mengajarkan saya satu hal penting, "Tidak ada itu yang namanya berhenti dari medan pertarungan selama napas masih ada. Kita boleh lelah, capek, jeda, dan mundur sejenak, tapi HARAM hukumnya untuk berhenti. Setelah beristirahat cukup, maju tetap harus."

Itulah saya dengan senang hati menceritakan kejatuhan ini, harapannya lebih kepada upaya berbagi semangat buat kalangan semenjana lainnya.

Hidup boleh terasa tidak adil, memukul kita berulang kali hingga terjengkang hebat sekalipun. Tapi selagi napas masih ada, jangan pernah berhenti bergerak dan menatap pertarungan hidup dengan wajah serta tubuh menghadap ke depan.

Hadapi, meski amunisi tidak cukup sekalipun. Jangan cengeng, jangan berhenti.

Suatu saat, saya yakin yang mengamini langkah jalan pedang kaum semenjana sepertiku pasti bangga pada diri sendiri, kita sudah bertarung sebaik-baiknya, sehebat-hebatnya.

Seperti yang telah kubilang berulang kali, "Apa bedanya mati dalam keadaan kaya dan kekenyangan, dan mati dalam kelaparan namun diselimuti keberanian seperti mendiang Nestor Paz?!"

Kita hanya butuh tetap menyuluh nyali untuk tetap menyala, selebihnya biar Tuhan yang menentukan hasil dan ganjaran yang pantas atas gerak kita.

Itu saja dulu.

Bogor, 18 Agustus 2020

05:24 WIB

Notes: Petarung dengan karakter gila akut sepertiku tidak perlu dikasihani dan disemangati, karena tempaan jalan hidupnya sampai sejauh ini masih di jalan yang sama dan satu-satunya sejak lama, "Ini jalan pedang, yang cengeng pasti gak kuat!"

#MasihStatusKemerdekaan

#Merdeka

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!