CHAPTER 52: BERHENTI BERANDAI SEJENAK LEBIH BAIK


Beberapa hari lalu, seorang kawan lama yang dapat dikatakan sukses secara finansial atawa bahasa kerennya "financial freedom" bercerita, "Gw pernah berbeda pendapat dengan ibu sendiri. Menurut ibu gw, duit gak dibawa mati, gw sepakat. Tapi gw bilang, setidaknya dengan duit yang berlebih, kalau gw mati, anak-anak dan bini gw gak lantas ikutan mati. Banyak kan yang begitu?!"

Sebuah pertanyaan retorik yang menohokku, cukup telak seperti kena (angin) hantaman kepalan Mike Tyson di masa jayanya. Mohon dicatat kata "angin"nya yang, karena kalau kena hantaman beneran Mike Tyson tentu aku sudah koit, minimal koma. 

Seketika narasi perjalanan hidup yang sudah lalu membentang di imaji. Anjrit, gw lahir dari orang tua yang sulit dijadikan inspirasi, dan setelah itu start-ku bahkan hingga jelang sepertiga usia hidup di bumi manusia doeloe sangatlah sembrawut. 

Aku sudah terlanjur rusak lama, dan kini ada seorang bini serta tiga anak manusia yang menjadi amanat tanggung jawabku. 

Itulah, posisi kawan lamaku di atas sangat kontras dengan posisiku, khususnya saat ini. Bahkan ibu mertuaku berpikir aku mengeksploitasi anak sulungnya saat ini. Tentu saja aku ingin membantahnya, tapi percuma, jadi mending aku menutup saluran komunikasi dengan beliau untuk sementara ini. 

Teringat kata seorang kawan di zaman Tamalanrea KM. 10 beberapa waktu lalu, "Mestinya dirimu jadi orang hebat, tapi malah memilih bersembunyi."

Kata-kata kawanku itu seakan menamparku. Dalam sebuah perjalanan ke Tangerang di kawasan industrinya yang jaraknya 53 km sekali jalan, aku banyak berbicara pada diri sendiri seperti biasa. Hingga pada saat arah balik dari sana, masih di kawasan Serpong dan selepas mengisi bensin motor, aku berhenti sejenak menyimak pergulatan dua suara dalam diri.

"Sebenarnya apa yang kau lakukan dengan melakukan perjalanan sejauh ini, untuk sebuah pendapatan yang tidak seberapa?!" kata sebuah suara. 

"Halah, diamlah. Kau tidak perlu bicara banyak, aku ini bukan superman, hanya orang biasa, jadi berhentilah berandai-andai membahas pendapatan besar atau kecil. Itu bukan hal yang penting buatku saat ini. Apa yang kulakukan saat ini lebih kepada upaya tidak menyerah dengan keadaan, serta memastikan hari tetap bergerak. Jadi sekali lagi, mohon berhentilah berandai-andai," kata sebuah suara yang lain. 

-

Sub Chapter: Dapur Bu Yon (Untold Story)

Kembali ke kata-kata kawan lamaku di awal di atas. 

Ya, aku memang tidak atau belum mampu mewariskan jalan finansial yang aman buat bini dan anak-anaku, jika aku mati dalam waktu dekat. 

Tapi sudah berapa lama, cukup lama, sebandel-bandelnya aku, tapi aku percaya Tuhan akan selalu ada dan lebih besar perlindunganNya ketimbang jaminan kebebasan finansial. 

Setidaknya itu yang aku percaya. 

Lalu jalan hidup saat ini seperti menyampaikan sebuah narasi lain. Hal inilah yang mungkin membuat ibu mertuaku berpikir aku mengeksploitasi anaknya untuk menyuluh dapur kami tetap menyala setiap hari.

Tidak kusalahkan, di kabupaten yang tergolong jauh dari pusat kota provinsi, pemikiran itu lumrah dan bisa dimaklumi. 

Dapur Bu Yon, percaya atau tidak adalah sebuah proses panjang. Buat sampai ke situ, sudah kuceritakan pada beberapa kawan, jika persiapan membawa biniku semata wayang hingga ke titik ini membutuhkan waktu setidaknya tiga tahun terakhir. 

Tidak pernah kutinggalkan, kubantu peluk dan membuka jalan mimpi-mimpinya. Ini bukan proses transformasi yang mudah, percayalah, banyak konflik di dalamnya, karena aku cukup keras berupaya mengubah paradigma atau cara pandang bini tentang usahanya.

Bini biasa juga resisten dan melawan arahan serta pendapatku. Jika itu sudah terjadi, biasanya aku memilih diam, karena tidak ada gunanya tarik urat syaraf hingga puncak dengan bini sendiri. 

Kini, hari ini aku bisa bilang, aku memang tidak bisa atau setidaknya belum mampu memberikan jaminan kebebasan finansial pada bini dan anak-anakku, tapi setidaknya jika aku mati duluan, aku sudah berupaya membuatkan kail pada biniku untuk bertahan dan melanjutkan hidup. Bahkan lebih besar dari perkiraannya. 

Lima pekan terakhir adalah bukti sahih, jika ini adalah pendapatannya yang terbesar seumur hidup. Ia memang belum sepenuhnya mandiri, karena untuk tools promosi dan penjualan sebagian besar aku yang buat. Lalu aku juga yang melaksanakan pengiriman, baik yang diantar sendiri atau melalui jasa pengiriman Paxel atau ojol. 

Bahkan ada pernah pesanan yang aku kirim pakai sepeda. 

Capek? Iya, tapi ini lebih dari sekadar rasa capek, ini masalah tanggung jawab menjalankan amanat sebagai kepala rumah tangga sebisa mungkin sekuat mungkin, serta ini juga upaya untuk tetap menjawab tantangan dan menjaga suluh rasa keberanian untuk tidak menyerah, meski badai disrupsi maha hebat dan badai pagebluk yang memaksakan kehadiran adaptasi kebiasaan baru telah banyak mengubah peta dan medan pertarungan. 

Tapi aku tidak menyerah. 

Kubilang pada diri sendiri, saat semua manusia sekalipun membenci dan menjauhiku pun, atau bahkan berbalik melawanku pun, sudah kutanamkan diri sendiri, "Jangan lupa, Der. Dirimu tidak pernah sendiri, ada Tuhan yang menjadi Pelindungmu sebaik-baiknya dari apapun itu."

Ya, itulah sebisa mungkin aku senantiasa menjaga Shalat-koe, bukan untuk mengejar Surga, tapi cukup sebagai tanda terima kasih pada Tuhan untuk tetap bersedia memelukku kala dingin, menuntunku kala berjalan di dalam gelap, dan mendirikan aku saat terjatuh. 

Cukuplah Tuhan-koe ada, dan sejenak iya, ada kalanya kita memang perlu berhenti berandai-andai. Nikmati saja tiap momennya yang ada dan tengah dihadapi, biar indah dan syukurnya masih terasa.

Itu saja dulu, sudah adzan Isya. 

Sabtu, 15 Agustus 2020  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!