CHAPTER 50: RELIGI, KEYAKINAN, DAN PILIHAN KENDARAAN


Situasi enam tahun terakhir sejak 2014, negeri ini nampak menyampaikan pesan perubahan pesat dan drastis, khususnya mengenai religi dan keyakinan. 

Jika dulu di era periode Orde Baru, masyarakat negeri ini cuma kenal wajah religi mayoritas melalui NU, Muhammadiyah, dan PPP, kini dalam satu dasawarsa terakhir, masyarakat di dalam negeri juga akrab dengan nama MUI, FPI, GPNF-MUI, PKS, hingga Hizbut-Tahrir Indonesia. 

Lalu muncul pula adagium "Islam 212" dari para pendukung gerakan di Monas, Jakarta, yang menisbihkan Habib Rizieq Shihab sebagai Iman Besar Umam Islam versi mereka. 

Diskursus dan wacana pun berkembang, wajah religi pun terpecah pada tataran implementasi. Sama halnya pasca wafatnya Rasulullah SAW, terdapat perbedaan pendapat siapa yang akan melanjutkan tongkat komando pemerintahan Islam. 

Sebagian percaya amanat mestinya dipercayakan pada sahabat utama dalam hal ini Abu Bakar Ash-Shiddiq, namun ada kalangan yang berpandangan Ali Bin Abi Thalib lebih pas. 

Fenomena perbedaan pendapat mengenai warna siapa yang lebih benar di wajah Islam hari ini di Indonesia pun bisa disebut semakin terserabut. Habib Rizieq Shihab dan FPI-nya sendiri nampak bisa menjalin saluran komunikasi yang baik dan konsensus damai dengan MUI, GPNF-MUI, PKS, dan bisa jadi Hizbut Tahrir Indonesia. 

Visi besar membentuk negeri Khilafah bisa menjadi nampan kesepakatan mereka. Dan meski masih abu-abu, nampaknya tidak ada masalah krusial antara FPI dengan Muhammadiyah. 

Dikotomi baru terjadi nampaknya kini kalau FPI bersinggungan dengan ormas Islam terbesar di Nusantara, Nahdlatul 'Ulama (NU) dan juga organisasi politik PDIP.

Tapi itupun bisa jadi dialektika yang belum tentu permanen, mengingat dalam sejarah politik modern di negeri ini, tidak ada yang namanya perseteruan yang abadi, hanya pertautan kepentingan masing-masing pihak yang belum ketemu titik konsensusnya. 

Ya, tidak ada musuh atau lawan yang abadi di panggung politik, demikian kata sebagian orang.

Negeri ini nampak semakin unik dalam satu dasawarsa terakhir. Alih-alih setelah era pandemi Covid-19 hadir, Indonesia yang acap kali dinilai terbelakang dan tradisional ketimbang Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa, justru nampak lebih santai dan punya daya tahan tersendiri, serta dalam satu perspektif yang tidak bisa dijelaskan secara logis, bisa disebut lebih mature atau dewasa ketimbang Amerika Serikat dan negara-negara besar di Eropa.

Ya, tidak bisa dijelaskan secara logis, karena coba saja masukkan kata kunci "masyarakat Yogyakarta miskin bahagia" di mbak Google dan akan ketemu artikel yang menjelaskan bagaimana masyarakat Indonesia yang meski miskin secara harta dan aset materi, namun tetap kaya kebahagiaan menjalani hidup.

Dalam perspektif kelas secangkir kopi pun, perkembangan wacana religi dan keyakinan di Indonesia mengajarkan pada satu perspektif yang bisa jadi bijak, jika religi ataupun keyakinan tidak lebih dari sebuah pilihan kendaraan menuju kebenaran, katakanlah dalam hal ini menuju ke posisi terbaik di hadapan Tuhan. 

Memilih religi dan keyakinan yang sama pun nyatanya tidak mengajarkan dan mengantarkan setiap pemeluknya pada tataran pemikiran, sikap, tutur kata, dan perilaku yang sama. Bahkan semakin beragam. 

Katakanlah begini, sebuah religi mayoritas di negeri ini adalah ibarat versi teratas atau flagship model dari Mercedes-Benz, dan semua pemeluknya mendapat masing-masing satu unit yang sama, tapi cobalah simak peruntukan masing-masing pasti beda. 

Ada yang menjadikan unit Mercedes-Benz miliknya sebagai lisensi tertinggi sebagai sultan di bumi manusia, dan orang lain yang tidak memiliknya berarti kismin, eh, miskin, dan sudah pasti kasta terendah atau minimal lebih rendah. 

Ada yang menjadikan unit Mercedes-Benz miliknya yang terus datang ke bengkel-bengkel terbesar untuk meningkatkan fitur, performa, dan hal-hal yang terkait upaya penyempurnaan kendaraan. Kalau dihubungkan dengan kehidupan manusia, pemilik Mercedes-Benz kategori ini adalah yang rajin ke pemuka-pemuka religi untuk meningkatkan kualitas wawasan dan keimanan mereka. 

Ada pula yang menjadikan unit Mercedes-Benz miliknya itu untuk disayang-sayang, cukup difoto dan diunggah di sosial media sebagai simbol pencapaian hidup.

Ada pula yang tetap mengoperasionalkannya sehari-hari, namun penggunaan yang proporsional. Digunakan tidak ngoyo dan kencang, hanya berjalan santai sambil menikmati perjalanan seperti halnya pengelola blog kelas secangkir kopi ini. 

Nah, bagaimana dengan pemeluk religi yang lain? Sama saja, jika Anda memasukkan kata kunci "How many religion in the world" di mbah Google, disebut ada sekitar 4.300 agama di dunia. Meski yang mayoritas dapat dihitung jari jumlah religinya, di antaranya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. 

Menjadi pertanyaan kemudian dan berulang, apa sebenarnya fungsi religi? Jawabannya bisa sangat beragam seperti beberapa asumsi di atas. 

Umat Islam bisa saja mengklaim jika mereka adalah pemilik model tertinggi Mercedes-Benz, sementara Umat Kristen dan atau Katolik juga bisa mengklaim sebagai pemilik model tertinggi Audi, sementara Umat Hindu bisa mengklaim sebagai pemilik model tertinggi BMW, lalu Umah Budha bisa mengklaim pemilik model tertinggi Jaguar atau Land Rover. 

Semuanya sah-sah saja, tapi toh kita mesti meyakini satu hal memiliki kendaraan termewah apapun itu dalam hal ini religi, tidak akan pernah mengantarkan setiap dari kita menjadi Tuhan yang baru. 

Tuhan yah mau bagaimanapun pasti hanya ada Satu, pemegang otoritas penuh Semesta Kesempurnaan Tertinggi di Jagat Raya. Dan kita sebagai mahluk, hanya perlu mengendalikan versi kendaraan kita masing-masing yang diberikan olehNya sesuai kebutuhan dan peruntukannya masing-masing. 

Ya, tidak ada manusia yang diciptakan sama sekali sama, pasti ada perbedaan, dan itu sekaligus menyiratkan pesan tegas, jika jangan pernah mengkalkulasi atau memframing Tuhan dalam perspektif yang sempit, seolah kita masing-masing yang paling tahu semuanya. 

Brosis, kita hanyalah sama-sama mahluk, biar Tuhan sendirilah yang langsung menilai segala rapor tindakan, perilaku, dan ucapan kita. 

Itu saja. 

Bogor, 09 Agustus 2020

17:38 WIB

Komentar

  1. Diskusi soal religi selalu menarik bagi saya, meskipun saya malas jika harus berdebat adu urat leher...

    Sesungguhnya kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi setelah waktu sewa kita habis di dunia ini. Ya paham, banyak kitab suci yang mengatakan akan begini dan begitu...dan bahwa kitab suci itu "diturunkan" langsung oleh Sang Pencipta melalui orang (atau orang-orang) pilihanNya.
    Selain hukum yang "berlaku universal dan tak kenal waktu" dalam kitab suci, misalnya "dilarang membunuh", kitab suci juga menceritakan kejadian-kejadian ribuan tahun lalu dan yang kemudian dijadikan semacam rujukan sikap "pada jaman now", yang tentunya secara konteks sudah sangat jauh berbeda. Tapi...itulah namanya "keyakinan", yang diyakini.

    Ada 2 peristiwa menarik (buat saya), sebuah wawancara dengan seorang aktor Inggris bernama Ricky Gervais, yang mengaku bahwa diri-nya adalah seorang atheis...dan sebuah pertanyaan yang diajukan seorang mahasiswa asal Amerika kepada Dr. Zakir Naik, seorang Ulama kondang asal India.

    Pertanyaan mahasiswa itu...sebenarnya klasik, karena sudah sering dilontarkan atau paling tidak menjadi pemikirang banyak orang.

    "Mengapa Tuhan membutuhkan waktu 7 hari untuk menciptakan jagad raya beserta isi-nya ? Bukankah Tuhan maha kuasa ? Bukankah jika Tuhan berkehendak...langsung terjadi ?"

    Lalu pertanyaan berikutnya yang tak kalah sulitnya...

    "Apakah Tuhan itu sadis ? Bukankah Dia tahu jika manusia diberi 'kehendak bebas' (free will), maka si A, B, C tidak akan lolos test dan oleh karenanya masuk neraka ? Sebelum terjadi-pun...Dia yang maha tahu...sudah mengetahuinya. Jadi kenapa dilakukanNya ?"

    Dari interview dengan Ricky Gervais...Ricky mengatakan, "setelah kita mati...yang terjadi pada kita adalah persis sama dengan sebelum kita dilahirkan...'nothing'. Jadi selama kita masih hidup yang cuma sebentar ini.....saya hanya akan memastikan bahwa semua potensi yang ada pada diri saya sudah saya ekspolasi dengan sepenuh-penuh-nya..."

    Jadi...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!