CHAPTER 62: BINCANG SECANGKIR KOPI DENGAN SEORANG PANUTAN & PREFERENSI DI MASA LALUKU



Saya mesti menarasikan kejadian Sabtu pagi hingga siang, 19 September 2020, karena di hari itu bisa semeja dengan salah satu tokoh senior yang menjadi teladan utama selama menjadi jurnalis otomotif dulu. 

Mas Johnny TG, pensiunan Redaktur Foto di Harian Kompas. 

Bersama Bang James Luhulima dulu Mas Johnny membuat rubrikasi otomotif di Harian Kompas, dan menurut duet keduanya sangat sukses. Sebagai pembaca setia Kompas sejak SD hingga kini (walaupun kini versi digitalnya yang dotcom), saya menjadikan ulasan otomotif di Harian Kompas sebagai preferensi untuk memperkaya wawasan dan sudut pandang tentang dunia otomotif secara luas. 

Tapi obrolan kami di hari itu dari sekitar pukul 10 pagi hingga jelang pukul dua siang bukan lagi seputar hal yang kami senangi itu, dan menjadi sumber pendapatan serta ruang berkarya kami di masa lalu. 

Mas Johnny mengajakku bercerita tentang hidup, topik yang rasanya beliau menduga saya pasti suka juga. Ya, Mas Johnny dalam salah satu kesempatan pernah mengutarakan padaku, jika beliau adalah salah satu penyimak corat-coret kataku di jagat maya, dan itu tentu sebuah kehormatan besar untuk seorang dari kalangan proletar semenjana sepertiku. 

"Aku rindu kampungku, Der, di Pau, di Sumba. Aku ingin ke sana, membantu yang aku bisa, tapi pagebluk ini sementara ini membatasi dan menunda keinginan itu," katanya. 

Mas Johnny pun bercerita, jika jatuh hatinya beliau pada kampung kecil dengan belasan rumah itu, dan letaknya sekitar 70an km dari ibukota kabupaten itu, dimulai pada tahun 1983 ketika Mas Johnny diajak seorang seniornya ke sana untuk sebuah studi penelian. 

"Di kesempatan pertama itu cuma sekitar sebulan, tapi tiga tahun kemudian di tahun 1986, aku balik lagi dan kali itu sekitar setahun untuk kebutuhan tugas penelitianku sendiri di kampus," kata Mas Johnny yang lulusan Antropologi di Universitas Indonesia. 

"Sejak itu aku jatuh cinta pada Pau, dan menjadikannya sebagai kampung halaman hingga kini. Ada rasa yang selalu memanggil kembali. Dan percaya atau tidak di sana itu segala sesuatunya itu selalu freeze dan apa adanya sama seperti pertama kali saya ke sana, jadi rasanya tidak ada yang namanya kenangan," katanya menambahkan. 

Kusimak saksama narasi tentang Pau yang Mas Johnny ceritakan, tentang budaya kerajaan di sana yang mungkin sebentar lagi terkikis karena "kontaminasi" peradaban, tentang waktu yang sebaiknya tidak digunakan selama berada di sana, tentang budaya atau tradisi tidak mandi dalam waktu lama, tentang jenazah raja yang bisa tidak dikebumikan dalam waktu lama dan dibungkus dengan ratusan kain berkualitas utama yang harga satuan lembarnya bisa jutaan rupiah, tentang ternak-ternak yang digembalakan dengan ritual doa-doa, hingga pertemuannya dengan seorang sahabat berkebangsaan Jepang yang memiliki minat yang sama saat itu dan keduanya masih bersahabat hingga kini. 

Buatku, narasi yang Johnny paparkan itu adalah sebuah kisah yang menarik untuk disimak dan diceritakan kembali di tengah tiga badai yang tengah menghadang hebat; disrupsi, pagebluk, dan kadrun. 

Perbincangan kami pun berlanjut cukup panjang, pada topik yang tidak beranjak jauh dari hal-hal kami perbincangkan sedari awal, hingga pada satu kesempatan pun kami rasanya menyapakati, jika modernisasi, kekayaan materi, pendidikan tinggi, dan peradaban yang acap kali diklaim super maju itu lantas serta merta pararel atau sejajar dengan kewaspadaan, kematangan sikap, dan rasa empati. 

Disrupsi, pegebluk, dan fenomena kadrun setidaknya dapat menjadi indikator kuat mengenai hal itu. 

Saya tentu sangat senang bisa berbincang satu meja dengan salah satu preferensi dalam bidang media otomotif, dan kesempatan berharga ini bukan saya dapatkan ketika masih menjadi jurnalis, tapi ketika sudah menjadi tukang ojek di Dapur Bu Yon. 

Bisa berbincang dengan Mas Johnny, Mas Yosep Swasono Agus di HPM, ketemu guru audioku pak Wahyu Tanuwidjaja, dan beberapa kali jalan dengan Pak Bro PBS, adalah kesempatan yang bisa saya dapatkan ketika sudah menjadi tukang ojek di Dapur Bu Yon. 

Di saat secara materi aku tengah jatuh nyusruk, aku malah bisa ketemu rezeki yang lain, ketemu dan berbincang ramah serta orang-orang baik yang selalu saya kagumi dulu saat masih menjadi jurnalis bidang otomotif. 

Menyimak cerita  Mas Johnny tentang Kampung Pau di Sumba, dan rasa ingin kembali ke sana selalu, membuatku semakin yakin dengan hipotesaku sendiri, jika standar mimpi dan keinginan itu tidak selalu sifatnya hiraerki dan vertikal, bisa jadi mimpi dan keinginan itu jadi melebar ke samping, atau bahkan bahkan mundur atau setidaknya tetap berjuang berusaha di posisi semula dengan upaya yang tetap sama. 

Berada di sini, bersyukur dan menikmati hidup dengan segala gelombang pasang surutnya bukan serta merta menjadi aib dan hal yang tabu, ataupun menjadi ilustrasi rasa malas. 

Kita tidak pernah tahu hal-hal apa saja yang bisa membahagiakan setiap orang, dan saat kita merasa pintar serta bisa mengurai banyak hal dengan wawasan serta kemampuan dirimu, lantas bisakah dirimu menjelaskan bagaimana kuda-kuda di Kampung Pau bisa dilepas di alam liar, namun tidak pernah melintasi perbatasan desa, serta pasti kembali ke Kampung setelah dibacakan ritual doa pemanggil?!

Atau bisakah dirimu juga menjelaskan dengan kepintaranmu, wawasanmu yang seabrek, serta kekayaan materimu yang melimbah, soal bagaimana sapi-sapi atau kerbau-kerbau di Kampung Pau yang bisa dilepas ke alam liar tanpa dikandangkan, lalu kembali ke Kampung setelah dipanggil secara ritual doa lalu melakukan beberapa aktivitas yang diinginkan penduduk, semisal menggemburkan tanah untuk ditanami melalui pijakan-pijakan kaki mereka?!

Ya, di jagat planet bernama bumi ini, di tengah badai disrupsi, pagebluk, dan ajaran kadrun ini, saya malah bersyukur, karena bisa dapat pelajaran hebat, jika masih banyak sekali hal tentang yang mesti kita ketahui, dan sekali lagi ternyata masa depan tidak lantas serta merta lebih baik dibanding masa lalu, malah bisa jadi ke masa depan kita sebenarnya tengah egois dan tengah melakukan langkah jalan mundur. 

Bagaimana menurutmu? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!